Komunikasi Musikal ala Bhavana di Panggung Konsersium 15.11
[Galih Suryadmaja]. Konsersium 15.11 sebuah pertunjukan yang digagas oleh salah satu grup band ternama di Nusa Tenggara Barat (NTB) Amtenar, pada Sabtu (19/11/2022). Gelaran panggung musik tepatnya, dihadirkan di tengah masyarakat Kabupaten Lombok Barat, NTB, di kompleks Wisata Kuliner Kebon Ayu Gerung. Kegiatan ini menjadi ajang jumpa antara Amtenar dengan komunitas penggemar yang telah mendukung namanya melambung, Semeton Amtenar. Konsersium 15-11 sendiri merujuk pada momentum perayaan ulang tahun grup band reggae itu yang telah berusia 15 tahun, dan komunitas penggemar yang telah berusia 11 tahun. Sepanjang dua hari, perayaan melibatkan berbagai kelompok musik lokal seperti The Viuton, Lavie, Hanya Segini, A.C.T.L, SPH Percussion, Bhavana, dan Amtenar sendiri. Dari keseluruhan kelompok yang terlibat di atas panggung, tampak hanya Bhavana yang mengusung konsep musik agak nyentrik dan berbeda dengan lainnya. Bhavana memberi warna dengan mengusung konsep World Music dalam pertunjukannya. Memadukan instrumen kombo musik dengan instrumen etnik dalam menciptakan citra unik dalam proses berkomunikasi dengan audiennya.
Menyaksikan pertunjukan Bhavana (di antara banyaknya penonton yang hadir, menjadi sebuah kesempatan menarik untuk menyaksikan bagaimana proses komunikasi musikal dalam pertunjukan. Pasalnya saya sedikit memahami bahwa konsep World Music masih cukup awam bagi masyarakat di sekitar panggung itu dihadirkan. Belum cukup banyak wacana world music yang berkembang di antara kehidupan masyarakat. Terlebih melihat banyaknya atribut penggemar yang digunakan (kaos dan bendera), menjadi sebuah indikasi bahwa tujuan dari kehadiran mereka adalah untuk menyaksikan grup band kesayangan mereka Amtenar, yang dalam jadwalnya tampil setelah Bhavana. Dengan kondisi demikian hal yang muncul adalah adanya “frame” khusus yang dibawa oleh penonton, bahwa mereka hadir untuk menikmati alunan reggae yang sudah mereka pahami lirik dan musiknya. Dan dalam konteks pertunjukan malam itu, belum ada sebuah tujuan untuk menikmati dan mengkonsumsi konstruksi bunyi yang hendak ditawarkan Bhavana.
Bhavana menggunakan instrumen drum, gitar, bass, keyboard, yang dipadukan dengan instrumen etnik seperti tingklik, kendhang jaipong, suling, dan gangsa, dalam mengkonstruk pesan Mele Bedait dan The Janger secara estetis. Pesan dibangun untuk disampaikan kepada audien yang cukup kompleks, hadir dari berbagai kalangan usia dari anak-anak, remaja, dan bahkan orangtua. Tentu menjadi sebuah tantangan bagi Bhavana untuk dapat menyusup dalam ruang tafsir penontonnya, oleh karena beberapa persoalan itu. Sebuah tantangan yang harus diselesaikan melalui jalinan interaksi para penyaji. Berbagi peran dalam mengkomposisi pertunjukan untuk ‘menawan’ mata, telinga, dan perasaan.
Pola permainan tingklik dan kendhang jaipong mengawali sajian Mele Bedait, yang diikuti oleh instrumen bass, gitar, drum, dan keyboard kemudian. Di dalam karya ini, aroma blus dan jazz terasa cukup kental terdengar dari pola komposisi instrumen kombo yang dihadirkan. Teks musikal berbahasa Sasak sebenarnya menjadi kekuatan dalam pola komunikasi yang dibangun. Mengingat audien yang hadir mayoritas adalah masyarakat Sasak. Tidak banyak reaksi yang dimunculkan penonton dalam penyajian karya pertama. Sebagian penonton menyaksikan dengan menetapkan fokus pandangan ke arah panggung, sebagian yang lain masih terlihat duduk berkelompok sembari bercengkerama dengan atribut yang sama menunjukkan adanya kelompok-kelompok penggemar yang berbeda. Tidak jarang juga audien yang hanya sekedar mengabadikan momen dirinya, sibuk dengan gadgetnya untuk mencari sudut pandang dalam memotret diri. Tampak masih berjarak lebar antara panggung dan kerumunan pengunjung.
Sajian karya kedua The Janger merupakan rekomposisi dari lagu daerah asal Bali yang berjudul Janger. Konstruksi musikal on beat yang coba dibangun menjadikan karya ini terkesan lebih atraktif, simpel, dan meriah. Pada sajian kedua ini tampak terjadi perubahan perilaku audien yang cukup signifikan. Berbagai gestur ditunjukkan mengikuti alunan musik yang disajikan Bhavana mulai dengan menggerakkan kaki, mengangguk-anggukan kepala, bertepuk tangan mengikuti ritme sajian menjadi bentuk reaksi yang dimunculkan dari ekspresi ‘di luar’ kesadaran. Selain itu audien tampak merapat memadati bagian depan panggung dari yang sebelumnya mengambil jarak yang cukup lebar. Jika kemudian membaca pola komunikasi dengan modus bahasa melalui teks musikal yang disajikan, tentu realitas itu menyuguhkan rupa paradoks. Karena dalam dua pertunjukan yang dihadirkan di tengah mayoritas masyarakat Sasak itu, justru banyaknya reaksi audien muncul saat Bhavana menghadirkan karya The Janger yang notabene menyajikan teks musikal berbahasa Bali. Lalu bagaimana sebenarnya komunikasi musikal dalam pertunjukan itu dibangun?
Bingkai Pembacaan Komunikasi Musikal
Memahami komunikasi musikal, Santosa (2008) menyebut bahwa “pertunjukan musik mempunyai dimensi komunikasi mengingat adanya aksi dan reaksi antara para pemusik dan penonton selama pertunjukan”.[1] Aksi dan reaksi dalam pertunjukan dalam konteks ini setidaknya melibatkan tiga unsur pertunjukan yaitu Bhavana (penyaji pesan), pesan, dan audien –yang mayoritas merupakan masyarakat Sasak. Pesan dalam hal ini merupakan pesan musikal dalam konstruksi estetik. Lebih lanjut Santosa juga menjelaskan adanya pembatasan pergerakan pemikiran dalam memahami pertunjukan dari sisi penerima pesan. Pembatasan yang dimaksud tidak hanya terjadi ketika pertunjukan sedang berlangsung, melainkan juga sebelum kehadiran mereka di depan panggung. Pandangan ini menjelaskan mengenai tujuan dan motivasi yang diusung audien dalam menghadiri suatu gelaran atau pertunjukan.
Di dalam konteks Konsersium 15.11, memahami keberadaan audien yang merupakan komunitas penggemar Amtenar, menjelaskan bahwa salah satu motivasi mendasar dari kehadiran mereka adalah untuk menyaksikan pertunjukan dari grup band kesayangan mereka. Kondisi itu dipertegas dengan adanya simbol-simbol dan atribut yang dibawa seperti halnya kaos bertuliskan ‘Reggaeman’ dan juga panji-panji komunitas reggae yang terlibat di dalamnya. Kehadiran mereka kemungkinan besar tidak pernah menghadirkan bayangan mengenai world Music. Apa itu gangsa, tingklik, kendhang jaipong, Mele Bedait, atau The Janger? Jelas tidak pernah muncul dalam kerangka pikir sebagian besar penonton. Kebanyakan yang muncul adalah tentang sosok Amtenar, pengalaman empirik mereka sepanjang mengikuti grup band kesayangan, goyang reggae, dan lain sebagainya sebagai style khas dalam bingkai ke-reggae-an.
Apakah kemudian dengan realitas ini komunikasi musikal yang dibangun oleh Bhavana dengan penonton itu gagal atau tidak terjadi? Di dalam pembahasan mengenai konsep komunikasi musikal ada satu ketegasan yang disebut oleh Santosa (2011) bahwa komunikasi tidak hanya berlangsung dengan “modus timbal balik” di mana kedua pihak menyampaikan pesan dalam modus yang sama. Realitas yang terjadi tampak menjelaskan pola yang cukup natural tanpa adanya motivasi dari sosok audien terkait dengan konstruksi pesan yang dibawakan oleh Bhavana. Tetapi faktanya dalam pertunjukan itu tetap menghadirkan adanya pola aksi-dan reaksi antara keduanya dengan modus yang berbeda. Perbedaan modus ini terkait dengan pemahaman keduanya terhadap kode terntentu yang muncul sebagai sebuah konstruksi komunikasi.
Di dalam sajian Mele Bedait belum tampak adanya gestur yang ditunjukkan audien terhadap unsur musikal yang disuguhkan. Bukan berarti aksi yang dilakukan Bhavana tidak memunculkan reaksi dari audien. Keberadaan karya dengan mengusung bahasa Sasak, lebih menarik bagi audien untuk mendengarkan setiap syair yang dilantunkan. Memahami setiap kalimat untuk turut terlibat dalam bangunan emosional teks musikal tersaji. Itu kenapa kemudian kecenderungan yang terjadi dari sebagian audien adalah hanya upaya untuk memperhatikan dan mendengarkan setiap penggal syair. Diam dan menghadirkan fokus pada ruang yang disebut panggung. Melalui kesadaran itulah wujud reaksi dimunculkan dalam berlangsungnya proses komunikasi. Meski memahami makna syair yang dilantunkan, tidak tampak upaya dari audien untuk terlibat langsung melantunkan setiap syair yang disuguhkan oleh karena memang karya itu belum cukup familier bagi mereka. Mengingat itu menjadi kali pertama bagi Bhavana tampil di tengah kerumunan masyarakat sekitar kawasan wisata Kebon Ayu, Gerung.
Kondisi berbeda tampak ditunjukan pada sajian kedua karya Bhavana. Gestur dimunculkan, dan terjadi mobiltas audien merapat mendekat di depan panggung. Situasi ini tidak menjelaskan bahwa audien memahami teks musikal dari sajian The Janger. Karena teks yang disajikan menggunakan bahasa Bali, meski tidak menutup kemungkinan juga ada upaya untuk memahaminya. Justru hal itu menunjukkan sisi sebaliknya, kecenderungan yang terjadi adalah bahwa modus bahasa tidak lagi berlaku dalam sajian kedua. Reaksi audien tampak terstimulasi oleh bentuk kode lain seperti halnya tempo, ketukan, ritme, dan konstruksi harmoni yang tersaji. Penangkapan dan pemaknaan yang terjadi pada rupa reaksi audien lebih tertuju pada unsur-unsur musikal dari sajian selain teks musikal.
Kedua pola komunikasi dalam dua karya berbeda yang disuguhkan Bhavana, menjelaskan mengenai bagaimana proses aksi dan reaksi yang terjadi cukup beragam dalam konteks komunikasi musikal. Di mana proses komunikasi yang berlangsung sangat bergantung pada ‘pilihan’ dalam pemaknaan kode. Hal lain yang tampak adalah dorongan motivasi dan tujuan dari audien menjadi sebuah pembatas pergerakan pemikiran. Di sisi lain pada konteks ini, sebenarnya muncul adanya peluang bagi penyampai pesan dalam hal ini adalah Bhavana. Peluang yang dimaksud adalah realitas audien dalam memahami makna pesan dari setiap sajian yang disuguhkan. Melalui pemahaman ini, Bhavana dapat membaca lebih jeli lagi ke depan dalam menyajikan karya pertunjukan dengan memperhitungkan calon audien yang akan menerima ‘pesan’ mereka di atas panggung. Melalui upaya itu pemberi pesan dapat kemudian mengukur dan merancang alur sajian pertunjukan yang tepat agar lebih komunikatif.
[1] Santosa. 2008. Menggagas Komunikasi Musikal dalam Pertunjukan Gamelan. Jurnal Ilmu Komunikasi Vol. 5 No. 1 (p. 65-80)