Mantra-Mantra Yang Bergerak : Catatan atas “Magic of Women” oleh Studio Taksu
Kita harus menganggap setiap hari tersesat,
jika tidak pernah menari setidaknya sekali.
– Friedrich Nietzsche
[Andy SW]. Seorang lelaki memainkan gitar dan seorang perempuan menari di bawah cahaya. Secuil adegan itu begitu mengesankan bagi saya. Kesan yang romantik sekaligus melankoli. Aksi keduanya menghidupkan imajinasi, yang kemudian membawa saya ke berbagai ruang.
Pemain gitar dan penari tak hanya berhenti bermain di atas panggung pertunjukan. Mereka berdua saya imajinasikan tengah bermain di atas gunung, di perempatan jalan, di tengah sawah atau di awang-awang. Imajinasi itu pula yang mengubah penari menjadi seekor burung, boneka barbie, dan gadis desa. Pemain gitar bisa menjelma seekor panda, pohon kamboja, dan polisi. Secuil adegan itu membuat saya tersenyum sendirian di antara para penonton.
Berbagai adegan disuguhkan dalam pertunjukan yang berdurasi satu jam itu. Beberapa adegan juga mempunyai kesan tersendiri, tetapi tidak semuanya menumbuhkan kesan dan menggugah imajinasi saya. Setiap adegan mempunyai daya tarik untuk diapresiasi penonton yang berbeda-beda. Karena penonton mempunyai cara bacanya masing-masing, sesuai referensi dan sejarah menonton yang dimiliki. Demikian juga dengan saya sebagai penonton.
Saya melihat tujuh penari perempuan dengan tinggi tubuh yang berlainan bergerak dinamis. Tinggi tubuh yang tidak sama menjadi warna tersendiri dalam pertunjukan. Gerak tubuh tiap penari juga memiliki kekhasan sekalipun gerakan mereka sama dan rampak. Pilihan kostum berupa dress vintage beraneka warna membuat ingatan terbang pada tahun 50-an. Di mana gadis-gadis kota sedang mencicipi tren fashion modern dan berlomba-lomba menjadi yang tercantik.
Begitulah kilasan kesan ketika menonton pertunjukan “Magic of Women” karya Djarot B. Darsono. Diproduksi oleh Studio Taksu pada tanggal 8 September 2023 di Teater Arena Taman Budaya Jawa Tengah (TBJT). Saya membiarkan kesan-kesan itu berjalan seiring adegan demi adegan yang bergulir.
Gerak dan Titik Ruang
Para penari berjalan bak peragawati sambil menenteng high heels. Mereka berjalan berseliweran, tapi sama sekali tidak saling bertabrakan. Demikian juga ketika munculnya gerakan-gerakan silat yang memamerkan gestur dan gerak besar. Para penari leluasa bergerak menguasai ruang dengan bebasnya. Ruang terasa meriah ketika disapu cahaya lampu warna layung sore, dan tujuh penari berjalan dengan gestur tubuh kemayu sembari tersenyum manis. Ruang pertunjukan menjadi seperti halaman rumah yang luas, tempat anak-anak bebas bermain.
Tak ada setting atau benda-benda dalam ruang pertunjukan, hanya kain tile putih menggantung di tengah ruangan. Kain tile putih itu menjadi titik ruang dan awal mula terjadinya peristiwa tari. Semula hanya ada satu penari berdiri di tengah ruang dengan wajah tertutup kain tile putih. Kemudian muncul para penari lain yang berdiri di seputarnya. Pada adegan awal hampir tak ada gerak tarian yang muncul, mereka hanya berjalan dengan iringan suara langkah kaki bersepatu. Di beberapa titik mereka berhenti membentuk formasi: berpencar, berkumpul, dan berbaris memanjang diagonal.
Tak disangka-sangka para penari itu mengeluarkan bunyi-bunyian dari mulut mereka. Bahkan tak sekadar bunyi tapi juga melontarkan kata-kata sebagaimana seorang pencerita. Setiap kali perubahan formasi, salah seorang penari bicara ke arah penonton. Ada juga dalam satu formasi semua penari bicara bersamaan. Mereka bicara tentang cinta, relasi ibu dan anak, protes, kekuatan dan banyak hal yang kadang tak jelas terdengar. Mereka seperti sedang merapal mantra-mantra yang kemudian menggerakkan tubuh-tubuh. Mantra-mantra itu menjelma menjadi bermacam bentuk gerakan tari. Gerakan yang menghidupkan ruang dan mencipta tangga dramatik pertunjukan.
Pertunjukan “Magic of Women” terinspirasi dari Catatan Pinggir karya Goenawan Mohamad yang berjudul “Perempuan”. Mengapa sang koreografer tertarik bicara tentang perempuan? Apakah karena semua penari perempuan? Namun, pertanyaan itu segera menghilang dalam benak saya ketika pertunjukan berlangsung. Tubuh-tubuh para penari menawarkan impresi, imajinasi, dan pikiran yang lebih luas. Suara-suara dari mulut penari itu, menjadikan saya seorang anak yang mendengar dongeng dan tembang-tembang dari para leluhur. Melihat penari menenteng high heels, model kostum penari, dan karakter gestur tubuh, seperti membaca buku sejarah munculnya kelas sosial baru dan konflik politik masa lalu. Suara langkah kaki bersepatu itu seolah bicara tentang pertemuan dan kesibukan rutin yang membosankan.
Pada akhirnya semua kembali pada satu titik di mana seorang perempuan menari di tengah ruang. Ia menari dengan wajah tertutup kain tile putih dan diiringi suara gitar yang lantang. Tepat dari atas kepala penari sebuah benda berbentuk bintang turun perlahan. Seperti datangnya harapan.
Suara Penonton Lain
Pandangan berbeda terucap dari dua penonton yang sempat saya minta tanggapannya. “Pertunjukan ini rasanya seperti orang ingin bercinta tapi tak bisa ereksi”, kata Agung Wibowo Pambo (Pelaku Teater). Lain halnya dengan Sugeng Yeah (Penata Artistik Senior), beliau berkata, “Pertunjukan ini menghadirkan banyak kejutan.” Penonton berhak menginterpretasi dan membaca pertunjukan sesuai cara pandang dan pengalamannya.
Pertunjukan Magic of Women telah hadir di tengah keringnya pertunjukan tari yang terkonsep dan diproduksi secara mandiri. Studio Taksu enggan tersesat dalam kemacetan gagasan, mereka terus eksplorasi untuk meretas jalan baru.
Dukung kami dengan donasi sukarela. Scan QR di samping atau klik tautan berikut :
- Mantra-Mantra Yang Bergerak : Catatan atas “Magic of Women” oleh Studio Taksu - 30 Desember 2023
- Riwayat Aksara dan Langkah-Langkah Ibnu Sukodok - 27 Mei 2023
- Surat Cinta Untuk Dik Yogix dan Layer yang Terbengkalai: Catatan Atas Pertunjukan Julius Caesar – Shakespeare Project X RKBBR - 20 November 2022