Surat Cinta Untuk Dik Yogix dan Layer yang Terbengkalai: Catatan Atas Pertunjukan Julius Caesar – Shakespeare Project X RKBBR
Dear Dik Yogix yang baik….
Semoga dalam keadaan sehat walafiat dan tetap produktif dalam berkreativitas. Baiklah to the point saja, ya… Surat ini saya tujukan kepada Dik Yogix selaku sutradara pementasan drama berjudul: Julius Caesar, pada tanggal 19 Juni 2022 di Teater Arena Taman Budaya Jawa Tengah, Surakarta.
Sudah lebih empat bulan lamanya peristiwa pementasan itu berlalu. Saya tidak menyangka jika pementasan tersebut menjadi semacam “hantu” dalam hidup saya sebagai pelaku dan penulis seni pertunjukan, khususnya teater dan pantomim. Mengapa bisa demikian, pada awalnya saya juga kurang paham, tetapi yang jelas usai pementasan tersebut hingga saat ini saya masih terpikirkan dengan sendirinya beberapa adegan dan visual dalam pentas.
Sejak semula saya memang bercita-cita untuk menulis peristiwa pementasan tersebut. Saya melihat bahwa pementasan dalam wadah “Shakespeare Project” itu amatlah penting untuk ditulis sebab karya ini merupakan karya bersama. Tak hanya milik satu kelompok, sanggar, institusi ataupun perorangan.
Karya ini dikerjakan oleh orang-orang yang telah lama berkecimpung dalam dunia seni teater. Tak hanya itu saja, para pelakunya berasal dari berbagai kota di Jawa Tengah. Dan setiap pelaku tumbuh dari kelompok teater yang berbeda-beda. Saya rasa menjadi proses menarik baik dalam menejemen produksi maupun konsep penggarapan pementasannya. Dulu proses kerja lintas kelompok pernah dicetuskan oleh budayawan Umar Kayam, sekitaran tahun 1989 di Yogyakarta. Beliau menamakan “Galatama Teater”. Mungkin peta perteateran waktu itu berbeda dengan sekarang. Saat itu para pelaku teater lebih berkutat pada kelompok masing-masing, berbeda dengan sekarang, setiap individu lebih bebas menentukan prosesnya sendiri. Seiring pergerakan jaman, sistem galatama teater terwujud dengan sendirinya di era sekarang ini. Bahkan di pelbagai kota. Maka menurut saya sangat eman-eman jika tidak ada yang mereview atau mengapresiasinya dalam bentuk tulisan, yang sewaktu-waktu bisa dibaca ulang. Begitulah dik Yogix, sekelumit pengantar saya sebelum memasuki lebih khusus babagan pementasan: Julius Caesar.
Baiklah, saya sambung lagi, karena surat ini bagi saya pribadi sebagai jalan tengah atau cara saya mengapresiasi dalam bentuk tulisan. Jujur saja setelah menonton pementasan “Julius Caesar”, ternyata saya mengalami kesulitan dalam menulis. Ragu-ragu akan menulis mulai dari mana, dengan sudut pandang macam apa, dasar teori apa, titik mana yang paling menarik, dan sebagainya. Tak kunjung usai saya berpikir, tapi tiap kali mulai menulis selalu terhenti, padahal setelah bulan Juni saya sudah menulis dua sampai tiga pertunjukan teater lainnya. Saya kurang paham mengapa belum juga dapat menulis untuk “Julius Caesar” meskipun sebelumnya sudah saya persiapkan. Apakah pertunjukan tersebut kurang menarik atau mungkin cara saya melihat dan pilihan tempat duduk yang kurang tepat. Namun, jika benar pertunjukan tersebut tidak menarik mengapa terus menghantui pikiran. Ada beberapa adegan yang sesekali muncul dalam ingatan, juga gerak, musik, kostum, dan setting pertunjukan. Untuk dialog mungkin sudah terlupakan karena polusi kata dan kalimat yang silang sengkarut dalam hidup sehari-hari. Sehingga dialog-dialog itu tertimbun lama atau terbang entah ke mana. Semuanya itu seperti menarik saya untuk menulisnya.
Waktu pementasan digelar, saya sedang banyak kegiatan yang membuat tubuh ini kecapaian. Namun, apa pun itu tetap harus diusahakan untuk menonton. Saya memesan tiket dua buah, bukan untuk dua orang, tapi agar dapat dua kali menonton karena perhitungan tubuh yang kemungkinan bakalan capai sesampai di Solo. Sudah barang tentu tidak konsentrasi saat mengapresiasi pertunjukan pertama. Harapan saya, meskipun capai dan kurang konsentrasi setidaknya di awal sudah merekam visual pertunjukan sebagai materi tulisan. Kemudian saat menonton pertunjukan kedua pasti akan lebih konsentrasi dalam mengapresiasi pertunjukan. Begitulah kira-kira rencana yang sudah tertata rapih, demi apresiasi seni yang akan saya tulis di media massa agar terbaca masyarakat luas.
Rupanya benar apa yang saya khawatirkan, pada pertunjukan pertama, saya merasakan tubuh sudah capai dan mata agak berat. Meskipun demikian, saya masih sempat menikmati pertunjukan dan melihat setting yang mendominasi ruang teater arena. Sebuah setting yang sudah dirancang secara sungguh-sungguh. Sapuan-sapuan lighting panggungnya memunculkan bermacam impresi. Kostum aktor didesain dengan konsep yang tak hanya berhenti menjadi kostum. Aransemen musiknya pun keren juga, lho! Keputusan sutradara menaruh para pemusik di belakang panggung adalah langkah yang menyegarkan karena turut mengonstruksi peristiwa pementasan.
Saat melihat akting para aktornya saya merasa biasa saja, mungkin karena sering melihat model atau gaya berakting yang setipe, seperti sudah menjadi standar atau stereotipe para aktor, terlebih aktor senior. Kecuali akting satu aktor muda yang terasa unik dan menarik perhatian dalam mengolah tubuhnya. Itu hanyalah kesan awal hingga pertengahan permainan saja.
Pada pementasan pertama, saya tidak sampai selesai menontonya. Saya tertidur karena tubuh terasa lelah dan mendengar suara hujan deras yang terdengar hingga dalam gedung teater arena. Suara hujan itu mengganggu sekaligus menyamankan. Pada akhirnya tak terasa saya tertidur hingga menjelang akhir pertunjukan. Sangat tidak sopan sekali rasanya tapi memang demikianlah adanya. Apa yang saya khawatirkan sebelumnya benar terjadi. Maafkan saya Dik Yogix, bukan karena pertunjukannya tetapi karena diri saya sendiri yang sudah dalam keadaan letih saat menonton.
Pada pementasan kedua pasti akan lebih konsentrasi karena tubuh sudah segar kembali. Saya berjanji pada diri sendiri untuk benar-benar berkonsentrasi dalam mengapresiasi. Akan saya ikuti pementasan dari awal hingga akhir.
Tibalah pertunjukan kedua pada malam harinya. Kali ini saya merasa berhasil mengikuti peristiwa pementasan “Julius Caesar“ karya Williams Shakespeare yang ditulis pada tahun 1599 kemudian diadaptasi oleh Asa Jatmiko. Dari awal hingga akhir saya menonton dengan mata terbuka tanpa rasa kantuk sedikitpun. Terima kasih atas pertunjukan yang membuat saya senang. Bukan karena terhibur atau menikmati pementasan “Julius Caesar”, melainkan karena saya merasakan adanya greged kreativitas dalam proses mencipta karya seni pertunjukan. Adanya energi besar yang amat sayang jika hanya menjadi percikan api yang segera padam. Maka musti dilanjutkan.
Beberapa hari usai pementasan, saya mencoba menulis sebuah catatan. Seperti yang saya utarakan di awal tulisan ini, bahwa ketika menulis selalu terhenti di tengah jalan. Tiba-tiba saja ingatan, impresi dan imajinasi saya berubah. Tidak seperti biasanya yang dengan cepat menyusun materi-materinya menjadi sebuah catatan pertunjukan. Kali ini hanya lintasan pentas yang bermunculan dalam pikiran, dan kesan-kesan yang tak begitu kuat saya tangkap.
Sebenarnya apresiasi saya untuk pementasan kedua tak jauh berbeda dengan pementasan pertama. Apresiasi saya berhenti pada layer pertama yang berisi cerita, akting, setting, musik, kostum, lighting, dan pernak-pernik pemanggungan. Saya menjadi bertanya pada diri sendiri apakah intensitas menonton waktu itu memang pada layer pertama sekadar untuk membuat laporan atau catatan pertunjukan. Mungkin cara pandang ini yang membuat saya selalu gagal menuliskannya. Jika demikian apresiasi saya sudah selesai berhenti pada kata “bagus” seperti tertulis di awal tadi. Sepertinya masih ada sesuatu di balik kata “bagus” karena bagus tak hanya visual dan lancarnya pementasan. Kadang pementasan yang bagus jika tidak sesuai dengan konteksnya menyebabkan kurang menarik untuk diapresiasi.
Maka dari itu saya memutuskan tidak menulis catatan seperti yang saya cita-citakan. Namun, menulis surat sebagai jalan tengah agar tetap bisa menulis dan tak sekadar menjadi tulisan, tetapi juga menjadi pengantar terjadinya diskusi antara saya dengan Dik Yogix. Surat ini membuat saya merasa lebih dekat dan nyaman saat mengapresiasi. Tak ada lagi beban menulis untuk orang banyak di media massa. Meskipun tulisan ini pada akhirnya akan dibaca banyak orang juga, tapi setidaknya saya merasa terbebaskan dari pikiran yang berhenti pada layer pertama.
Dik Yogix yang baik dan dinamis, saya coba merunut kembali pikiran apa yang muncul setelah menonton pementasan tersebut. Waktu itu saya sempat diwawancarai setelah pertunjukan selesai. Ketika wawancara berlangsung saya ingat satu hal yang muncul dalam pikiran kemudian saya ucapkan. Satu hal itu adalah “JALUR IDE”. Kata itulah yang kembali memancing pengamatan dan ingatan.
Dari kata itu tumbuh sebuah kesadaran diri bahwa sesungguhnya saya tak sedang melihat pementasan teater saja. Melainkan merasakan dan mendengarkan apa yang mengitari pementasan. Saya merasakan ruangan yang terbengkalai dan mendengar dialog-dialog yang terhenti atau bahkan patah. Ruang yang saya maksudkan bukanlah sebuah ruang panggung pementasan. Akan tetapi ruang tempat di mana gagasan, konsep, metode dan proses (teknis) perwujudan tumbuh dan berkembang.
Dalam ruang itu saya merasakan lalu lintas ide yang berjalan sendiri-sendiri dan tak ada rambu-rambu sebagai pemandu arah. Ruang yang semula menjadi tempat tumbuhnya ide untuk disirami bersama, berubah menjadi ruang yang berisik dan sibuk sendiri. Kini semua ide itu berjalan sendiri dan mengurus dirinya sendiri. Pada titik inilah ruang itu mulai dibiarkan terbengkalai. Disadari atau tidak ide-ide itu terlanjur membuat jalan masing-masing hingga mewujud menjadi berbagai bentuk visual. Tak peduli terbaca atau tidak motif dan maksudnya, tak peduli konteks atau tidaknya dengan elemen lainnya, pokoknya mewujud. Karena masing-masing ide merasa sudah kuat.
Ya, dalam pementasan tersebut saya tidak membaca adanya jalur ide sebagai wadah berlangsungnya dialog antar gagasan untuk merelasikan elemen-elemen panggung agar saling menumbuhkan. Saya hanya melihat penataan teknis standar pementasan yang tampak bagus dan pantas untuk dilihat. Lantas dalam benak saya muncul pertanyaan: sejauh mana para pelaku kreatif berinteraksi dalam proses penggarapan?
Jalur ide bukan untuk menghasilkan baik buruknya pementasan. Akan tetapi agar saling mengerti dan membaca arah ide-ide kreatif. Menjelaskan gagasan, motif, dan tujuan atau hal lainnya sehingga dapat terjalin dialog antar elemen panggung. Jalur ide tersebut juga dapat membuka kesadaran aktor tak hanya konsentrasi pada dialog verbal tetapi membuat kemungkinan anyar dalam mengeksplor gestur atau sekadar bisnis akting dengan apa yang melekat pada tubuhnya. Bahkan jalur ide bekerja sampai pada tataran teknis dan perhitungan waktu. Seperti kapan lighting, setting dan kostum selesai dikerjakan agar aktor dapat bermain mengenakan kostum dan melebur bersama setting. Di sini sutradara berkesempatan menjelaskan motif-motif, potensi, dan tujuan yang tersimpan dalam setting, lighting dan kostum agar aktor benar-benar menyadari ruang dan tubuh. Kemudian merespons dengan akting, gestur, mimik, gerak dan dialognya. Aktor tidak sekadar menjalani perpindahan bloking dan penataan levelitas yang menyesuaikan bentuk setting. Sebab tak semua aktor memiliki kepekaan untuk membaca motif dan potensi yang tersembunyi di balik setiap elemen panggung.
Saya melihat di beberapa adegan dalam pementasan, banyak tokoh anonim bermunculan diperankan aktor yang sama, tapi para aktor tidak begitu kentara perubahan karakternya dari peran utama menjadi tokoh anonim. Namun, ada salah satu aktor muda yang peran utamanya sebagai Markus Antonius. Ia berhasil memainkan perannya dengan unik dan menarik. Aktingnya tak hanya berkutat pada kata-kata dan gerak. Aktor muda tersebut saya rasa mempunyai cara baca sendiri yang menumbuhkan kesadaran tubuh dan ruang sehingga muncul gestur dan akting sekecil apa pun yang memperkuat karakter. Bahkan mendeskontruksi tubuhnya. Ia hanya sedikit mengeksplor kain yang melekat di tubuhnya tapi membuat daya tarik tersendiri. Kostum tak hanya menjadi penanda dan penghias tubuh. Ia memainkan lebih dari satu peran tapi terlihat jelas perbedaan karakternya. Aktor muda tersebut bisa menjadi contoh kecil bagaimana terjadinya dialog antar elemen (tubuh dan kostum). Masih banyak yang butuh pembacaan ulang pada elemen-elemen lainnya untuk mengekspolrasi potensinya agar terjadi dialog yang seru dan mengesankan.
Begitulah jalur ide itu bekerja menjadi suatu sistem. Sekali lagi, tidak bertujuan bagus atau jeleknya pertunjukan, tetapi menumbuhkan kesadaran dan meretas jalan anyar untuk pengembangan ide-ide kreatif dari masing-masing seniman pencipta. Saya harap tulisan ini dapat bermanfaat dan menjadi pemantik diskusi kita, Dik Yogix. Semoga ada waktu luang yang mempertemukan.
Salam kreatif dari saya,
Andy Sri Wahyudi
Sudah baca yang ini?:
Rhizoma: Men-softcore-kan Apa yang Tabu
Hibah Seni Kelola 2018, dibuka!
(PERCAKAPAN) Ingatan Tubuh, Dokumentasi, dan Keberlanjutan dalam Karya Museum I: Waves
Oh, Ternyata Pantomim Bisa Digituin, ya? | Catatan atas Pertunjukan Opinion #2 — Andy SW di Ta...
Pooh Pooh Somatic : Rasa Yang Pernah Ada
Stroberi, Metonimi, & Upaya Karangdunyo Mencari Dunia Selain Sini dengan Ruter Wifi
- Mantra-Mantra Yang Bergerak : Catatan atas “Magic of Women” oleh Studio Taksu - 30 Desember 2023
- Riwayat Aksara dan Langkah-Langkah Ibnu Sukodok - 27 Mei 2023
- Surat Cinta Untuk Dik Yogix dan Layer yang Terbengkalai: Catatan Atas Pertunjukan Julius Caesar – Shakespeare Project X RKBBR - 20 November 2022