Menonton Latihan Tadashi Suzuki dan SCOT
oleh : Ficky Tri Sanjaya
Kali pertama terlibat menonton proses latihan dari persiapan pementasan teman-teman aktor yang mengikuti latihan bersama Suzuki Company Of Toga (SCOT) Japan dan Purnati Indonesia sungguh mengesankan. Sebagai pengalaman pertama menonton hal tersebut membuat penasaran. Aktor-aktor yang mengikuti proses latihan di Panggung Trimurti Prambanan 26 Oktober 2017 itu terlihat sangat prima dan berstamina. Para aktor yang berasal dari berbagai kelompok teater di Indonesia ini sedang mengkuti salah satu program training SCOT yang bernama ‘Summer Season 2017’. Program ini adalah acara rutin dari SCOT yang dimulai sejak tahun 1976. SCOT mengajarkan persiapan dasar secara fisik baik gagasan maupun seluruh ide dari metode Suzuki, bersumber dari Tadashi Suzuki dan SCOT. Selain latihan para aktor juga akan pentas memainkan lakon DIONYSUS yang dikreasi oleh Tadashi Suzuki di Toga Art Park of Toyama Prefecture Japan dan bulan Septembernya di Indonesia.
Menyaksikan latihan yang dilakukan oleh sekitar 20 aktor baik laki-laki maupun perempuan selintas nampak kesan seperti menyaksikan tentara yang sedang berlatih. Sebabnya adalah pelaksanaan metode latihan yang dilakukan secara bersama dan seragam sebagai sajian tontonan. Selintas tampak kedisiplinan ‘pekerjaan’ sebagai aktor di SCOT tidak berbeda dengan ‘pekerjaan’ sebagai tentara. Tentu konteksnya adalah penggunaan media tubuh secara fisikal dan disiplin sebagai salah satu medium performa. Tampaknya seluruh anggota yang terlibat di SCOT mengerti akan konsekwensi, dedikasi, serta tanggung jawab tinggi seorang aktor yang wajib mempersiapkan diri matang sebagai wujud representasi personal maupun kelompok. Menyaksikan tradisi latihan para aktor yang tampak seperti sebuah prosesi ‘ritual’ yang sangat khusyuk dan sakral. Saya menduga gerak-gerak dasar dan pakem yang diulang-ulang menerus sebagai latian persiapan agar tubuh dan pikiran aktor terlihat selalu prima, konsentrasi dan memiliki stamina bagus menjelang tampil.
Ternyata, di SCOT prosesi membuat tubuh aktor menjadi ‘on’ ketika di panggung, bukan persoalan sepele. Membuat Aktor dalam keadaan ‘on’ membutuhkan prosesi ‘ritual’ yang menerus. Secara gagasan ‘Ritual’ adalah kegiatan yang dilaksanakan terutama untuk tujuan simbolis. Teater adalah salah satu seni pertunjukan yang juga menggunakan bahasa simbolis, baik ketika aktor berdialog ataupun menggunakan tubuh sebagai sarana bahasa di panggung. Tampaknya di SCOT prosesi ‘ritual’ latian dasar metode Suzuki sebagai persiapan pakem, menjadi bagian penting dalam kesatuan pertunjukan ini. Prosesi latihan yang serempak dan seragam, sebagai bagian pertunjukan dapat dinikmati pula sebagai ‘tontonan’ lain dari kesatuan pentas. Kedisiplinan menjalani ‘ritual’ latihan yang sakral dalam persiapan, membuat para aktor di SCOT terlihat prima dan memiliki performa baik sebelum memasuki lakon. Meskipun kelelahan di wajah tidak dapat disembunyikan, tetapi sebagai sebuah profesionaltas kerja di dalam bidang tontonan, tubuh wajib tampil energik dan prima.
Seusai latian beberapa orang diminta melakukan tes vokal dengan melakukan berbagai posisi dasar gerak suzuki. Selain itu untuk melihat keseimbangan energi para aktor yang bermain Tadashi meneliti pose, posisi tubuh, dan cara bergerak para aktor dalam beberapa posisi dasar secara berulang dan bergantian. Setelah berbagai gerak dasar bergantian berulang dalam posisi kuda-kuda berhenti, Tadashi meminta para aktor mengangkat satu kaki dengan mata terpejam. Ternyata posisi berdiri terpejam dengan satu kaki terangkat setelah bergerak serempak dan bergantian dalam sikap-sikap dasar yang lama, menyulitkan beberapa aktor untuk dapat menjaga keseimbanganya dengan bagus. Ketika para aktor bermain memasuki peran dalam Dionysus, Tadashi memeriksa kembali kekuatan vokal dan tenaga aktor berulang-ulang dengan amat konsentrasi. Meneliti, menemukan kesalahan dan meminta aktor mengulang kembali dari pose, posisi dan sikap dasar kuda-kuda. Tadashi menguji kekuatan tenaga bawah pusar, dengan menendang kuda-kuda kaki aktornya, juga menusuk perut bagian bawah aktor dengan dengan sebatang tongkat kayu. Tentu adegan ini dilakukan oleh seorang profesional dan terlatih, dan bukan amatiran.
Usai latihan dasar, gladi pertunjukan dimulai. Saat itulah kali pertama saya menyaksikan bentuk pertunjukan Suzuki secara langsung. Siang itu SCOT membawakan lakon DIONYSUS oleh Tadashi Suzuki. Kesan pertama yang tampak ketika adegan dimulai dan dialog diucapkan adalah selintas gerak dan perlakuan vokal tokoh-tokoh yang bermain mirip seperti adegan dalam pertunjukan Wayang Orang. Aktor-aktor SCOT yang bermain tampak tegas bergerak, bergeser posisi, juga mefokuskan energi vokal melalui daya kekuatan tubuh yang berpusat pada bawah pusar. Pergerakan yang dilakukan aktor tidak banyak bahkan cenderung minim dan ketat, ada satu atau dua gerak koregrafis bersama, itupun tak banyak. Dialog dilakukan dengan berdiri statis, namun mengarah ke jarak objek yang dituju berdasar esensi konteks pada dialog. Ada semacam ruang ketat energi tubuh sebagai peristiwa yang ingin ditonjolkan dalam setiap adegan. Energi tubuh sebagai peristiwa tampaknya menjadi kunci dan daya kontrol dalam mencipta relasi setiap karakter. Karakter tokoh yang muncul harus dapat menjadi bagian dari peristiwa teks maupun komunikasi yang ingin dibangun antar para pemain dan penonton. Meleset sedikit saja ruang yang akan dibangun, tampaknya peritiwa komunikasi tubuh dan karakter tokoh yang dibentuk dari teks menjadi hambar.
Tiba-tiba gladi bersih berhenti di tengah. Tadashi Suzuki tidak puas dengan salah satu bentuk karakter pemain yang telah diciptakan, mungkin tampaknya karakter tersebut belum pas. Ia menghentikan gladi dan memanggil para aktor untuk berkumpul. Di tengah para aktor yang berkumpul dia menjelaskan tentang energi dan karater dengan menganalogikan peristiwa seekor macan dengan mangsanya. Cerita mengenai sebuah peristiwa seekor macan yang bersiap ingin menerkam mangsanya, tentu sang macan akan mengerahkan seluruh energi, begitu pula dengan vokalnya untuk fokus mengirim naluri membunuh kepada si mangsa. Jadi ketika aktor bermain di panggung, menurutnya tidak hanya vokalnya saja yang harus kuat, tetapi juga seluruh tubuhnya (posisi, arah, tujuan, bentuk, pusat energi) harus mampu turut membantu maksud tujuan dan konteks dialog dalam peristiwa pertunjukan. Energi harus memiliki motivasi arah sasaran yang jelas, sehingga rasa bisa muncul dan tertangkap penonton. Menurut Tadashi prosesi latihan seharusnya mampu membentuk tubuh layaknya sebuah ‘mobil’ bagus. ‘Mobil’ yang bagus akan mengolah bahan bakar menjadi energi dengan baik, sekaligus mengeluarkan secara stabil menjadi energi gerak dan keseimbangan. Selain Energi yang ‘efisien’ dan ‘seimbang’, mobil yang bagus wajib pula memiliki ‘rem’ yang baik. Sehingga ketika mobil dalam kecepatan tinggi dan keadaan tertentu harus berhenti, maka ‘rem’ mobil harus bekerja baik, mobil dapat langsung berhenti. Begitu pula dengan tubuh, tubuh yang baik seperti mobil yang bagus, mampu mengolah energi secara stabil, sehingga dapat begerak dengan kuat, cepat dan seimbang, selain itu wajib memilki ‘rem’ bagus sebagai kontrol yang baik.
Dalam praktik latihan dasar Suzuki, posisi hentakan kaki harus menggunakan energi yang seimbang, sehingga ketika bergerak cepat energi dapat stabil. Kaki yang menghentak secara seimbang dengan kecepatan dan kestabilan baik, ketika harus berhenti pada posisi satu kaki diangkat ke atas, kaki harus mampu menjaga keseimbangan dan posisi kaki yang berhenti pada titik henti tertentu harus berhenti dengan tepat. Tubuh aktor teater secara fisik dipersiapkan tidak berbeda dengan tubuh para atlet olahraga menjelang bertanding. Namun, menurut Tadashi pekerjaan aktor lebih sulit dibandingkan atlet olah raga, sebab para atlet hanya mengandalkan energi untuk kekuatan dan kelenturan tubuhnya saja, sedangkan aktor teater selain menggunakan keduanya sebagai modal, juga menggunakan vokalnya.
Sepulang menyaksikan keseluruhan latihan dan gladi pentas para aktor SCOT saya jadi teringat tentang gagasan latihan ketubuhan tari Jawa yang menggunakan tiga elemen kunci dalam setiap proses ketubuhanya yaitu: wiraga, wirama dan wirasa.
Wiraga, Wirama, dan Wirasa secara berurutan disusun menjadi metode penting bagi para penari Jawa klasik dan wajib dikuasi sebelum tampil. Dalam konteks Suzuki latihan dasar gerak kaki, pose, sikap dan posisi tubuh yang dibentuk secara serempak, berulang ulang, dalam jangka waktu panjang, adalah sarana latihan untuk membentuk wiraga para aktor. Ketika bentuk-bentuk serempak, terkesan kaku dan monoton, dilakukan menerus maka musik menjadi elemen penting untuk membongkar energi lain tubuh agar memiliki warna. Saat itulah musik dimainkan dan menjadi kunci lain dalam metode dasar membongkar tubuh saat latihan. Sehingga munculah wirama pada gerak-gerak serempak, kaku dan monoton tersebut. Tampaknya kemudian pose, sikap, posisi gerak, bentuk kaku yang monoton pada tubuh aktor, kemudian mencari kesesuaian ulang pada irama musik pengiring. Dari kesesuaian irama gerak, pose, posisi, sikap, bentuk tubuh yang sebelumnya tampak kaku pada Wiraga, secara perlahan terbuka dan mencair mengikuti Wirama dan menemukan Wirasa melalui persentuhan warna musik yang beraneka bunyi dan tempo. Ketika ketiga hal tersebut dapat menyatu dan dilatih menerus bagi para aktor, dalam proses latihan dasarnya, maka waktu latihan berjam-jam tidak terasa lama dan membosankan. Sekaligus, cita-cita ketubuhan aktor yang sempurna, dapat dicapai.