Masih Adakah Cinta di Antara Kita? (Keprihatian Pendidikan Seni Pertunjukan Kita)
oleh : Mathori Brilyan
Apakah kita masih percaya jika kehadiran seni pertunjukan akan membawa kabar kebaikan pada kehidupan ini? Apakah kita berani membenarkan jika manusia akan menjadi lebih baik ketika menjadi bagian dari sebuah seni pertunjukan, entah sebagai penonton atau pelaku seni itu sendiri? Apakah patut disalahkan jika kehadiran seni pertunjukan tidak membawa nilai kebaikan, dengan menimbang seni merupakan ekspresi manusia dengan pergulatan batin kemanusiaannya?
**
Terlepas adanya nilai kebaikan ataupun tidak, patut disadari bahwa seni pertunjukan dengan segala intrik di dalamnya mau tidak mau nyemplung pada arena kebudayaan kita. Dan menuliskan kembali pengalaman sebagai penonton mengikuti peristiwa pertunjukan merupakan sebuah upaya untuk menghadirkan situs ingatan pada situasi seni pertunjukan kita. Situs ingatan tersebut adalah segala kesan yang terbangun atas pertunjukan teater sebagai proses pembelajaran di sebuah sekolah tinggi seni. Disebutkan pada informasi pertunjukan, mahasiswa tersebut bertindak sebagai sutradara sekaligus penulis lakon−perkerjaan yang tidak mudah bagi pelaku seni. Ialah Syarifah Lail Al-Qadariani, mahasiswa yang sedang menempuh ujian, sekaligus sebagai pelaku seni yang mempresentasikan karya pertunjukannya malam itu. Mengingat bahwa tulisan ini merupakan suatu usaha membangun sebuah situs ingatan atas seni pertunjukan kita, siapa saja boleh menambahkan, mengkritik, bahkan menghancurkan ingatan yang terekam indera sebagai penonton.
Judul Pertunjukan itu adalah “Perceraian ROMEO dan JULIET (Dekonstruksi Cinta, Seks, Neraka)”, dipentaskan pada tanggal 9 Mei 2018, bertempat di Ruang Kaca, Kampus Teater ISI Yogyakarta.
Sebelum memasuki ruangan tempat pertunjukan, calon penonton diminta untuk menyerahkan telepon genggamnya kepada tim among tamu. Kemudian diberikan selembar surat perjanjian, kira-kira isinya adalah untuk tidak mengambil gambar serta tidak membuat suasana gaduh selama pertunjukan berlangsung. Para calon penonton satu-persatu diminta menandatangani surat perjanjian tersebut di atas materai Rp. 6000,00. Sebelumnya, pada publikasi pertunjukan disebutkan jika jumlah penonton dibatasi hanya 30 orang dan hanya untuk mereka yang berumur di atas 18 tahun. Tentu saja ada “sesuatu” di dalamnya jika dilihat dari prosesi pra-pertunjukan, bahkan dari publikasi tersebut diunggah di media sosial. Apa yang diinginkan pencipta karya ini dengan menghadirkan suatu batasan terhadap karyanya? Hanya 30 orang penonton serta membatasinya untuk tidak mengambil gambar dari peristiwa pertunjukan. Dan, pertunjukan pun dimulai. Para calon penonton secara sah sudah menjadi penonton dengan pendataan ketat dari tim among tamu. Mereka mulai menaiki tangga menuju ruang pertunjukan yang berada di lantai 4, ruang teratas pada bangunan tersebut. Karena tidak ada foto yang dapat diikutsertakan pada situs ingatan ini, jejak visual adalah ingatan indera dari penonton. Pertunjukan berlangsung dengan durasi waktu kurang lebih 60 menit dengan peristiwa yang terjadi kira-kira seperti ini.
Pertama, terlihat lelaki telanjang tengkurap di atas kursi sofa jelek yang kulit penutupnya robek. Lelaki yang hanya menutup kemaluanannya menggunakan g-string itu lalu berdiri menyulut rokok, berjalan mengelilingi ruangan, menenggak minuman di dalam botol,−terkadang memaksa botol yang sudah kosong untuk ditenggak−lalu berjalan sempoyongan, seolah mabuk-mabuk cengeng. Melihat tubuh lelaki telanjang dengan hanya menutup bagian kemaluannya menjadi rekaman ingatan visual yang kuat bagi para penonton malam itu. Ia menciumi hingga menjilati lantai seakan sedang melakukan hubungan seksual dengan seseorang. Di dalam ruang pertunjukan tersebut penonton seakan dijebak oleh situasi yang tak diinginkan, tetapi dikehendaki si pencipta karya. Hanya ada satu pintu untuk akses keluar-masuk ruangan dengan penjagaan ketat. Saya mau tidak mau terkurung dalam ruangan tersebut, dengan cahaya minim, serta sajian visual yang begitu meneror, lelaki telanjang yang sangat percaya diri menampakkkan tubuhnya.Saya (dan mungkin penonton lain) yang muak dengan apa yang dilihat terpaksa harus menahan diri untuk tetap duduk jenak di ruangan.
Sebagai sebuah pertunjukan, dramatika peristiwa coba dipantik salah satunya dengan menghadirkan kekuatan audio. Suara botol yang tersungkur ke lantai, tawa kebebasan dari si lelaki, pilihan instumen musik yang semakin “mengurung” penonton di dalam ruangan pertunjukan itu. Sedangkan laku dari tokoh lelaki sengaja tidak menggunakan bahasa verbal seperti halnya pada pertunjukan monolog. Sutradara agaknya sadar betul bahwa sajian audio serta visual dapat menyentuh “sensasi” di pikiran/jiwa penonton, bahkan menerornya.
Si Lelaki kembali berjalan sempoyongan, kakinya menyampar botol-botol yang berserakan di lantai. Ia sengaja menyampar botol hingga pecah. Pecahan botol diambil dan seperti terjadi pergulatan batin yang dahsyat di dalam jiwanya, ia menggoreskan pecahan kaca tersebut di tangannya. Darah mengucur dari tangannya, diusapkan ke lantai dan cermin. Lelaki itu masih tangguh, tidak ada tanda kesakitan. Datang seorang lelaki yang lain. Sama, hanya menggunakan g-string untuk menutupi kemaluannya. Dua laki-laki telanjang lalu melakukan aksi seksual di atas sofa yang jelek itu. Perempuan datang tiba-tiba membanting pintu ruangan, ia memanggil lelaki itu, “Romeo!….”. Pertunjukan tiba-tiba menjadi sandiwara cinta remaja. Bedanya lelaki yang umumnya berselingkuh dengan perempuan, kali ini lebih memilih sesama lelaki. Entah karena kebutuhan seksual dari lelaki yang tidak terpenuhi oleh perempuan pasangannya, atau karena apa, entah. Kemudian pasangan itu−dalam teks pertunjukan yang dibuat mereka adalah Romeo dan Juliet−seperti mencurahkan isi perasaanya. Namun sayang, kendala artikulasi pengucapan dialog menjadi penghambat penonton untuk mencerap apa yang dikatakan lelaki dan perempuan itu. Pergulatan batin keduanya memuncak, emosi tak terbendung, dan taktik memunculkan “teriakan” dalam sebuah pertunjukan menjadi cara yang dipilih. Semuanya berteriak: lelaki, perempuan, musik penggiring suasana, bahkan botol-botol yang tersungkur, dinding ruangan, sebaris cermin di dinding, hingga sofa jelek yang digunakan sebagai fasilitas aksi seksual-radikal, semuanya berteriak dengan segala abstraksi emosi yang terus berkelindan.
Jika ditelisik, patut diduga bahwa pengalaman empiris yang dimiliki pencipta karya barangkali menjadi landasan dalam “mengobrak-abrik” karya besar kisah cinta Romeo dan Juliet. Kemudian melalui narasi tersebut dicari celah-celah yang dapat menjadi pintu masuk bagi teks yang lebih bersifat empiris dari pencipta. Proses pertemuan kedua teks yaitu teks yang sudah mapan karya William Shakespeare dengan teks yang masih bersifat abstraksi yaitu teks empiris pencipta disatupadukan menjadi landasan teks pertunjukan. Sedangkan secara bentuk pertunjukan yaitu penyampaian visual dan estetika tentu menjadi hak pencipta. Mengingat karya ini dihasilkan dari lingkungan akademik, tentu memiliki orientasi pengetahuan tersendiri. Namun sepertinya hal itu tidak terjadi pada bentuk pertunjukan yang dihasilkan. Titik berat lebih pada sebuah metodologi penciptaan karya pertunjukan dengan menggunakan semacam teori bedah− dalam kasus di sini yaitu dengan dekonstruksi. Rasanya sangat memaksa untuk menarasikan kembali teks Romeo dan Juliet menjadi pertunjukan eksploratif yang sedikit radikal ini. Pergulatan gagasan menuju bentuk karya sepertinya hanya terjadi pada kompromi pencipta dengan dirinya sendiri, mungkin juga ditambah diskusi nanggung dengan pengajarnya di kelas. Ini saya sampaikan mengingat pertunjukan tersebut memang terasa belum siap sebagai sebuah upaya penafsiran kembali atas teks dalam payung besar yaitu Dekonstruksi kisah cinta Romeo dan Juliet yang ditulis William Shakespeare. Penggunaan judul pertunjukan memancing penonton untuk menantikan kisah cinta Romeo kepada Juliet seperti apa yang ditafsirkan ulang melalui dekonstruksi tersebut. Cinta, seks, dan Neraka yang menjadi sub judul karya harus bekerja keras untuk mendapati gagasan pencipta bisa tersampaikan sebagai informasi melalui karya tersebut. Sutradara tidak cukup berani untuk menyajikan pertunjukan yang bebas-alur, bebas-makna, bahkan bebas ditonton ataupun tidak. Terlihat masih terbebani untuk menyajikan sebuah narasi cerita dengan segala logika yang memagarinya. Padahal dari awal penonton coba digiring untuk diteror kejiwaannya dengan menyajikan visual seksual-radikal tersebut. Namun mendudukan teks Romeo dan Juliet justru menjadi penghambat ketika pencipta ingin menggulirkan wacana mengenai kenyaataan cinta yang menjadi daya seksual pada tubuh manusia.
Pencipta merumuskan penafsirannya tentang cinta yaitu merupakan sebuah hasrat manusia yang puncaknya tidak lain untuk melampiaskan kebutuhan biologis−fantasi seksual. Rumusan cinta di sini barangkali dipupuk oleh pengamatan zaman yang dilakukan oleh pencipta serta pengalaman subyektif dirinya. Memang sulit ketika cinta harus dirumuskan pada pemahaman tunggal. Merumuskan pengertian cinta dalam jagad kehidupan ini tidak cukup disampaikan dalam sebentuk pengertian yang dapat dituliskan secara konkrit. Akan sulit juga ketika harus dijawab dalam pandangan subyektif. Cinta menjadi suatu abstraksi yang ada dalam setiap diri manusia. Kemudian ketika harus berusaha menafsirkannya, proses ini akan menjadi suatu terapi dalam dirinya sesuai pengalaman empiris yang membangun pengertian cinta tersebut. Situasi semacam ini barangkali yang terjadi pada pencipta, suatu pengalaman empiris yang mendorong pada penafsiran cinta secara demikian. Cinta hanya (dianggap) menjadi motif dalam diri manusia untuk melampiaskan segala hasrat yang berorientasi pada kesenangan subyek. Padahal penafsiran cinta dalam jagad kehidupan manusia begitu luas, terlebih ketika meletakkan cinta sebagai jalan yang ditempuh manusia menemukan nilai kehidupan. Karena apa yang terkandung dalam jagad hidup ini merupakan apa yang terkandung di dalam diri setiap manusia. Dan Cinta menjadi yang utama untuk ditanamkan dalam setiap perilaku manusia tersebut. Namun dalam karya pertunjukan ini, soal cinta masih bersarang pada pergulatan identitas, terlebih sebagai perempuan. Sangat jauh dari puncak cinta dalam diri manusia sampai pada ruang antara, yaitu ruang yang bersifat profan dengan spiritual, jika manusia sejatinya menjadi kekasih Tuhan dalam penemuan nilai kemanusiaannya.
Peristiwa malam sulit dipahami benar apa yang dicita-citakan pencipta dengan karyanya. Boleh jadi karya ini tidak butuh dipertunjukkan. Cukup sebagai ekspresi pencipta yang kemudian dapat menjadi pemantik renungan diri, tanpa harus meminjam panggung seni pertunjukan. Situasi seperti ini bisa jadi akan semakin melemahkan kekuatan tanding seni pertunjukan dalam arena kebudayaan kita. Dalam studi kritis pada karya ini dapat kita temukan sebuah pandangan mengenai “pertunjukan yang tidak untuk dipertunjukan”. Batasan ini yang tidak ada dalam aturan main seni pertunjukan kita. Dalam penyajian film, negara kita mempunyai lembaga sensor untuk menyeleksi sebuah karya untuk ditampilkan pada masyarakat. Tentu, guna untuk mendukung pendidikan generasi bangsa yang akan mengkonsumsi tayangan atau film tersebut. Sementara di seni pertunjukan, hari ini seni pertunjukan sudah menjadi milik siapa saja. Terlebih sedang santer sebuah wacana kontemporer dalam seni kita mengenai siapapun dapat menjadi seniman, semua dapat menjadi karya, dan tidak ada yang membendung hasrat tersebut. Situasi kebebasan ekspresi dalam seni pertunjukan kita hanya akan semakin menjauhkan nilai pokok seni kita terhadap perkembangan masalah hidup ini. Yang lebih memprihatinkan lagi dalam perilaku seni, pelaku seni justru akan terlepas jauh dari kedirian manusiawinya hanya karena hasrat yang lahir atas dirinya sendiri. Lalu apakah masih ada perilaku seni kita yang terus meletakkan dasar kemanusiaan bagi pelakunya sendiri?
Jika mendudukan pertunjukan ini sebagai konsumsi publik secara luas, apa benar sebuah bentuk seni yang tidak ramah ini menjadi kebutuhan masyarakat kita?.
Jika pertunjukan ini ditempatkan sebagai produk seni ‘hiburan’ di tengah masyrakat industrial yang memiliki rutinitas bekerja dalam durasi waktu setiap harinya, apakah akan memantik untuk keadaan yang lebih baik bagi kondisi keterjajahan kita?”
Jika proses berkarya ini adalah terapi bagi pelakunya, apakah setelah karya tersebut lahir, pelaku seni tersebut mengalami kelahiran kemanusiaannya? Semoga saja.
Jika pertunjukan ini merupakan karya akademis dengan bimbingan pengajar serta materi ajar yang profesional, mari kita membayangkan situasi pergerakan pengetahuan pada sekolah tinggi seni tersebut.
Jika pertunjukan ini dilihat sebagai produk pendidikan sebuah sekolah tinggi yang penciptanya disiapkan untuk menjadi pendidik generasi bangsa kita, kita tidak perlu kaget akan melihat kenyataan kondisi pendidikan kita, terlebih perihal seni pertunjukan.
Karya pertunjukan tersebut jika boleh dibilang, sangat memprihatinkan sekaligus membahayakan. Malah bisa dikatakan jika karya tersebut tidak patut untuk dipertunjukkan. Dalam artian, tidak ada proses pengolahan sebagai wujud karya untuk disajikan pada publik masyarakat. Herannya lagi, sekolah tinggi yang menaungi karya tersebut mendukung karya seperti ini dilakukan oleh mahasiswanya. Karya yang akan menjadi “citra” sekolah tinggi tersebut. Sebuah karya yang menjadi perjalanan pencipta untuk menjadi pendidik bangsa ini. ADUH, apa jadinya anak-anak kita nanti.
**
Apakah kita masih percaya jika kehadiran seni pertunjukan akan membawa kabar kebaikan pada kehidupan ini? Apakah kita berani membenarkan jika manusia akan menjadi lebih baik ketika menjadi bagian dari sebuah seni pertunjukan, entah sebagai penonton atau pelaku seni itu sendiri? Apakah patut disalahkan jika kehadiran seni pertunjukan tidak membawa nilai kebaikan, dengan menimbang seni merupakan ekspresi manusia dengan pergulatan batin kemanusiaannya?
**Gambar ilustrasi : Sony Prasetyotomo
*** Kalimat judul utama diambil dari petikan dialog pada naskah Tanda Cinta karya Nano Riantiarno.
Sudah baca yang ini?:
- Ibu Pertiwi, dan Anak-Anak yang Mencintainya - 20 November 2019
- Teater Tanpa Pagar: Imaji-intelektual, Keterjajahan Mental - 25 November 2018
- Mak, belikan baju baru, nanti malam aku pentas Teater! - 20 September 2018