Mampir Ngombe di Larantuka : Oleh-oleh Seniman Mengajar
[Aik Vela]. Barangkali, tulisan ini tidak layak dijadikan gambaran atas suatu wilayah dan aktivitas masyarakat di dalamnya. Bahkan, sebagai sebuah refleksi, mungkin sudah usang. Namun, nyatanya pengalaman itu masih saya kenang, sebagai sebuah anugerah yang digerakkan Tuhan untuk saya alami. Saya merasa perlu membaginya kepada teman-teman.
Agustus 2019 lalu, anugerah Tuhan itu datang dari sebuah pengumuman hasil seleksi program Seniman Mengajar dari Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Saya berkesempatan belajar dan berbagi di Larantuka, Flores Timur, Nusa Tenggara Timur. Sama sekali tak terbayang mengenai lokasi itu, karena dalam proposal pengajuan saya memilih daerah Singkawang (bagian selatan), Kalimantan Barat. Saya pikir Singkawang sesuai denga fokus poin proposal saya yaitu mengenai ritual perladangan. Tapi, apa boleh buat, Program ini menempatkan saya di Larantuka. Kini, setelah tepat satu tahun perjalanan itu, rasanya memang Larantuka adalah semesta yang tepat bagi pertumbuhan pengetahuan dan kesadaran saya.
Sebelum berangkat, tentu saya telah membuka google dengan kata kunci “Larantuka”, dan menemukan Festival Semana Santa. Agenda rutin umat Katolik tersebut telah menjadi satu ikon peristiwa religi dan budaya di Flores Timur. Ketika melanjutkan jelajah informasi budaya perladangan, saya menemu Festival Lamaholot yang termasuk agenda besar juga di sana. Berbekal informasi awal itu saya terbantu menjelajahi ruang-ruang interaksi di sana.
Terhitung 25 Juli hingga 5 September 2019, saya bersama tiga orang lainya dalam satu tim tinggal di Larantuka. Mereka adalah Muhammad Sibawaihi (seniman media asal Lombok Utara), Abdul Malik (penulis budaya asal Malang), dan Ardi Firyasah (seniman musik asal Jakarta). Mesti disebut satu tim, tentu saja kami berempat tetap menggendong program dan proposal masing-masing. Kami ditempatkan dalam sebuah rumah milik sepasang penduduk bernama Elisabet De Rosari (atau lebih sering kami sapa Mama Eti) dan suaminya Bapa Aris (saya lebih sering memanggilnya Ayah Aris). Mereka tinggal bersama seorang anak laki-laki yang masih SMA, kami sapa Ian. Ada pula beberapa anggota keluarga lain seperti saudara kakak beradik maupun keponakan yang sering berkunjung. Mama Eti seorang pegawai pemerintah kecamatan dan Ayah Aris seorang guru SD. Meski kami ditempatkan di kota kabupaten, kami lebih banyak berkegiatan di kecataman lain yang jaraknya lebih dari 20 kilometer, di sebuah desa bernama Bantala.
Desa Bantala, itulah lokasi yang disarankan oleh pendamping lokal kami untuk kami menjalankan program dan belajar bersama-sama dengan masyarakat. Ialah Silvester Petara Hurit, pendamping lokal kami. Biasa kami hormati dengan sebutan Pak Sil. Jangan bayangkan pendamping lokal akan melayani dan menemani kami para pendatang sepanjang waktu. Setelah mengenalkan kami pada komunitas seni, misalnya Sanggar Seni Tala Pia, kami seolah telah dibukakan gerbang untuk menjelajahi sendiri seluk beluk Bantala. Pada praktiknya malah kak Boli yang lebih banyak kami ajak pontang-panting menunjukkan jalan, ehehehe… Zaeni Boli, seniman dan guru SMK, dijuluki Badak Flotim, setia menemani kami ke sana ke mari untuk memenuhi rasa ingin tahu kami mengenai Larantuka. Lewat ia pula, kami bisa bertemu kakak-kakak hebat lainnya di CIG Record; Paul Goran, Finna Sefye, Arief, Ipung Bethan, dan lain-lain, plus berkenalan dengan keluarga kak Paul; Ayah dan istrinya (Dewanty Surat Tadon). Kami sangat beruntung bisa mencecap kopi yang nikmat, dibuat penuh suka bahagia setiap kami datang dengan kegelisahan-kegelisahan atas waktu dan tuntutan pelaksanaan proposal yang telah kami ajukan.
Dalam program kerja saya, sederhananya saya merencanakan 3 aktivitas, yaitu pencatatan rutinitas ritual adat perladangan yang sedang berlangsung saat itu, pengelolaan panganan lokal hasil bumi oleh perempuan, dan aktualisasi pemaknaan budaya perladangan tersebut dalam pertunjukan performatif dan teater (semua dilakukan oleh perempuan). Untuk itu semua, saya harus menemui tidak saja warga masyarakat, tetapi juga para perangkat desa dan tentu saja, para tetua adat.
Menyapa alam dan leluhur
Saya merasa luar biasa grogi ketika berkenalan dan mohon izin melakukan kegiatan di area rumah adat, Koko Bale. Beruntung saya ditemani oleh Bapa Rafael, salah seorang perangkat desa yang dengan telaten mendampingi saya setiap kali menghadap penjaga rumah adat atau pun pemangku adat lainnya. Orang yang saya temui pertama adalah Bapa Stanis. Waktu memperkenalkan diri, saya merasakan kesan sikapnya yang dingin, raut mukanya flat tanpa ekspresi. Permohonan saya untuk melakukan semacam uluk salam memasuki Nama atau Namang dijawab singkat dengan anggukan. Segera mulailah melakukan semacam ritual “kulanuwun” pada semesta di kompleks rumah adat itu. Saya mencoba menenangkan pikiran dan mengingat sedikit hal yang pernah saya dapat dari Simbah Suprapto Suryodarmo soal bagaimana “menyapa” alam ketika menapaki tanah/wilayah baru. Saya melakukan beberapa gerak tubuh yang mengalir, dengan niat batin menyapa tanah, udara, matahari, batu, pohon, dan alam sekitar. Saat saya sudah merasa dekat, tiba-tiba anjing menggonggong dengan sangat keras. ia hampir memasuki Nama. Saya gelisah dan menyudahi gerak. Saya duduk di bawah naungan atap Koko Bale. Anjing itu berhenti menggonggong dan bapa Stanis menghampiri. Saya bertanya kepada bapa Stanis: Adakah saya melakukan kesalahan? Dan jawaban bapa Stanis membuat saya harus belajar lebih teliti, “Nona tadi masuk bukan melalui pintunya (menunjuk arah utara yang saya lewati untuk masuk Nama, lalu menunjuk arah selatan yang terdapat undakan batu, beliau tunjuk sebagai pintu masuk yang dimaksud). Mungkin leluhur di sini melihat Nona dan berusaha mengingatkan.”
Saya sedikit menyesal dan merasa harus menebus ketidaktelitian dan kesan tak sopan pada leluhur, atau utamanya pada bapa Stanis yang ternyata saat itu memperhatikan saya dari jauh. Setelah itu, kepada Bapa Stanis, saya sampaikan maksud kedatangan dan mohon diizinkan untuk mengikuti ritual adat nobu-nobu. Ritual ini memang dilakukan oleh para wakil pelaksana prosesi yang semuanya adalah laki-laki. Bapa Stanis awalnya sempat tak mengizinkan saya ikut karena prosesi ini harus naik bukit cukup jauh dan tinggi. Saya yang perempuan dirasa tak akan kuat. Tapi saya ngeyel dan beliau pun mengizinkan saya ikut dengan syarat bapa Rafael harus mendampingi. Maka berangkatlah saya nobu-nobu (prosesi memberi penghormatan pada titik-titik yang dipercaya merupakan kemunculan pertama leluhur Lewotala atau Bantala). Ada banyak versi cerita soal leluhur-leluhur yang dimuliakan di sana, satu yang melekat dalam ingatan saya adalah Tonu Wujo, Leluhur perempuan yang mengorbankan bagian-bagian tubuhnya ditanam dalam tanah untuk memerangi penderitaan kelaparan generasi selanjutnya.
Perempuan dan pangan
Di ranah kehidupan sosial, saya menemui ibu kepala desa yang tentu saja sekaligus ketua PKK desa. Saya ingin menggali informasi tentang peran perempuan dalam pengelolaan hasil bumi. Program PKK yang sedang aktif dilakukan waktu itu terkait pangan adalah pengentasan anak-anak dari gizi buruk. Data menunjukkan bahwa desa Bantala menempati posisi teratas jumlah kasus stunting dalam satu kecamatan. Ada sekitar 11 anak dilaporkan mengalami kondisi pertumbuhan yang dibawah standar. Tetapi dari obrolan dengan salah satu ibu yang anaknya termasuk penderita gizi buruk, para ibu cenderung mengelak jika anaknya dikategorikan demikian. Mereka mengakui jika anaknya disebut kurus, tetapi bukan berarti stunting dan gizi harian buruk, mereka hanya menganggap itu semata karena belum minum susu sapi. Saya merasa yakin ada cerita-cerita lain yang perlu dibagi oleh perempuan di sana, baik yang telah memiliki anak atapun yang belum. Bagaimana mereka memahami susu atau sumber daya alam lainnya di sekitar? Apakah mereka rasakan juga kehadiran dirinya sebagai simbol kesuburan dalam mitologi dan adat? Kami akhirnya menyepakati untuk melakukan perjalanan singkat di kebun sekitar kantor desa. Kami menyebutnya “Piknik Pangan”. Kemi mendesain ulang detil kegiatan agar bisa dinikmati bersama para warga ini. Berkeliling kebun, mengidentifikasi berbagai tanaman dengan menggunakan semua indera (penglihatan, penciuman, peraba, perasa dan pendengaran), sembari mengajak untuk bercerita tentang memori-memori yang muncul terpantik atas kesan-kesan indera pada tanaman sumber pangan itu. Kegiatan dilanjutkan dengan memasak, makan, bernyanyi dan bertukar cerita dengan bahagia.
Selain urusan pangan, saya melanjutkan untuk menggali pelajaran dari para perempuan di desa itu. Suatu kali, saya bertemu dengan seorang perempuan berkebutuhan khusus di desa itu. Ia diyakini memiliki gangguan jiwa oleh warga setempat. Saya bertemu ketika dia sedang menenun. Dia tampak dewasa, meski pendiam. Saya tidak bisa melanjutkan cerita satu ini. Bagaimanapun saya harus menempatkan diri sebagai pendatang yang hanya sementara, mengajak mereka belajar tanpa harus saya menjadi gurunya. Yang jelas, pertemuan dengan si penenun yang dianggap gila ini, telah membuat alarm hati dan jiwa saya menjerit sekencang-kencangnya.
Bersama sanggar seni Tala Pia, perlahan kondisi para perempuan itu terbuka bagi saya. Kami menyusun sebuah kegiatan bertajuk Sungai Kehidupanku. Dari proses ini terkuak betapa gigih mereka menjalani hidup yang tak semengalir judul kegiatan ini. Sesi pertemuan awal adalah mengajak mereka menggambar dan bercerita. Dari sini saja sudah terasa, banyak diantara mereka memilih mundur, atau mengulur waktu giliran bercerita, bahkan menolak bercerita. Kita tidak memaksakan, tetapi pelan-pelan memberi pengertian bahwa kita sama-sama akan saling memahami dan lebih saling memahami setelah saling bercerita. Muncullah di situ cerita-cerita pilu keseharian, dan tergambar betapa jarak kenyataan perempuan dengan kedudukan simbolik dlam ritual dan prosesi adat. Tapi semua tampak tak ingin bersedih meski beberapa ada yang menitihkan air mata. Begitulah perempuan. Lagu muka mereka seolah berkata seperti itu.
Kamipun bersepakat untuk memberanikan diri menyampaikan cerita itu kepada suami, anak, cucu, tetangga, dan semua orang melalui sebuah pertunjukan kolaborasi. Selama proses persiapan kami sering bertengkar karena tak cocok ide. Saya sempat bingung. Selain kendala bahasa daerah, saya juga paham bahwa hal yang mereka pertentangkan tidak lain juga adalah ide mereka yang sama-sama ingin menunjukkan tampilan terbaik. Meski sering berantem, ada yang mogok, tapi semua tetap datang latihan tepat waktu.
Selain hal-hal yang “menusuk” hati dan menegangkan, ada peristiwa lain yang mungkin kecil tapi berkesan. Tentang seorang mama yang dalam perjalanan sepulang dari gereja tiba-tiba merangkul saya, orang yang belum dikenalnya, hanya karena melihat tulisan “teater” di kaos belakang saya, yang katanya mirip dengan profesi menantunya. Lalu, pertemuan asyik di Seminari Hokeng bersama Romo Inno Koten dan sahabat dari Maumere. Arisan bersama keluarga besar De Rosari. Percakapan pagi dengan nelayan yang memberi saya segelas kopi dan sekantong kresek ikan sarden, serta latihan bersama Teater Sina Riang di pulau Adonara, dan anak-anak muslim bermukim di tepian laut yang menyebut saya bisa melihat hantu karena ada tahi lalat di alis saya. Masih banyak lagi.
Pulang, lalu apa?
Sepulang dari program Seniman Mengajar, dengan pengalaman-pengalaman itu, saya cukup gelisah. Saya cemas jangan-jangan yang saya alami hanyalah kenaifan. Akhirnya, beberapa ruang memberi kesempatan untuk saya membenturkannya. Ruang pertama dibuka oleh IVAA melalui sharing bertajuk “Berbagai Denyut Kebudayaan dari Tatapan Perempuan”. Adapun dua teman seangkatan program ini yang bergabung: Yessi Yoanne (penempatan Sangihe) dan Amanatia Junda (penempatan Banda Naira). Penebalan dalam sesi tersebut di antaranya adalah seniman perempuan yang berangkat dari latar sosial budaya berbeda yang bersentuhan langsung dengan rutinitas setempat dalam waktu singkat. Beberapa dialog yang muncul seputar model-model apa yang ditinggalkan agar pantikan yang berhasil dilakukan seniman dalam program ini bisa berlanjut oleh masyarakat lokal secara mandiri. Ruang kedua oleh Kalanari Theatre melalui diskusi bertajuk “Masyarakat Naik Panggung”. Ada Andhika Ananda yang pernah mengikuti program Seniman Mengajar dan Ibed S. Yuga yang menjadi moderator. Beberapa diskusi hangat menyoal kerja-kerja seniman teater yang musti melakukan refleksi tentang siapa masyarakat – lebih dalam lagi – siapa diri sendiri sebagai seniman. Ruang ketiga dilakukan secara internal dalam organisasi mahasiswa di mana saya pernah bernaung; Teater Hampa Indonesia. Saya merasa perlu berbagi kepada teman-teman di sana karena merekalah yang akan kembali ke daerah-daerah masing-masing untuk mewujudkan apa yang telah dipetik dari kawah candradimuka (unit kegiatan mahasiswa) dan berbuat sesuatu. Namun, entah terlalu jauh bayangan saya, tak banyak dari teman-teman mahasiswa yang berpikir untuk ‘berbuat sesuatu’ itu. Dialog hanya berhenti pada kekaguman-kekaguman mereka pada saya yang mungkin bagi mereka adalah suatu pencapaian mustahil bagi mereka: menjadi seniman. Ruang terakhir dibuka oleh bantuan Pak Doni, pendiri sekaligus sutradara Teater Ruang Karakter. Dalam kesempatan itu, saya ajak turut Abdul Malik dan Muhammad Nasai (penempatan Muaro Jambi) untuk berbagi. Cukup banyak teman-teman seniman yang hadir. Tetapi tak banyak yang ingin tahu seputar kerja-kerja seni bersama dalam masyarakat. Sepanjang kurang lebih 120 menit, perbincangan berkutat pada program Seniman Mengajar itu sendiri, mulai dari peluang hingga hal-hal apa saja yang harus dimiliki ketika ingin mengikuti program tersebut.
Dari sekian ruang itu, saya tetap khawatir yang saya bagikan adalah sebuah kenaifan. Bahkan, suatu kejahatan karena seakan-akan saya memandang Larantuka secara eksotis. Bersyukur masih ada beberapa kawan yang memperingatkan. Saya masih perlu dijewer ketika salah memaparkan dunia lain di belahan semesta nusantara ini. Pada akhirnya, saya tetap tak ingin ceroboh lagi dan semoga catatan yang sangat terlambat ini bisa dibaca.
Yogyakarta, 24 Agustus 2020
- Mampir Ngombe di Larantuka : Oleh-oleh Seniman Mengajar - 26 Agustus 2020