Itu Madura! : Catatan untuk Pertunjukan “Tatengghun” karya Sutradara Anwari
Renee Sari Wulan.
Ini adalah pertunjukan dua tahun lalu, namun catatan Renee Sari Wulan ini masih relevan untuk disimak hari ini.
Sekali lagi, saya dipertemukan dengan masyarakat yang diajak membaca tubuhnya, membaca dirinya. Di suatu malam hangat, 23 Juli 2017, saya berada di tengah-tengah warga dusun Baluwar, desa Nyapar, kecamatan Dasuk, Sumenep, Madura. Juga hadir tamu dari beberapa daerah di luar pulau Madura. Kami bersama-sama berada di tanean lanjang, sebuah desain tempat tinggal peninggalan tradisi Madura, untuk menyaksikan pertunjukan (tatengghun dalam bahasa Madura). Sang sutradara, Anwari, menyebutnya sebagai Teater Antropologi. Saya berusaha memahami idiom itu dengan mencoba mencari jawabnya sebelum pertunjukan. Saya sampai di Baluwar sore hari, lalu menjelajah sekitar lokasi pertunjukan. Beberapa temuan saya dokumentasikan dalam foto-foto, selain itu saya juga ingin ‘menyerap’ Baluwar semampu tubuh saya bisa lakukan sepanjang sore sampai malam itu.
Kembali pada pertunjukan, maka saya menangkap Tatengghun adalah Madura. Tanah merah, batu kapur, garam, singkong, jagung, sapi, kaos bergaris putih-merah, kelontongan sapi, alat pembajak sawah, ayam, ekspresi tubuh-tubuh individu, bunyi, hadir menyatu dalam spirit di Tatengghun. Sejarah, waktu kini, dan visi masa depan hadir pada satu titik. Sejak awal proses Anwari telah mendekatkan masyarakat Baluwar dengan tubuh kontemporernya. Ia penetrasikan proses kreatif yang merupakan hasil pembacaan dia atas sejarah dan tubuh Baluwar, ke dalam aktivitas keseharian warga Baluwar. Ia ajak pemainnya berproses di ladang, berbarengan dengan aktivitas warga di sana. Pembacaan Anwari adalah juga pembacaan atas tubuh Madura hari ini. Saya sepakat bahwa warga Baluwar pun memiliki tubuh kontemporer, tubuh yang bergerak bersama jaman, terus menyerap situasi jaman. Dengan demikian tradisi bisa menjadi kontemporer sekaligus, setiap saat. Sebagaimana tubuh Anwari dan pemainnya yang kental dengan kompleksitas waktu kekinian sekaligus melekat dengan sejarahnya. Kedua tubuh itu dipertemukan Anwari di ladang, ada momen dialog di sana, dengan bahasa dan cara masing-masing.
Tatengghun menyatakan itu: ekspresi individual dan komunal dalam satu tubuh, lintas waktu/jaman. Warga Baluwar dihadapkan pada ungkapan-ungkapan individualnya: lompatan, salto, gerak repetitif, tubuh yang berperan dengan beragam emosi dan nyawa, tubuh yang tidak mengalir (gerak patah-patah, penekanan di sana-sini, potongan-potongan, fleksibilitas, sentakan-sentakan). Aliran terjadi ketika tubuh mengokohkan kekuatan. Kehadiran dua sosok perempuan dari generasi berbeda di awal pertunjukan, menghadirkan kekokohan tubuh dalam ruang yang mengalir. Mereka bergerak pelan, maju, melontarkan petikan-petikan tubuh Madura, dalam bingkai “kekerasan”. Tubuh Madura sebagai tubuh yang “keras” melontarkan kekuatan-ketajaman dalam detil, berbarengan dengan kekokohan yang bergerak mengalir. Para pemain menyatakan perjalanan masing-masing sesuai jamannya; tubuh Madura dengan sejarah dan lingkup dinamika keseharian. Sejarah dan keseharian yang berlapis-lapis, membentuk tubuh yang berlapis-lapis. Bagi saya hal itu semacam ensiklopedi “nyawa Madura”: celoteh, omelan, sahutan, gerundelan, tongkrongan, seloroh, sinis, frustasi, emosi terpendam, kegalauan, ketakberdayaan yang tetap terbungkus “kekerasan”, …
Bagian penutup adalah keberhasilan ‘Madura’ menyatakan kewajarannya. Dalam teks pengantar pertunjukan Anwari mengeluarkan pernyataan tentang proses penciptaan etika dan estetika yang dikelola melalui spirit pada diri manusia. Ada pertanyaan saya perihal “penciptaan etika” yang ia maksud dalam pernyataan itu. Di penghujung pertunjukan saya dapatkan jawabannya. Di bagian itu Anwari menghadirkan tiga sosok perempuan leluhurnya: ibu (40 thn), nenek (70 thn lebih), nenek buyut (100-an thn lebih). Mereka duduk berdampingan. Anwari datang menghampiri mereka sambil membawa baskom besar berisi air. Ia berlutut di hadapan ibunya, ia cium kaki ibunya, lalu ia basuh kedua kaki itu. Ia lakukan hal yang sama pada nenek dan nenek buyutnya. Kemudian ia berdiri, ia angkat baskom itu dan ia minum air di dalamnya yang sekaligus menyiram sebagian badannya. Lima laki-laki yang berdiri di belakang tiga perempuan leluhur, menghunjamkan tangannya ke atas disertai pandangan ke atas dan seruan: “Mak! Aku lahir dari kandang sapi!”. Tidak ada air mata, tidak terkesan ada keharuan yang ingin diciptakan. Namun saya sulit menyangkal bahwa bagian itu adalah bagian yang sangat penting: pengakuan dan penghormatan terhadap kehidupan dan kemanusiaan. Setting dari Tatengghun memang sebuah kandang sapi yang berada di latar belakang pentas, dengan seekor sapi besar di dalamnya. Saya membaca sapi sebagai energi kehidupan masyarakat Madura. Ia hadir layaknya bumi/tanah bagi masyarakat agraris, laut bagi masyarakat nelayan, rahim bagi manusia.
Kemudian musik berbunyi lantang, membaurkan tubuh pemain dan penonton bergerak bersama. Indonesia, ini tubuhmu, mari kita rayakan!
Kecuali bagian akhir, seluruh dialog menggunakan bahasa Madura. Demikian pula Anwari membuka dan menutup Tatengghun dengan bahasa Madura. Aksen, tekanan, seruan, layaknya acara-acara umum yang diadakan oleh warga. Sekali lagi ini sebuah strategi penyatuan ekspresi kontemporer dan tradisi. Apapun itu ia adalah bagian dari K I T A.
Saya ingin menutup ini dengan mengatakan: Indonesia membutuhkan pembaca dan pengekspresi seperti Anwari. Kreator yang mampu terus-menerus menciptakan ruang bagi kita untuk melihat dan membaca kita.
Dan saya akhiri perjumpaan kami malam itu dengan menyampaikan terimakasih kepadanya.