Bagaimana Plastik Berbicara Melalui Pertunjukan : Catatan untuk “MetaTeater”—Institut Seni Budaya Indonesia Bandung
[Joshua Pradipta]. Pementasan teater yang diadakan Institut Seni Budaya Indonesia Bandung pada 25 Juli 2023 lalu, memanglah terbilang aneh. Tidak seperti teater pada umumnya yang berlangsung satu arah, pementasan yang mengusung tajuk “MetaTeater” justru “membunuh” keberjarakan antara pemain & penonton. Tidak ada lagi penonton dan ditonton, semua yang hadir dalam ruangan itu melebur jadi satu.
Bukan hanya itu, teater ini juga “meludahi” aturan-aturan basi yang umumnya harus dipatuhi ketika berada dalam ruang pementasan. Alih-alih melarang penonton menggunakan lampu flash untuk mengambil foto, mereka justru diminta untuk menyalakannya.
Lampu flash diikutsertakan menjadi bagian penting dari pementasan ini, menerangi seluruh kegiatan dari awal hingga akhir. Tanpa lampu flash dari penonton, tak ada tubuh-tubuh manusia yang bisa terlihat selain kegelapan itu sendiri. Lebih aneh lagi, penonton diminta untuk mengaktifkan nada dering handphone mereka dengan volume besar.
Formulir pendaftaran acara ini pun dapat dibilang cukup menguras otak. Calon penonton diminta untuk menuliskan opini mereka mengenai kebudayaan yang hilang, memberi judul, dan membuat sinopsis acara ini. Nantinya, input-input ini akan dilibatkan dalam pementasan.
Hadir di Tengah Kegelapan
Setelah menunggu beberapa jam di lokasi, akhirnya pintu teater dibuka sekitar pukul 19:30 WIB. Melangkah masuk menuju pintu itu, aku dihadapkan pada sebuah ruangan gelap tanpa panggung dan kursi penonton.
Segera setelah memasuki ruangan, seluruh penonton diminta untuk menempelkan opini mereka masing-masing (yang sudah diinput ketika pendaftaran) dan memenuhi dinding ruangan itu. Tiba-tiba, terdengar suara sayup nyanyian yang aku tidak tahu apa namanya. Nyanyian seperti nada-nada kidung tradisional, mungkin aku menganggapnya sebagai “tembang”.
Para penonton dibuat kebingungan, mencari-cari dari mana asal suara tersebut. Tak lama kemudian, muncul seorang perempuan bernama Nida Ulhanifah Setiadi dengan membawa sebuah lentera. Apakah lentera ini yang dimaksudkan sebagai cahaya di tengah kegelapan?
Memasuki babak berikutnya, Eka Nusa Pertiwi membacakan narasi singkat yang mungkin adalah keresahannya terhadap teknologi yang kian lama menggerus tradisi masyarakat. Ia menyoroti bagaimana teknologi telah melumpuhkan tangan-tangan piawai para penenun tradisional, menggantinya dengan mesin-mesin modern bak robot.
Sejujurnya, aku tak mengingat secara utuh apa yang disampaikan, tapi ada satu hal yang menggelitik pemikiranku terkait beberapa narasi yang Eka sampaikan dengan bahasa Inggris. Jika melihat konteks pementasan yang berpijak pada tradisionalitas, kenapa ia harus mencampurkan narasi itu dengan bahasa Inggris? Apa kepentingannya? Apakah jangan-jangan supaya terlihat keren dan berbobot?
Keheningan ruang yang kala itu sangat gelap, tiba-tiba terganggu oleh nada dering notifikasi gawai dari para penonton. Panitia acara mengirimkan video dokumenter melalui grup Whatsapp. Tanpa sadar, semua orang dalam ruangan itu disibukkan dengan melihat gawainya masing-masing.
Satu demi satu, para penonton mulai memutarnya. Suara dentuman mesin tenun dalam video itu pun saling beradu-pukul dengan penonton lainnya. Ketidakseragaman yang terjadi saat penonton menekan tombol “play”, seakan merayakan indahnya perbedaan yang justru menghasilkan keharmonisan, berupa bentuk suara baru — yang bagi saya terdengar seperti “hujan deras”. Suara notifikasi “bom stiker” yang dikirimkan panitia di grup Whatsapp pun semakin “menghujani” isi ruangan itu.
Keriuhan itu pun mereda ketika seorang pantomim bernama Wanggi Hoed memasuki ruangan sambil memainkan harmonika yang syahdu. Ia menerobos dan membelah barisan duduk para penonton untuk berinteraksi. Sungguh mengagetkan, tiba-tiba Wanggi menghampiri beberapa penonton, mengambil handphone mereka, dan mengajaknya berswafoto bersama.
Aku yang saat itu duduk di barisan belakang, tak melihat jelas apa yang terjadi di depan. Memang, dengan tak adanya panggung, banyak penonton menjadi kesulitan melihat para aktor, karena terhalang oleh orang-orang di depannya. Mungkin, ketidakterlihatan adalah bagian dari pementasan itu sendiri. Melalui suara yang terdengar di belakang, para penonton dapat berfantasi, berimajinasi tentang apa yang sedang terjadi di depan.
Kesunyian itu pun kembali memanas ketika Wanggi berlaku seperti orang yang sedang berdemonstrasi. Para penonton diajak bergerak, berdiri, dan merusuh dengan berteriak “oyyyy!! oyyy!!! oyyy!!!”.
Sekitar pukul 20:43, para penonton dibuat bergerak kembali ke arah sudut lainnya. Pada sudut itu, seorang eksekutor mencoret-coret tirai plastik dengan kuas, sang pencoret itu adalah Eko Bambang Wisnu. Mohammad Wail yang kala itu bertelanjang dada datang menyambutnya dengan memecut-mecut tirai plastik itu. Suara pecutan yang menegangkan seisi ruangan itu, seakan menyiratkan rasa amarah dan protes dari mereka — yang jeritannya selalu terabaikan.
Emosi yang tak terbendung membuat Wail merobek tirai plastik itu dan menggulungkan ke tubuhnya. Ia jungkir balik di atas lantai, menghentakkan kakinya, penuh amarah. Ia melemas dan terkapar pasrah. Para penonton pun diajak ikut mengamuk — merasakan emosi Wail dengan menyerang tubuhnya yang terbungkus oleh plastik pencemar lingkungan itu menggunakan kuas.
Interpretasi MetaTeater
“MetaTeater” ini nampaknya berhasil membawa dan melampaui sisi introvertku yang selama ini hanya berada di belakang layar sebagai subjek pasif. Dari awal hingga akhir pertunjukan, keberadaan diriku tidak lagi menjadi penonton, melainkan menjadi aktor yang berada di arena panggung bersama. Alih-alih berdiam diri duduk di atas kursi, aku justru menjadi sangat aktif, penuh dengan gerak ke sana dan ke mari. Mungkin, pertunjukkan ini adalah wujud nyata atas cita-cita Augusto Boal terhadap apa yang disebut teater partisipatoris.
Sepanjang pementasan, pikiranku terus-menerus dihantui rasa penasaran. Mengapa “MetaTeater” ini menggunakan plastik sebagai aktor dalam pementasannya? Jangan-jangan, aktor utamanya bukanlah manusia, melainkan plastik itu sendiri? Bagaimana jika ternyata plastik itu adalah aktor yang justru ingin berbicara lebih besar daripada Eko, Nida, Wail, dan Wanggi? Lantas, mengapa plastik itu berbicara? Pesan apa yang ingin plastik itu sampaikan kepada kita?
Sepertinya, plastik itu ingin berbicara tentang para penguasa plastik yang rakus dan mendominasi kekerasan ekologis di bumi. Plastik yang melilit tubuh Wail dengan posisi telanjang, seakan memanifestasikan tubuh-tubuh kaum tertindas yang mulutnya dibekap dengan uang suap. Dibekap oleh mereka yang bekerjasama dengan “tikus-tikus berdasi”.
Bagaimana penguasa membayar para pekerja dengan upah yang jauh di bawah kata layak, menyuap izin kelayakan AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan), mencemari sungai dengan apa yang disebut “microplastic”, dan merusak ekosistem di dalamnya.
Pada akhir pementasan, alunan harmonika yang kudengar mengingatkanku pada seekor penyu. Apakah nada sedih itu adalah lagu mengheningkan cipta untuk seekor penyu, dengan darah dan sedotan plastik yang menancap di hidungnya?