Jarak Sebagai Medium dalam “Cerita Anak” Pappermoon – Polygot
oleh : Wisnu Yudha W
Cerita Anak adalah pertunjukan hasil kolaborasi Polyglot Theatre dengan Papermoon Puppet Theatre, dua kelompok teater yang dikenal sebagai salah satu kelompok teater terbaik dari negara masing-masing, Australia dan Indonesia. Mereka membawanya ke Jogja pada 27-29 April 2018 lalu, dipentaskan di Padepokan Seni Bagong Kussudiardja. Pementasan itu adalah hasil kerja sama Papermoon Puppet Theatre, Polyglot Theatre, Padepokan Seni Bagong Kussudiardja, ArtJog, dan didukung oleh Dinas Kebudayaan Yogyakarta.
Seperti diceritakan oleh Ria, sutradara Papermoon Puppet Theatre, pertunjukan ini telah melalui proses yang cukup panjang. Diawali di tahun 2015, melalui serangkaian proses kolaborasi yang juga secara langsung melibatkan anak-anak di Lasem, Desa Kepek di Bantul, dan juga anak-anak dari Sekolah Dasar Dinjerra di Melbourne. Satu pokok penting yang saya tangkap, pertunjukan ini mengusung prinsip “dari anak-anak, oleh anak-anak, dan untuk anak-anak” baik secara artistik maupun dalam gagasan pokok penciptaannya.
Elemen seting dan properti bisa dikatakan sebagai heart beat pertunjukan ini, kolaborasi apik dari instalasi dan permainan boneka. Megambil inspirasi cerita dari kisah perjalanan anak-anak pengungsi yang tiba di Australia dengan perahu dan sejarah penenggelaman kapal nelayan di Pesisir Utara Jawa di masa Perang Dunia II, mereka menciptakan sebuah wahana permainan, dunia imajiner, tempat penonton partisipan secara aktif menjadi bagian dari pertunjukan sebagai penumpang kapal. Selama satu jam penonton partisipan diajak mengarungi Samudra, sebagai manusia perahu, beserta segala harapan, kegembiraan, keberanian, dan tentu saja kenyataan perihal keindahan sekaligus ganasnya lautan.
Penonton di Luar Wahana, Jarak sebagai Medium
Di Yogyakarta, di samping penonton yang menjadi penumpang, Cerita Anak menghadirkan penonton yang ditempatkan di sekeliling set panggung, di balik kain putih transparan seperti menghadapi akuarium. Berbagai hal teknis harus dipatuhi untuk menjaga keberadaan mereka tidak disadari oleh penumpang perahu demi menjaga pengalaman penumpang pada pertunjukan partisipatif ini. Tidak berisik, tidak membuat suara, berpakaian gelap, dan lain-lain yang pada intinya menjadikan penonton ini hadir sebagai penyaksi yang sepenuhnya terpisah dari realitas yang dibangun di wahana permainan. Pada titik ini, saya benar-benar merasakan tembok ke empat secara nyata. Jarak itu menjadi sedemikian tegas.
Namun demikian, alih-alih membawa pada pengalaman menonton petunjukan teater konvensional, jarak yang diciptakan itu justru memberikan pengalaman tersendiri. Jika saya merujuk pada ungkapan medium is the message, jarak telah dikenali dan mampu membawa pesannya. Dibatasi kain putih transparan dan segala aturan untuk menghilangkan eksistensi penonton atas peristiwa di dalam panggung, jarak itu justru bicara dengan lantang.
Pada awal pertunjukan penonton di luar wahana disuguhi proses masuknya penumpang (penonton partisipan) ke dalam wahana, perahu yang sedang bersandar di pelabuhan. Secara gamblang penonton bisa melihat suasana dan kondisi penumpang dipersiapkan untuk memasuki dunia imajiner itu. Pada kain transparan diproyeksikan konfigurasi warna dan gambar-gambar yang mengisyaratkan semangat dan keindahan lautan. Secara teknis konfigurasi proyeksi gambar itu membantu membuat suasana sekaligus menghilangkan pandangan penumpang pada penonton yang mengawasi mereka diam-diam di sekeliling panggung.
Ketika peluit kelasi ditiup, perjalanan dimulai. Penumpang memasuki kapal dan mereka berangkat. Kain berwarna biru yang diletakkan di lantai bergerak-gerak tertiup angin, seperti ombak. Kapal bergoyang-goyang digerakkan aktor-aktor, penumpang tertawa senang. Perjalanan itu penuh semangat dan kegembiraan, bahkan mereka sempat memancing ikan. Saat menghadapi badai, keceriaan tetap dipertahankan. Hujan deras yang diwujudkan dengan bola-bola yang berjatuhan, semprotan air untuk memperkuat sensasi hujan dan hempasan ombak, justru terlihat menyenangkan.
Dalam adegan itu, saya merasa diajak melihat peristiwa yang menyeramkan itu dalam kepolosan imajinasi anak-anak. Bukan rasa takut yang muncul, tapi semangat permainan dan petualangan yang jujur. Bahkan saat perahu itu akhirnya tenggelam, justru imaji dunia dasar laut yang mengagumkan dihadirkan. Gambar-gambar makhluk laut diproyeksikan, boneka ikan pari yang melayang-layang, permainan bayangan, dan banyak kejutan visual lain dihadirkan. Keceriaan itu berhasil membawa saya menyelami dunia anak-anak yang jujur, tulus, dan tanpa prasangka.
Sensasi menjadi penonton dari luar yang penuh kedamaian itu seketika berubah saat suasana bawah laut tiba-tiba berubah dan musik yang tadinya penuh daya petualangan berubah menjadi gelisah. Gambar makhuk bawah air di kain transparan ditimpa proyeksi gambar ribuan perahu tenggelam. Sensasi visual itu seolah juga menempatkan penonton untuk menyaksikan tenggelamnya ribuan perahu dalam perjalanan mereka. Rekaman suara anak-anak yang ceritanya menjadi sumber inspirasi itu juga diputar, tentang keluarga dan kawan-kawannya yang meninggal karena perahu mereka tenggelam dalam perjalanan mencari suaka ke Australia.
Dalam peristiwa itu, jarak bagi penonton di luar panggung menjadi begitu terasa. Seketika itu empati terusik. Wajah anak laki-laki dalam suara itu melekat pada penumpang-penumpang di panggung, yang bagi saya juga melekat pada wajah-wajah dalam ingatan tentang berbagai persoalan keseharian. Persoalan pengungsi manusia perahu memang menjadi isu kuat di Australia dan mereka memang ingin memperlihatkan perspektif kemanusiaan untuk melihat persoalan tersebut, betapa korban yang tidak sepenuhnya diperhatikan adalah anak-anak.
Namun demikian, perihal kemanusiaan adalah universal. Seketika saya dihadapkan pada sikap abai, bahkan dalam diri sendiri, atas berbagai persoalan keseharian. Kain transparan yang menjadi batas itu seketika mengingatkan pada batas-batas yang menghalangi kita untuk peduli pada persoalan di sekitar. Kekerasan rumah tangga, kemiskinan, dan bahkan pada soal sepele tentang membuang sampah sembarangan. Kain putih itu menjelma berbagai dalih untuk sikap abai itu.
Pertunjukan itu selesai dengan datangnya pertolongan, dan akhirnya mereka sampai di tempat tujuan yang aman. Tetapi perjalanan yang tercipta dalam pikiran saya tidak pernah selesai sampai saat ini. Pertanyaan yang sangat besar muncul, “berapa banyak persoalan yang tidak mendapat pertolongan?” Tembok ke empat, kain putih dan segala aturan yang menghilangkan keterlibatan itu, adalah persoalan yang sesungguhnya mesti diselesaikan dalam kehidupan kita sehari-hari.
Sudah baca yang ini?:
- Menyimak Pembacaan Naskah GIRLX & RADIO TAKSI di IDRF 2019 - 6 Agustus 2019
- Jarak Sebagai Medium dalam “Cerita Anak” Pappermoon – Polygot - 24 Mei 2018