Bangun Pagi dan Reformasi yang Entah ke Mana : Catatan atas Pertunjukan “Bangun Pagi Bahagia” – Zizaluka Project
[Yesa Utomo]. Heroisme pergerakan Reformasi pada medio 1990-an harusnya diingat sebagai momentum yang memerdekakan rakyat. Namun, setelah beberapa dekade beranjak, Andy SW mencatat hal lain; bahwa silang sengkarut kekuasaan manasuka rezim otoritarian justru langgeng lewat status quo yang dipelihara. Bahwa tugas pemimpin untuk membuat rakyatnya bangun pagi bahagia melulu gagal terlaksana.
Setelah dipentaskan berkeliling 15 kota oleh Andy SW, dkk. pada 2016-2017 lalu, “Bangun Pagi Bahagia” kembali direproduksi oleh Zizaluka Project, pada Jumat-Sabtu (2-3/12), di LIP-IFI, Yogyakarta. Tata panggung sederhana telah bisa dilihat sedari penonton memasuki ruang Auditorium IFI-LIP. Lima aktor (Aldo Adriansyah, Ibnu Shohib, Muhammad Ramdan, Ikbal Maulana Aziz, dan Marcella Dee) telah terlihat duduk di kursi bagian belakang panggung. Mereka terhalang dua lembar kain transparan yang terbentang di bagian tengah dan depan panggung, menutup seluruh prosenium. Baru kita ketahui setelahnya, bentangan kain ini lebih banyak digunakan sebagai penangkap proyeksi visual dari proyektor. Hanya beberapa kali Ihsan Kurniawan (sutradara) memanfaatkan pembagian ruang ini sebagai bagian dari penguasaan cerita. Sebagian besar cerita lebih banyak dimainkan di bagian depan panggung yang dekat dengan penonton. Sementara itu, tim pemusik hadir di kanan ruang auditorium, selain karena komposisi instrumen yang memakan tempat, bentuk seperti ini segera bisa dimaknai sebagai upaya alienasi pada penonton.
Segera setelah kursi penonton terisi, cerita dimulai. Adalah cerita soal tiga sahabat yang mengalami masa muda di gigir gelanggang panas masa senja rezim Orde Baru. Frank, Bas, dan Bob, sebagai tiga sahabat, tumbuh dengan konsumsi narasi nasionalistik. Namun, ketiganya hidup di pinggir jalan, di kolong jembatan, dan tidur di bawah monumen-monumen pahlawan. Mereka bernasib sial jika urusan menyangkut keluarga. Bas, misalnya, ditolak oleh ibunya sendiri, Frank berkelahi dengan ayahnya, dan Bob ditinggal neneknya yang sekarat. Dalam adegan ibu dan Bas itu ada satu hal yang menarik. Tokoh Ibu diperankan oleh tokoh Frank yang mengkoreografi gerakan ‘khas’ aplikasi TikTok, direkam menggunakan smartphone, dan diperbesar melalui proyektor. Bentuk kode peristiwa itu bisa saja membuka kompleksitas diskursus Pasca-Reformasi 1998 karena telah menghadirkan tatapan teknologi smartphone dalam panggung. Namun, bagi saya Zizaluka Project masih terlalu setia pada naskah.
Tegangan antara ide nasionalistik dan realita di masyarakat itu lah yang jadi poin penting dalam naskah. Itu pula yang sedang digambarkan melalui tiga sahabat baik secara psikologis maupun sosiologis anak remaja. Bagi saya, dialog-dialog yang tersusun—seperti Vladimir dan Estragon dalam “Waiting for Godot”, cukup untuk mengantar penonton memahami kondisi psikis masa remaja yang penuh pertanyaan dan gairah keingintahuan. Maka muncullah pertanyaan dan pernyataan absurd yang bertindak sebagai alegori terbenturnya dua kenyataan. Di titik ini, bagi usia remaja Frank, Bob, dan Bas, benturan-benturan itu jelas sulit dipahami. Dialog-dialog yang tersaji adalah wujud kaotik kondisi internal diri dan kenyataan pada tatar negara masa itu. Sama seperti “Waiting for Godot” sebagai respons atas kacaunya Pasca-Perang Dunia 2.
Situasi Pasca-Reformasi dari Pinggiran
Dalam wawancara singkat saya dengan Andy SW, “Bangun Pagi Bahagia” serupa biografi dirinya masa muda yang merekam memori pergerakan aktivisme di tahun 1997-1998. “Saya melihat pergerakan Reformasi waktu itu dari sisi orang kampung, orang biasa, orang pinggiran. Naskah itu soal Reformasi dari sudut pandang wagu (aneh),” ujarnya. Pandangan soal narasi Reformasi pinggiran sebenarnya perlu ditilik di masa kini, atau paling tidak hingga naskah lakon itu ditulis. Ia memosisikan diri sebagai rakyat biasa yang melihat sikat-sikut pada 1998 justru memunculkan aktor status quo baru yang sama bejatnya di hari ini. Kata wagu ia pakai untuk mendefinisikan karyanya sendiri dan sedang memberi posisi tawar konotatif sebagai rakyat yang melulu kalah.
Meski tak menjelaskan tendensi mementaskan “Bangun Pagi Bahagia”, bagi saya Zizaluka berhak untuk memberi posisi bacanya sendiri, terlebih pada kenyataan-kenyataan yang mungkin sama sekali berbeda dengan Andy SW. Peran subjektif itu setidaknya bisa dimaknai untuk melanjutkan diskusi gagasan Pasca-Reformasi 1998, sesuai semangat naskahnya. Apabila Andy SW lebih memilih untuk mempelajari falsafah odong-odong sebagai pencariannya atas kenyataan bangsa yang chaos, Zizaluka bisa belajar cara mengemudikannya. Artinya, ada pengayaan lanjutan soal wacana yang sedang dibicarakan.
Soal bentuk, ia memang harus tajam, tetapi juga harus tepat sasar. Penggunaan visual melalui tembakan proyektor, misalnya. Hadirnya proyektor dalam pertunjukan bukanlah hal baru. Ia sebenarnya bisa dibaca sebagai kecenderungan artistik yang hadir di era sekarang. Bagi saya proyektor bisa dimanfaatkan pada situasi yang mengintervensi fungsi tubuh aktor, tidak hanya dekoratif. Seperti yang saya sebutkan di muka, koreografi tokoh ibu yang diperbesar pada layar adalah upaya untuk membuka diskusi, tidak hanya di wilayah gagasan namun juga artistik.