Merajut Kembali Robekan Baju Siti Rukiah Melalui Performatif Mirat Kolektif
[Mohamad Ichsanudin Adnan]. Penyingkiran berlapis yang dialami oleh Siti Rukiah mestinya digunakan sebagai sebilah jarum yang dapat digunakan untuk melihat patriarki sebagai siklus. Sebagai siklus kolonial ia akan gagal jika dilihat sebagai peristiwa yang telah usang. Karena siklus kolonial beroperasi melampaui waktu temporal, ia masih berlangsung bahkan berkembang sekalipun abad telah berganti bilangan.
***
Menjelang berakhirnya akhir pekan, saya memutuskan untuk beranjak dari ruang domestik saya di Condongcatur, menuju ruang eskapisme seni paling mutakhir di kota Jogja. Tepatnya di Garasi Performance Institute yang pada tanggal 25 sampai 26 Maret 2023 lalu telah telah menggelar Cabaret Chairil.
Peristiwa tersebut telah mengantarkan saya menjadi bagian dari performatif Mirat Kolektif yang dibawa dengan tajuk “Sebagian Pertemuan”. Digarap dan diramu langsung oleh Luna Kharisma, sedangkan naskahnya sendiri diuntai dengan cukup cermat oleh Udiarti.
Performatif bertajuk “Sebagian Pertemuan” menawarkan kisah penyingkiran berlapis yang dialami oleh Siti Rukiah. Kisah dari Sastrawan Angkatan 45 tersebut, telah menghadirkan kembali bagaimana penampikan dan fitnah yang berulang-ulang ia hadapi sebagai sastrawan perempuan. Belum berhenti di situ, ia mesti mendapati trauma baru atas tragedi yang berlangsung pada tahun 1965 sebagai anggota Lekra.
Beginilah warisan realitas yang sedang menampar kita hari ini. Melalui baju-baju yang dikenakan oleh Aditya, Bulan, Hasdian, Suwarni, hingga Ratri, performatif tersebut telah berhasil menyusupkan kembali serpihan baju Siti Rukiah yang telah robek. Serpihan baju yang telah dibuat lusuh oleh sastrawan laki-laki, kemudian dibredel habis oleh Orde Baru. Hingga sejarah sastra secara sadar menawan dan mengasingkan kehadiran Siti Rukiah, karena posisi gender dan ideologisnya sebagai perempuan Lekra.
Melalui dramaturgi kongres, performatif tersebut berupaya membredel habis-habisan jarum-jarum patriarki yang selama ini telah mendiami bangku-bangku kongres. Kemudian, merajutnya kembali dengan sebilah jarum yang dapat diisi dan diuntai langsung oleh partisipasi perempuan.
Tirai performatif dibuka, ketika sang moderator melayangkan satu pertanyaan “tanya merah” kepada para hadirin. Pertanyaan tersebut kemudian direspon oleh para peserta kongres yang masing-masing peserta melayangkan pemaknaan baru terhadapnya. Pemaknaan yang berkecambah tersebut sempat membuat roda pertunjukan menjadi statis, karena ia hanya berkubang pada arus perbincangan dan intensitas emosional yang sama. Akan tetapi, roda tersebut lekas menemui gerbang oasisnya ketika wajah Siti Rukiah dihadirkan dalam bentuk arsip.
Berjalannya performatif, pertanyaan tersebut kemudian menjalar ke ruang-ruang penonton. Dimana partisipasi kami sebagai pengamat, diberi kesempatan untuk menuliskan satu “tanya merah” nya masing-masing di atas sebilah kertas. Lantas disediakanlah satu kotak merah sebagai wadah sekaligus mimbar, dimana masing-masing pertanyaan memiliki daya untuk didengar maupun dirahasiakan.
Pertanyaan tersebut turut memberi kesempatan bagi performatif Mirat untuk menghadirkan, serta menyusupkan kembali serpihan baju Siti Rukiah. Melalui beberapa arsip, novel berjudul “Tandus”, serta kritik pedas dari Hans Teeuw terhadapnya. Kehadiran penonton seraya dibawa beranjak menuju isi lemari Siti Rukiah dan menemukan serpihan bajunya yang telah robek.
Tanya merah yang kerap beroperasi sebagai kata kunci dalam kongres tersebut, berupaya melakukan gugatan terhadap posisi penonton yang nyaman sebagai pengamat yang pasif. Partisipasi penonton diberi kehendak untuk mengambil sebilah jarumnya masing-masing. Dari partisipasi tersebut maka terjadilah peristiwa interpose, dimana penyaji dan penonton saling menempatkan diri sebagai perajut. Kesempatan untuk saling merajut itulah yang menjadikan medan dramatik Mirat menjadi forum diskursif.
Kemudian penggunaan kata “kawan” yang mengaung hingga ke bangku penonton, telah menunjukan negasi yang tepat terhadap kondisi patriarki yang menghendaki jarak hirarkis antara laki-laki dengan perempuan. Mungkin beginilah upaya Mirat Kolektif melibatkan partisipasi penonton sebagai bagian dari merajut kembali serpihan baju Rukiah yang telah robek habis-habisan.
Sebagaimana persinggungan saya dengan performatif Mirat Kolektif, posisi saya sebagai pengamat pasif berangsur-angsur digugat. Digugat tiada henti sebagai penonton yang nyaman dari bangku tatapannya, serta digugat tanpa jeda dari posisi berpikirnya sebagai laki-laki biologis yang dibentuk oleh sistem patriarki hari ini. Ketegangan inilah yang memicu saya untuk membebaskan dirinya sehingga tiada pilihan untuk terlibat secara responsif dalam merajut gugatan demi gugatan.
Meskipun demikian, nampaknya sebilah jarum yang sedang digunakan oleh Mirat Kolektif untuk merajut, luput dari pembacaan bahwa patriarki merupakan suatu sistem warisan kolonial yang sedang berlangsung sebagai siklus. Pembacaan yang luput tersebut nampak menunjukan posisi bineritas yang berbahaya. Alih-alih melihat melihat patriarki sebagai juga telah menawan posisi laki-laki. Justru mereka berupaya melakukan attacking terhadap partisipasi penontonnya, khususnya penonton yang sedang ditawan habis-habisan sebagai laki-laki biologis.
Kecenderungan tersebut terlihat jelas, ketika beberapa penonton menawarkan suatu gugatan terhadap posisi laki-laki hari ini yang juga dapat mengalami kekerasan seksual. Kemudian partisipan laki-laki lain yang dipaksa membaca sajak Chairil Anwar dengan tegas dan maskulin, guna menuruti hasrat pertunjukan mengenai betapa biadabnya ungkapan Chairil Anwar terhadap sastrawan perempuan.
Dilain sisi upaya Mirat Kolektif melakukan attacking, justru dapat dibaca sebagai upaya membredel posisi penonton yang masih mengidap gejala patriarki. Upaya attacking dapat menjadi sebilah jarum untuk membuka peluang diskursif baru, serta secara reflektif melakukan gugatan terhadap diri sendiri. Dimana posisi penonton yang mengidap gejala tersebut, akan secara reaksioner melayangkan mosi tidak percaya terhadap pertunjukan. Mosi tersebutlah yang membuka kesempatan untuk digugat dan akan terus digugat, sampai menemui momen reflektifnya masing-masing.
Sebagaimana sebilah jarum, jika ia digunakan untuk menyerang posisi laki-laki untuk memvalidasi penyingkiran berlapis yang dialami perempuan, maka jarum tersebut hanya akan membentuk fraksi yang cukup kontras antara laki-laki dan perempuan. Sedangkan patriarki sebagai suatu sistem yang tak terjamah, dapat dengan mudah melanggengkan bahkan mengembangkan sistem pranatanya untuk tetap bertahan sebagai siklus penindasan. Akan tetapi upaya memperlakukan sebilah jarum sebagai strategi penyerangan, juga dapat dimaknai sebagai diskursif baru, dimana masing-masing partisipan akan saling menggugat kesadarannya sendiri.
Sudah baca yang ini?:
- Dramaturgi Toserba: Catatan atas “Pentas Tiga Bayangan 5.0”–Teater Eska UIN Sunan Kalijaga. - 10 November 2023
- Bagaimana Duka Ekologis Diungkapkan? : Catatan atas “Waktu Batu – Rumah yang Terbakar” — Garasi Performance Institute di Artjog 2023 - 17 Juli 2023
- Merajut Kembali Robekan Baju Siti Rukiah Melalui Performatif Mirat Kolektif - 21 Mei 2023