Membaca “Tubuh Malang-an dan Tubuh Jawa Timur-an” Dalam Sajian Koreografi Kontemporer.
Pentas malam itu, Rabu 27 Februari 2019 di Rumah Malang Creative Fusion (MCF) Kedai Kopi Rujakuni Malang, diawali dengan “otobiografi tubuh” Cahyo Sandhidea (Dea). Mengapa saya sebut otobiografi tubuh? Karena performa gerak yang ditampilkan Dea saya tangkap sebagai lanskap perjalanan tubuhnya dalam arus ulang-alik tradisi- non tradisi. Arus ulang-alik, bagaimana itu? Saya membaca Dea yang berangkat dari gerak tradisi gaya Malang-an (dan Jawa Timur-an), kemudian melahap modern dance dan eksplorasi gerak dalam koreografi kontemporer, kemudian mengunjungi tradisi kembali dengan pertanyaan-pertanyaan, berangkat lagi ke ruang penciptaan dan eksplorasi, demikian seterusnya. Sebuah perjalanan ulang-alik yang memunculkan pertanyaan, keraguan, kegelisahan, memasuki lembar ketidakpastian, lapis demi lapis. Yaa …. ini memang sekilas gambaran perjalanan tubuh yang sedang terjadi. Tubuh yang masih berproses.
Nyata bagi saya bahwa gerak khas milik budaya tertentu, dalam hal ini “gaya keseharian khas Malang-an” yang juga tercermin dalam ekspresi di tari tradisinya, telah menubuh pada Dea. Karakter khas kultur “Malang-an” itu muncul dalam gestur dan dialek percakapan. Itu hadir natural pada tubuh Dea. Dan ia pun memiliki kesadaran yang baik akan hal itu. Kesadaran yang membantunya “mengosongkan diri”, “mengeluarkan diri”, agar dapat lebih jernih menelisik dan membaca ulang tubuhnya.
Pada bagian selanjutnya Dea menghadirkan parikan, sebuah seni tutur khas Jawa Timur. Seni tutur ini lekat dengan humor, sindiran, ajaran kebaikan, kritik, dan menuntut kreativitas tinggi. Bagian ini ditampilkan cukup panjang, ditambah dialog antara Dea, Dian Bokir (Trenggalek, Jatim) dan Martina Feiertag (Jerman). Di sini saya tetap membacanya sebagai salah satu bab dari perjalanan tubuh Dea, yang sedang ia kulik dan pertanyakan. Semoga kali ini Dea pun menyadari bahwa ada kesamaan karakter antara ekspresi parikan dan gestur Jawa Timur / Malang-an ; keduanya telah ADA dalam tubuh Dea, natural. Kesamaan karakter itu bisa terdeteksi pada energi (power) dan kecepatan (speed).
Bagian ketiga adalah penampilan kolaborasi Dian Bokir dan Martina Feiertag (Dimar Dance Theatre). Saya melihat ini sebagai upaya “peleburan tubuh”. Ada tubuh Jawa Timur-an yang dibawa Bokir, ada tubuh Jerman yang dibawa Martina. Upaya ini pun masih dalam proses. Sementara hasilnya adalah seperti yang tersaji pada pentas malam itu.
Di ruang pergerakan tubuh ini saya melihat sesuatu yang menarik, sebagaimana yang saya lihat pada penampilan Dea. Saya menangkap ada kedekatan antara gerak Malang-an / Jawa Timur-an dengan gerak hasil eksplorasi yang biasa muncul pada pentas tari kontemporer para koreografer berlatarbelakang kultur Eropa, Amerika, Australia. Kedekatan itu saya temukan dalam energi (power), ruang yang besar (big space), kecepatan (speed), dan ketegasan-ketajaman (clear and sharp). Kedekatan ini juga saya temukan dalam kosa-gerak Minangkabau. Motif, kosa-gerak yang telah melebur, saya anggap selesai pada satu tahap. Tahap selanjutnya bergantung pada koreografer sebagai kreator. Apakah peleburan itu akan ia bawa pada ranah eksplorasi lain yang berujung pada sesuatu? Yang memunculkan temuan, ungkapan, atau pertanyaan baru?
Bagian lain dari kosa-gerak tari gaya Malang-an adalah gestur-gestur/motif-motif gerak kecil dalam skala ruang ketubuhan keseluruhan (kepala, pergelangan tangan, tangan, jari tangan, pergelangan kaki, tumit, ujung kaki, bahu). Motif-motif kecil ini digerakkan dengan intensitas yang kuat dan membentuk garis-garis yang tajam. Sudut maupun garis yang dihasilkan tampak jelas. Gestur / motif-motif kecil itu tampak pada karya Dea dan Dimar, selintas-selintas, belum berbicara apa-apa bagi saya. Apakah para kreator akan memberi ruang khusus bagi motif-motif tersebut pada proses eksplorasi selanjutnya? Sebagai karakter dan identitas motif-motif tersebut hadir kuat dalam konteksnya, yaitu tradisi dan budaya Malang-an/Jawa Timur-an. Mereka bisa menjadi tawaran bagi koreografer untuk melepasnya dari konteks awal, dan memberi konteks baru melalui ruang eksplorasi. Ini layak dijadikan uji coba. Jika Dea dan Dimar memang fokus bergerak di ruang ketubuhan sebagai laboratorium, maka banyak hal sebenarnya bisa dilakukan berkaitan dengan “perjumpaan kembali dengan jejak-jejak tradisi Malang-an / Jawa Timur-an”. Di Solo, koreografer Otniel Tasman telah melakukannya terhadap tubuh Lengger Banyumas, dan ia berhasil menemukan/menghasilkan ekspresi baru pada karyanya: Nosheheorit di ajang Indonesian Dance Festival (IDF) November 2018 yang lalu. Di Yogya, koreografer Ayu Permata Sari melakukannya terhadap tari tradisi Lampung, tari Kuadai di Suku Semendo. Ia tampilkan ekspresi baru tersebut pada karyanya: Lingkaran Tunggu Tubang (Li Tu Tu) yang dipentaskan di Jogja National Museum tahun lalu.
Pengolahan ragam motif gerak tradisi dalam ruang-ruang yang berbeda, untuk menghasilkan ekspresi baru, mengapa tidak? Tentu saja di sini saya tidak bicara bentuk semata, namun ada makna, konteks, dan proses yang tidak sederhana yang menebalkannya sebagai bahasa ungkap atau ekspresi baru. Sebuah temuan, hasil penjelajahan dalam ruang laboratorium tubuh tersebut.
Nah, bagaimana dengan tubuh Jawa Timur-an / tubuh Malang-an?
So, go on guys. I am waiting. Indonesian Dance is waiting for you, your work of our cultural body.
————————————
*Tulisan ini telah dipublikkan melalui akun Facebook Renee Sariwulan. Direpost di gelaran.id atas seijin penulis.