Sabtu, Desember 14, 2024
ULASANPanggung Teater

Kepuasan Estetis Saja Belum Cukup : Catatan atas monolog “Ibu Bumi” – Teater Hampa Indonesia di Universitas Negeri Malang

[Wahyu Kris]. Layar putih itu lebih tepat disebut sebagai latar depan ketimbang latar belakang. Ia hendak menunjukkan bahwa tak semua pertunjukan butuh latar belakang. Begitu pula dengan Monolog Ibu Bumi, pertunjukan ini tak ingin menempatkan dirinya sebagai penghujung latar belakang, di mana yang “silam” bergulir menjadi yang “sekarang” lalu berhenti. Pertunjukan mesti terus menjadi dan menemukan jalannya sendiri.

Kesan itu menguat dari monolog “Ibu Bumi” yang dihelat di Gedung Kenanga Universitas Negeri Malang pada Jumat 28 Juli 2023. Diperankan oleh Efvantisafa dengan naskah dan garapan dari Septian Kuswara. Pertunjukan tersebut juga menggandeng beberapa pihak diantaranya, Khoirun Nisa sebagai produser, Pei Elmira sebagai koreografer, Frilia Astronot sebagai penata cahaya, Septian Kuswara sebagai penata musik, hingga Tarisah Sutiyani dan Khoirun Nisa sebagai penata wardrobe dan make up.

Meski sudah menduga bahwa jam pertunjukan akan mundur, saya tetap datang lebih awal. Menjelang perhelatan dimulai, area parkir nampak masih longgar. Panitia sudah siap menyambut para penonton. Setelah menunjukkan kode tiket pre-sale, mereka memberi stempel pada tangan saya. Lantas saya pun terpaksa selonjoran di dekat pintu masuk, sembari menanti dipersilakan masuk ke ruang pertunjukan.

Secobek tahu gejrot nyaris tandas ketika panitia mengumumkan bahwa pertunjukan segera dimulai. Saya melahap potongan tahu yang tersisa. Lengkap dengan irisan bawang yang tak lembut tergerus. Pintu masuk penuh dengan ranting kering menjalar di tangga. Dedaun kering memberikan aksen gersang, bersanding dengan bunga kertas berwarna putih yang menampakan harapan. 

Saya duduk paling depan supaya lebih leluasa mengambil gambar. Ruang masih gelap. Bohemian Rhapsody mengalun tegas. Perasaan ganjil bertanya-tanya. Wacana ekologi apakah yang dihadirkan dengan lirik lelaki bohemian yang menembak kepala orang-orang. Mengapa bukan musik etnik ataupun bebunyian alam yang senada dengan tema lingkungan.

BACA JUGA:  Pooh Pooh Somatic : Rasa Yang Pernah Ada
IMG 1689 | Kepuasan Estetis Saja Belum Cukup : Catatan atas monolog “Ibu Bumi” – Teater Hampa Indonesia di Universitas Negeri Malang

Ceracauan saya salah!

Gerungan gitar Brian May tetiba beralih ke musik latar pertunjukan. Transisinya sungguh lembut dan saya tak menyadari hal itu. Kilatan cahaya merah biru dan putih berganti dengan cahaya remang. Daun kering berserakan di sekujur panggung memunculkan siluet.

Efvantisafa mengawali monolog dengan merebahkan tubuh di atas lingkaran pusat panggung. Lampu kecil di bagian bawah memantulkan sinar ke tubuhnya. Ia bangkit, nafasnya sedikit tersengal seolah ada gagasan yang telah siap diledakkan.

Dan, benar! Gagasan itu meledak, tapi bukan ledakan explotion melainkan implotion.  Ledakan explotion bersifat ke luar, sedangkan implotion berarah ke dalam. Explotion disebabkan oleh energi dari dalam, cenderung implotion disebabkan tekanan dari luar.

Implotion yang ditawarkan Effantisava adalah ledakan yang menghancurkan dirinya. Dalam monolog bertajuk Ibu Bumi ini, Efvantisafa mengambil sudut pandang spesies langka. Ledakan implotion dalam dirinya bisa dibaca sebagai kehancuran spesies langka. Namun, di ujung pertunjukan kita akan tiba pada titik simpul bahwa kehancuran spesies langka adalah kehancuran semesta.

Pada bagian awal, kita disuguhi pemisahan posisi antara “aku-bukan manusia” dan “kau-manusia”. “Aku-bukan manusia” tinggal di Hutan Kama, hutan penuh kasih sayang yang melindungi siapa saja dari malapetaka.

Ternyata semua itu hanya kenangan. Ia sendiri ragu kapan kali terakhir merasakan kasih sayang. Mungkin kemarin, minggu lalu, atau bahkan berabad-abad yang lalu. Namun, satu perihal yang selalu diingatnya adalah tragedi yang terjadi pada “Ibu”. Selama tidur panjang, ia bisa merasakan bagaimana “Ibu” diobrak-abrik oleh manusia. 

“Kau-manusia” digambarkan sebagai sapiens yang paradoks. Bijaksana tapi menghancurkan sesama makhluk. Eksploitasi dilakukan dengan berbagai dalih pembenaran.

Efvantisafa di sisi kanan panggung berteriak: Bagaimana bisa nasib semua makhluk ditentukan oleh satu spesies saja? Saya rasa, di titik ini penonton mendapatkan simpulan terlalu dini. Akan lebih menghentak seandainya bagian ini disamarkan atau digeser ke ujung pertunjukan.

BACA JUGA:  Mensyukuri Kebutaan bersama Pantomim “Buta” karya Pupuh Romansa

Bagian berikutnya, narasi kehancuran semesta dihadirkan bergantian antara monolog dan lirik lagu di latar belakang. Klimaks terjadi ketika asap putih menyesaki panggung. “Aku-bukan manusia” berlarian menjadi ular, kambing, anjing, kucing, dan satwa lainnya. Semua berjingkat, merayap, dan melompat mencari oksigen. 

Penggarapan tata cahaya yang menampakkan tema hijau tanpa warna hijau juga perlu mendapat garis bawah. Tema hijau diwakili dengan warna ungu yang melambangkan kemuliaan, kesucian, dan keagungan.

Memang begitulah semestinya tema hijau dimuliakan sebagai entitas yang suci dan agung. Monolog Ibu Bumi menawarkan dua jalur perenungan. Penonton bisa merenung ke kedalaman diri tentang tubuh manusia yang memiliki puluhan ribu sel. Di dalamnya terdapat fakta betapa Tuhan mencipta dengan keajaiban. Ada ribuan bagian tubuh saling membutuhkan dan mempengaruhi. Tak satupun bagian tubuh yang tak berfungsi bagi bagian tubuh yang lain. Juga merenung tentang bumi yang adalah “ibu” bagi semesta. Bumi adalah “ibu” bagi semua makhluk. Semua makhluk sesungguhnya saling terikat dalam relasi saling membutuhkan. Maka tak ada cara lain selain hidup bersama dalam harmoni.  

“Tubuh manusia” adalah miniatur semesta. Setiap bagian sejatinya berfungsi bagi bagian lain. Mata tak bisa menyalahkan kaki ketika tubuh tersandung batu. Hegemoni salah satu bagian adalah kerusakan bagi keseluruhan. Semua makhluk setara sebagai anak semesta. Itu sebabnya, saling menghidupi adalah cara terbaik menghidupkan semesta.

Selepas monolog itu, sepanjang jalan pulang saya perlahan menemukan irisan antara Bohemian Rhapsody dengan Ibu Bumi. Keduanya berbicara tentang menghilangkan. Yang satu tentang seorang lelaki menghilangkan nyawa sesamanya. Yang satunya tentang manusia menghilangkan sesama mahkluk. Konsekuensinya jelas, saling menghilangkan hanya akan menjadikan semua kehilangan kehidupan.

BACA JUGA:  Sandilara dan Bagaimana Manifestasi Hari Rayanya: Catatan Atas “Ana sing Ra Ana” — Teater Sandilara

Apresiasi layak diberikan kepada Teater Hampa Indonesia yang berhasil mengubah metafora bohemian menjadi realita di atas pertunjukan. Semoga semua orang yang terlibat di belakang dan depan panggung Ibu Bumi bersedia melanjutkan kepuasan estetis hingga menjadi kesadaran ekologis. Jika tidak, monolog itu tak akan menandingi kesegaran tahu gejrot racikan penyair Warizadi.

IMG 1702 | Kepuasan Estetis Saja Belum Cukup : Catatan atas monolog “Ibu Bumi” – Teater Hampa Indonesia di Universitas Negeri Malang
Wahyu Kris

Wahyu Kris

Guru yang sedang dan senang belajar menulis. Menyukai tema pendidikan dan seni budaya. Menulis buku Mendidik Generasi Z dan A (2018) dan Secangkir Kopi Inspirasi (2020).