fbpx
Jumat, April 19, 2024
Panggung TeaterULASAN

Belajar Kritik Sosial a la Milenial Melalui Drama Musikal

Indar Sabri.

Selasa, 30 April 2019 di Concert Hall Taman Budaya Yogyakarta, digelar sebuah pertunjukan drama musikal berjudul “Rasuk Dendam” oleh siswa-siswi SMA 7 Yogyakarta. Rangkaian acara ini bertajuk Gempita Pesona Bhakti Taruna (GPBT) SMAN 7 Yogyakarta, yang merupakan ajang tahunan bagi kreasi siswa-siswi SMAN 7 Yogyakarta yang bergabung dalam ekstrakurikuler seni. Naskah drama ini ditulis oleh siswa yang dalam penulisan maupun penggarapan pertunjukan didampingi oleh pembina, Jamal el Tripot.

Selasa malam itu Taman Budaya Yogyakarta terlihat sangat padat hingga parkir kendaraan dialihkan di berbagai tempat di seputar area gedung tersebut. Orang tua dan anak muda memadati wilayah TBY dan sekitarnya. Ketika kendaraan saya mengarah masuk area TBY, petugas keamanan bertanya apa keperluan saya? Saya menjawab ingin mengapresiasi pertunjukan SMAN 7 Yogyakarta. Setelah saya masuk area TBY, rupanya malam itu ada tiga kegiatan kesenian yang berlangsung yaitu : Pameran seni rupa di ruang pamer Taman Budaya Yogyakarta, Pagelaran Musik Malam di halaman dan dan Pagelaran GPBT SMAN 7 Yogyakarta di Concert Hall. Saya menikmati sejenak pameran seni rupa yang berada di bawah gedung Concert Hall TBY sebelum menaiki tangga untuk menyaksikan pagelaran GPBT, sementara pagelaran musik malam ketika itu belum dimulai.

Ketika berada tepat di pintu masuk gedung beberapa anak muda tersenyum dan menyapa dengan ramah, “boleh lihat tiket nya bapak?” Kebetulan saat itu saya mengantongi Undangan dari salah seorang pendamping musik pagelaran tersebut yaitu Capricon Dukon Hutabarat atau yang lebih dikenal dengan panggilan UCOK. Saya diarahkan untuk memasuki pintu lain yang berada di samping gedung yang merupakan pintu masuk khusus undangan. Dalam perjalanan menuju pintu saya sempat berbincang-bincang dengan tim produksi pagelaran tersebut, “bagaimana penjualan tiket?”, tanya saya. “Alhamduallah sudah  sold out (habis terjual) bapak.” Sebuah tim produksi yang luar biasa menurut saya. Anak-anak milenial ini sanggup menjual tiket dengan beragam harga di Concert Hall yang berkapasitas 800-1000 penonton. Penjualan tiket dilakukan diberbagai lini, mulai dari teman sekolah, teman dari sekolah lain, orang tua murid hingga beberapa group WA yang dimiliki para pemuda Milenial ini, termasuk group WA OSIS se-Yogyakarta dan Group Ekstrakulikuler Teater se-Yogyakarta, sungguh jejaring yang sangat baik yang dimiliki oleh para pemuda milenial saat ini yang memanfaatkan teknologi untuk sebuah hal yang baik.

GENERASI MILENIAL BELAJAR KRITIK SOSIAL MELALUI3256 | Belajar Kritik Sosial a la Milenial Melalui Drama Musikal
gelang tiket penonton “Rasuk Dendam”.

Pertunjukan dimulai tepat pukul 19.30 WIB, opening yang luar biasa megah dengan musik diaransemen oleh Ucok Hutabarat membuat para penonton dalam ruangan tersebut terpukau. Penggabungan antara unsur-unsur pertunjukan teater seperti paduan suara, mini orkestra, pengrawit, penari dan aktor membuat pagelaran musik drama musikal malam ini sangat terasa megah. Ketika lakon mulai dimainkan di awal masih terasa berat untuk mengajak penonton masuk dalam suasana pertunjukan, maklum para pemain merupakan siswa sma kelas dua yang tentu saja baru mulai belajar berakting. Namun ketika pertunjukan sudah berlangsung sekitar 5 menit penonton mulai memasuki suasana pertunjukan.

BACA JUGA:  Dance with the Minotaur: Bertandak Tindak Tanduk yang Tunduk

Berkat kepiawaian para pendamping proses, sebuah ide kritik sosial tentang pemimpin negeri yang semena-mena hingga peristiwa peredaran Narkoba yang ada di negeri ini menjadi terasa ringan dan dapat dihayati oleh para pemuda milenial dengan penggarapan yang menghadirkan komedi situasi. Terdengar di telinga saya salah satu komentar dari orang tua wali atau guru yang duduk tepat di belakang saya berkata “Wangun”, kata yang diberikan kepada pemain sebagai apresiasi untuk permainan para aktor pemula ini.

GENERASI MILENIAL BELAJAR KRITIK SOSIAL MELALUI4531 | Belajar Kritik Sosial a la Milenial Melalui Drama Musikal
Suasana opening pertunjukan “Rasuk Dendam”. Foto: Indar Sabri.

Tema kritik sosial mengenai realitas-realitas permasalahan yang ada di sekitar yang diangkat dalam pertunjukan ini menjadi sangat menarik karena persoalan-persolan sosial yang sejatinya cukup berat untuk dipahami ini menjadi sangat mudah dipahami dengan penyampaian yang dibalut dengan peristiwa cinta kasih. Tokoh utama dalam cerita ini merupakan sepasang kekasih yang cintanya kandas dan menimbulkan dendam hingga persoalan-persolan sosial terjadi ketika si pemuda tersebut akhirnya menjadi penguasa negeri sementara sang gadis merupakan rakyat jelata yang hidup miskin dan terpuruk. Peristiwa demi peristiwa dihadirkan secara ringan dan meciptakan tangga dramatik yang sangat kuat hingga di akhir cerita sang penguasa negeripun menyesali keputusannya yang telah menyengsarakan rakyat termasuk membuat mantan kekasihnya terjerumus dalam lingkaran sindikat Narkoba dan harus dijatuhi hukuman mati.

GENERASI MILENIAL BELAJAR KRITIK SOSIAL MELALUI5509 | Belajar Kritik Sosial a la Milenial Melalui Drama Musikal
Adegan menggambarkan pada pedagang sebagai potret keadaan rakyat. Foto : Indar Sabri.
GENERASI MILENIAL BELAJAR KRITIK SOSIAL MELALUI5550 | Belajar Kritik Sosial a la Milenial Melalui Drama Musikal
Adegan romantis sepasang kekasih. Foto : Indar Sabri.

Pagelaran drama musikal “Rasuk Dendam” malam itu bisa dikatakan sukses, walaupun beberapa kekurangan teknis cukup terasa seperti tata lampu yang tidak maksimal. Fungsi lighting dalam pertunjukan untuk menciptakan ruang dan perubahan suasana pertunjukan tidak terjadi, lampu lebih dimaksimalkan sebagai penerangan saja. Kelemahan kedua terasa di kostum yang kurang megah dengan pemilihan warna dan bentuk kostum, terutama pada paduan suara dan penari. Kelemahan ketiga terlihat pada setting dan properti yang masih terkesan apa adanya. Setting yang kurang penggarapan yang halus karena pemilihan bahan dan warna serta tata letak (perspektif) setting membuat pertunjukan menjadi justru terganggu secara visual. Terakhir, kemampuan aktor masih sangat perlu dilatih baik kesadaran aktor akan ruang, bloking hingga secara teknis penggunaan mic clip on (pengeras suara) yang beberapa kali membuat kecelakaan panggung dikarenakan tidak dilatihkan terlebih dahulu. Semoga di pagelaran berikutnya akan lebih semarak lagi dan kecintaan para generasi milenial pada seni buadaya indonesia dan daya kritis terhadap persoalan sosial masyrakat semakin bergelora.

BACA JUGA:  Realitas versus Panggung: Ulasan Pertunjukan "Para Pensiunan 2049"

Donasi untuk gelaran.id

Indar Sabri

Indar Sabri

Indar Sabri, adalah alumni Jurusan Teater ISI Yogyakarta dan pascasarjana Pendidikan Seni Universitas Negeri Semarang. Berkesenian dengan memimpin komunitas Pantomim Studio Surabaya dan menjabat Ketua Bidang Program di Dewan Kesenian Surabaya 2014-2019. Selain bekerja sebagai pembina teater di Jurusan Sendratasik Universitas Negeri Surabaya, Indar Sabri juga sedang menyelesaikan studi doktoral Pendidikan Seni di Universitas Negeri Semarang.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *