Pernikahan Darah: Lorca yang di Sini dan Kini dalam Simbolisme Alam-Kematian
No one is sleeping.
But if someone grows too much moss on his temples during the night,
open the stage trapdoors so he can see in the moonlight
the lying goblets, and the poison, and the skull of the theaters.
- -Federico Garcia Lorca, City That Does Not Sleep
[Raihan Robby]. Kematian (Rinrin Candraresmi) dengan tudung hitamnya telah berada di sisi kita. Mata kita dapat melihat ia berjalan perlahan membawa tanaman kering dalam pelukannya. Lantas duduk membaur bersama dengan penonton lainnya pada malam hari itu di Teater Luwes dalam gelaran Lebaran Teater – Festival Teater Jakarta yang kelima puluh tahun. Barangkali kita sepintas bertanya, mengapa ia telah hadir di sisi kita?
Jika kita kembali membaca naskah penyair dan dramawan Spanyol, Federico Garcia Lorca, yang agung itu. Kita akan menemukan perbedaan yang cukup kentara pada naskah Bodas de Sangre, atau Blood Wedding yang digubah oleh Neo Theatre Indonesia dengan sutradara Fathul A. Husein menjadi Pernikahan Darah. Naskah yang konon menjadi trilogi rural, bersama dengan dua naskah lainnya: Yerma dan La Casa de Bernarda Alba (Rumah Bernarda Alba)itu sesungguhnya pernah diterjemahkan oleh Ramadhan K.H pada tahun 1959 dan 1957. Empat puluh tahun setelahnya Gunawan Maryanto mengadaptasi lakon Yerma menjadi Sri pada tahun 1999 yang dipentaskan oleh Teater Garasi.
Pada naskah Bodas de Sangre-nya Lorca, kita dapat membayangkan sosok Ibu (Retno Dwimarwati) dari Mempelai Pria (Hilman Tajudin) yang pendendam, sekaligus sureal. Kita akan langsung tahu juga, sebagaimana ciri drama well-made play, bahwa sosok Ibulah yang menjadi tokoh utama dalam drama ini. Namun, ada pertemuan, negosiasi, bahkan mungkin pembalikan dalam Pernikahan Darah-nya Neo Theatre Indonesia.
Ibarat menyantap hidangan campuran, kita seolah mencicipi cita rasa Piononos—kue tradisional dari Granada, daerah yang juga berpengaruh bagi kehidupan Lorca—yang memiliki kerenyahan dan rasa gurih. Selain rasa itu, kita juga merasakan tekstur lembut dan rasa manis yang lumer di mulut, seperti saat kita mencicipi Nagasari atau Surabi Bandung. Maka, drama Lorca yang semula menitikberatkan pada tokoh Ibu, digeser menjadi tokoh Kematian yang sedari awal menyambut kita.

Sosok Kematian seolah mempunyai kuasa untuk menceritakan langsung kepada kita bagaimana akhir dari pertunjukan ini. Ia seolah meramalkan bahwa akan terjadi pembunuhan pada malam hari, di mana dua orang pemuda memperebutkan cinta dengan cara saling membunuh menggunakan sebilah belati kecil. Tentu, kata-kata yang diucapkan oleh sosok Kematian itu meminjam kata-kata Lorca yang puitis dan surealis. Dituturkan dengan gaya deklamasi pembacaan puisi yang ekspresif.
Setelahnya, kita melihat Kematian ‘membelah’ dirinya menjadi simbolisme pada tanaman kering itu yang ia letakkan di muka panggung. Sebagaimana drama Lorca yang bernapas tragedi-romantis. Kita lantas menyaksikan kisah dari si Mempelai Pria yang ingin menikah dengan si Mempelai Wanita (Yeni Sari Ovikawati), ia pun mendapat restu dari Ibunya. Namun, sang Ibu tampak terkejut, sekaligus memantik dendam lama yang seolah membara kembali, setelah ia mengetahui bahwa calon mantunya itu pernah berhubungan dengan Leonardo Felix (Irwan Jamal). Silsilah keluarga Felix yang kejam, hina dan banal karena telah membuat ia kehilangan suaminya terputar kembali dalam ingatannya, meski kita tak benar tahu sosok Ibu kehilangan orang terkasihnya itu karena perang atau perselisihan.

Nampaknya kehinaan dan kebanalan itu telah mendarah daging, sebab Leonardo Felix pun menggoda si Mempelai Wanita beberapa jam sebelum pernikahannya dengan si Mempelai Pria. Awalnya si Mempelai Wanita tak tergoda, dan pada akhirnya mereka menikah. Namun, cinta yang dulu pernah ada bagi si Leonardo lekas bangkit dan membara kembali. Itulah keputusan gila dari si Mempelai Wanita yang memilih kabur ke hutan bersama Leonardo saat pesta pernikahannya.
Di hutan itulah, pada waktu malam hari, seperti gambaran masa depan yang diceritakan Kematian. Mereka berdua saling membunuh.
Kurang lebih, begitulah isi cerita secara sepintas mengenai Pernikahan Darah, mungkin kita akan menyebutnya sebagai roman, mengingat konflik cerita cinta yang tebal dan tragis di sana. Namun, mementaskan naskah Lorca adalah tantangan besar. Bukan hanya karena mendekatkan latar naskah ke dalam budaya kita, yang berarti memaksimalkan unsur-unsur dramatik agar selalu di sini dan kini. Namun juga pilihan ‘bentuk’ pertunjukan. Termasuk penggunaan bahasa.

Kita telah melihat usaha ‘adaptasi’ dari Neo Theatre Indonesia, dengan menampilkan sosok Kematian pada awal pertunjukan, yang telah ‘membocorkan’ akhir cerita drama itu dengan bahasa puitis. Sejalan dengan cap yang diberikan oleh Wiratmo Soekito[1], bahwa setiap pementasan drama, apalagi modern, pada hakikatnya telah melakukan proses adaptasi. Pengadaptasian yang dimaksud Soekito adalah bagaimana membawakan naskah drama barat sebagai cerminan untuk menciptakan situasi kita. Situasi yang telah dan/atau sedang dialami masyarakat. Sehingga ada penggambaran yang dekat, ada ‘kontekstualisasi’ akan keadaan kita kini.
Namun, agaknya, Neo Theatre Indonesia mempunyai pandangan lain. Sutradara Fathul A. Husein, meluruhkan tegangan “kontekstualisasi” ke dalam pertemuan. Antara yang tradisi dan modern, yang “di sini dan kini” dengan “nilai universal”. Maka, kita pun diajak kembali menyelami masa lalu, ke latar Spanyol dalam naskah Lorca pada era itu. Namun, sekali lagi, ada pertemuan. Drama modern Lorca itu dipertemukan dengan para tokoh dan pemusik yang telah memenuhi panggung, mereka duduk menanti giliran untuk memainkan perannya. Bentuk ini, serupa teater rakyat yang dekat dengan kita, seperti pada Longser, atau Lenong.
Proses menyadur, sebagaimana yang dikatakan Zen Hae[2] adalah upaya untuk merebut sesuatu yang mulanya bukan milik kita, menjadi kepunyaan kita. Itulah mengapa penggunaan bahasa menjadi sangat penting, sebab sutradara mempunyai peranan untuk menyadur atau mengadaptasi unsur-unsur dramatik agar dekat dengan situasi kita. Penggunaan bahasa di atas panggung, seperti yang Zen Hae tekankan pula, seharusnya menjadi rileks dan realistis. Tanpa sepenuhnya bersandar pada bahasa Indonesia baku yang cenderung membekukan.
Nampaknya, Neo Theatre Indonesia masih menggunakan bahasa Indonesia sebagai siasat agar pertunjukan sepenuhnya dapat dipahami oleh khalayak penonton yang juga berbahasa Indonesia. Hal ini tentu saja berterima. Yang menjadi persoalan (atau barangkali, tantangan!) adalah drama Lorca dipenuhi oleh bahasa puitis, dan puisi yang ia sisipkan sebagai dialog. Maka, bahasa Indonesia yang digunakan para aktor, juga harus bernegosiasi dengan metafora puitiknya Lorca yang cenderung surealis dan ambigu.

Situasi puisi Lorca itu, tampak diluruhkan dengan cara dinyanyikan. Puisi-puisi itu pun ‘dibacakan’ dengan beberapa cara, yang pertama serupa Kematian di awal tadi, dengan gaya deklamasi puisi. Lalu dengan cara dinyanyikan atau didendangkan. Ketika memilih bentuk nyanyian—secara tidak langsung, dan disadari atau tak disadari—Neo Theatre Indonesia tengah menerapkan bentuk Flamenco, suatu bentuk pertunjukan yang menggabungkan unsur nyanyian (cante), musik (gitar, kastanyet. Toque) dan tarian (baile) yang biasa hadir pula dalam pesta-pesta rakyat Spanyol, dalam hal ini adalah Granada, yang mempunyai kesejarahan erat dengan Andalusia. Irisan-irisan budaya yang membentuk Lorca membaur di sini.
Maka, ketika sesi diskusi, saat Retno Dwimarwati sebagai tokoh Ibu menceritakan pengalamannya menuturkan bahasa drama Lorca yang puitis, kita dapat membayangkan bagaimana tantangannya. Ketika bahasa puitis itu diucapkan oleh para aktor, kita dapat melihat bagaimana para aktor berusaha agar tak sebatas jatuh pada nada deskriptif dan ekspresif. Di satu sisi, para aktor juga harus kembali menjadi karakter mereka yang realistis.
Inilah, barangkali tantangan terbesarnya. Yang juga diakui oleh Fathul A. Husein, bahwa dialog-dialog dalam drama ini, seolah tanpa jembatan. Naik-turun, berpindahnya emosi dari senang ke sedih, dari romantis ke tragis, bisa sekejap saja. Tanpa jeda atau transisi yang cukup. Mata penonton pun, mau tak mau harus berfokus selama dua jam pertunjukan pada penggunaan bahasa ini.
Simbolisme Alam dan Kematian ala Duende
Seperti petikan puisi Lorca yang saya jadikan kutipan di awal tulisan ini, kita dapat merasakan spirit Duende. Ada keghaiban malam yang mampu membuka segala tabir, menunjukan segala kemuraman: piala-piala terbaring, racun, dan teater tengkorak. Yang dalam kata-kata Lorca akan pandangannya soal Duende, ia melalui suara puitisnya, ingin memberi kita pelajaran sederhana tentang semangat terpendam ala Spanyol yang sedih.

Dalam Duende itu, yang juga menjadi napas gerakan bersama dengan kelompok teaternya, La Baracca, ia berkeliling Spanyol mementaskan naskah-naskahnya. Maka, dalam Duende kita memahami bahwa ia adalah suatu kekuatan, bukan suatu kerja. Ia adalah suatu perjuangan, dan bukan suatu pemikiran. Spirit dari Duende yang menonjolkan hubungan kematian dengan unsur alam ini terdapat jelas pada bentuk Flamenco atau yang akrab kita tonton pada pertarungan matador. Kita dapat merasakan ketegangan yang indah itu, kematian yang membumi dalam gerakan ritmis, seperti puisi yang mencekam.

Simbolisme Kematian di awal pertunjukan, bukan hanya membocorkan akhir dari drama ini. Namun, juga menceritakan situasi saat peristiwa pembunuhan itu terjadi. Yaitu, kala malam hari di mana sinar bulan menunjukan jalan bagi si Mempelai Pria tempat persembunyian dari Leonardo Felix. Kondisi alam yang berbentuk bulan itu dihadirkan melalui citraan artistik dengan latar merah yang mencekam. Dan bukankah setiap kali Leonardo mengunjungi rumah si Mempelai Wanita itu selalu pada malam hari? Sekitar pukul dua sampai tiga dini hari? Bulan pun akrab dengan gerak-gerik Leonardo. Itulah mengapa kita dapat melihat spirit Duende yang kental pada drama ini. Hubungan kematian dan alam yang saling bekerjasama.
Selain melihat spirit itu, kita juga dapat menangkap siklus hidup yang kuat dalam drama ini. Kematian yang begitu dekat dan melahap Leonardo Felix juga si Mempelai Pria terkesan sangat ironis dan sia-sia. Sebab mereka sama-sama kalah; sama-sama tak dapat hidup bersama si Mempelai Wanita. Namun, kita juga menangkap simbolisme kehidupan, pada bayi yang selalu didekap erat oleh Istri Leonardo (Christie Vaam Laloan), bayi yang belum tersentuh dosa. Pada tindakan belas kasih yang ditujukan Ibu kepada Mempelai Wanita yang datang meminta maaf pada akhir drama ini.
Begitulah, pada akhirnya, drama ini pun kembali memposisikan Ibu sebagai tokoh utama. Kita dapat melihat perkembangan karakter Ibu yang semula pendendam dan penuh amarah, menjadi belas kasihan dan memaafkan. Dengan napas humanisme universal, Neo Theatre Indonesia seolah ingin menerobos wilayah-wilayah yang menyekatkan manusia dengan hakikatnya. Maka, barangkali, siasat inilah yang dipilih dan dipertebal oleh NTI, drama sebagai penyampaian pesan untuk misi kemanusiaan sesungguhnya. Unsur-unsur dramatik lain dihadirkan sebagai penopang dan pendukung tujuan pesan ini, salah satunya adalah aktor sebagai medium utama pertunjukan.
[1] Lihat esai Wiratmo Soekito, “Naskah Barat Dengan Situasi Kita”, dalam bukunya Drama Berakhir dengan Diskusi, IKJ Press: 2020.
[2] Lihat esai Zen Hae, “Ihwal Kelisanan di Atas Panggung”, dalam bukunya Sembilan Lima Empat, Penerbit JBS: 2021

Dukung keberlangsungan gelaran.id dengan donasi sukarela.
Scan QR di samping atau klik tautan berikut :
Sudah baca yang ini?:
Kelas Unggulan: Inovasi Pertunjukan Interaktif dari Sagiwon Teater dan Stand Up Indo Bojonegoro
Tegangan Kediaman dan Mobilitas dalam Cabaret Chairil Vol. I
Stroberi, Metonimi, & Upaya Karangdunyo Mencari Dunia Selain Sini dengan Ruter Wifi
Yayak Priasmara dan Nasib Seni Teater Tutur Kentrung
ANAMANA-Insomnia Theater: Ritus Spiritual dan Hancurnya Simbol Tradisi di Sumbawa
Puisiku Berjalan Menuju Naskah Teater
- Situs Pasar dan Beban Urban-Domestik Di Gendongan Buruh Perempuan : Membaca “Ganda” karya Valentina Ambarwati di Lawatari Yogyakarta - 6 Mei 2024
- Tandha’ Menatap Tayub : Membaca “Atandhang” karya Sri Cicik Handayani di Lawatari Yogyakarta - 5 Mei 2024
- Postpartum: Institusi Keibuan dalam Perut Negara - 1 Februari 2024