Jumat, Februari 14, 2025
ULASANPanggung Tari

Hilang Akal Lalu Dipasung : catatan atas “Pasang Pasung”–Ridho Fadil

[Rahmat Suryo Samudro] Pergelaran tari dalam rangka ujian akhir semester bertajuk BEDAKARSA oleh Pendidikan Tari Universitas Negeri Jakarta telah diselenggarakan pada tanggal 6-7 Januari 2024 di Gedung Kesenian Jakarta. Empat puluh satu mahasiswa telah mempertunjukkan hasil karyanya dengan baik. Penulis melihat kemampuan mahasiswa sudah cukup baik dalam mengelola kegiatan maupun karya masing-masing. Walau ada beberapa saran yang perlu disampaikan dari sisi penulis sebagai penonton; (1) bentuk karya dan (2) kepenarian.

Kedua aspek yang disebutkan di atas seyogyanya adalah dasar dalam daya tarik kepada spektator terhadap pertunjukan dan saling melengkapi. Bagi penulis, yang telah dipertunjukkan oleh mahasiswa kemarin sudah cukup untuk tatanan menerapkan teori-teori komposisi tari, sedangkan penari sebagai agen pembawa pesan perlu memiliki pengalaman ketubuhan menari yang memadai untuk menambah pengalaman estetis spektator. Penulis tetap mengapresiasi usaha yang sudah dilakukan, mengingat profil lulusan yang mengharapkan lulusannya menjadi pendidik, maka tidak sepatutnya menggeneralisasi semua peserta untuk memiliki sofistikasi pada karyanya melainkan proses yang dijalani selama berkarya. Salah satu koreografer yang penulis analisis secara kilat teridentifikasi menyajikan pergelarannya dengan variasi komposisi tari dan terbilang memiliki kemasan dan performa yang apik adalah karya Pasang Pasung oleh Ridho Fadil.

Gambar2 | Hilang Akal Lalu Dipasung : catatan atas “Pasang Pasung”–Ridho Fadil
foto dok. RIdho Fadil

Ridho membawakan sebuah konsep pertunjukan yang unik mengenai hukum sebab-akibat. Karya tari ini menceritakan tentang orang-orang yang beritual, dimana akhirnya mereka tidak dapat mengendalikan dirinya dan menjadi orang yang buta arah. Pasung menjadi sebuah simbol untuk merepresentasikan cara agar tetap terjaga. Pasang Pasung, begitulah ia memberi judul karya dengan pijakan gerak Sunda ini.

Awal pertunjukan Pasang Pasung, penonton disajikan dengan sebuah tembakan dari lampu strobo berwarna merah. Bau dupa tercium hingga mendominasi udara di dalam gedung kesenian. Terlihat 4 orang penari ber-teatrikal di tengah panggung pertunjukan sambil diikat kedua tangannya. Dua penari lainnya menyusul ke tengah arena dan kini rantai telah terlepas. Perkenalan ini menjadi pengantar ke adegan berikutnya yang menggambarkan sebuah ritual dengan ditandai adanya dupa.

BACA JUGA:  In Transit: Meminjam Rangkaian Peristiwa

“Bismillahitullahi

paliyasuh jadi panguasuh alma pangubengah

ayeuna jati neng kene

ayeuna kurang pawang jati

kiwaaa geus sasandoan

Rahayu Rahayu Rahayu”

Adegan selanjutnya menunjukan proses ritual yang divisualisasikan dengan penyembahan dupa oleh dua orang penari. Suasana masih tegang dengan pencahayaan lampu berwarna merah. Dupa yang digunakan dalam ritual dibawa dan diletakkan di tengah depan panggung. Pengolahan gerak yang nampak juga tidak hanya menunjukan pengembangan teknik gerak Sunda, tetapi Ridho mencoba untuk menampilkan gerak virtuoso dengan cara menggendong penari dan mengayunkannya secara terbalik.

Proses ritual yang berlebihan mengakibatkan hilangnya kesadaran. Adegan ini diwujudkan dengan teatrikal bentuk ekspresi yang berubah-ubah dari senang ke sedih dan sebaliknya. Warna lampu berwarna biru menuju keunguan yang menghiasi panggung semakin menambah kesan mistis pertunjukan ini. Kemudian, Ridho menghadirkan adegan ia berdua dengan salah satu penari dan menyeret penari tersebut. Adegan ini menjadi transisi yang bagus untuk menuju adegan berikutnya, sebab adegan berikutnya juga diawali dengan hal yang serupa.

Adegan terakhir yang diawali dengan transisi yang telah dijelaskan diatas ditunjukkan oleh Ridho dengan penggambaran ke-tidak waras-an para penarinya melalui teatrikal; memasung beberapa penari, menghadirkan kembali tali rantai untuk mengikat diri, serta melakukan gerak yang over sambil menangis-tertawa. Di sisi lain, Ridho menyalakan kembali dupa yang ada di tengah arena panggung dan mengaraknya ke belakang hingga pertunjukan Pasang Pasung akhirnya usai.

Gambar3 | Hilang Akal Lalu Dipasung : catatan atas “Pasang Pasung”–Ridho Fadil
Foto Dok. RIdho Fadil

Ritual diketahui merupakan aktivitas yang berupaya untuk menyangkut-pautkan agama atau magis. Aktivitas ritual dapat bersifat umum yang diselenggarakan secara komunal, maupun individu secara perorangan. Sendra (2013: 8) menyatakan bahwa ritual (ritus) merupakan aktivitas sakral, karena konteksnya religius maka dapat diamati tingkah lakunya, seperti doa-doa, nyanyian, pujian, penyembahan, dll. Hal ini menyiratkan ritual menjadi simbol dalam perwujudan nilai luhur. Laiknya ucapan Langer yang mengemukakan simbol prosesi ritual merupakan medium dalam mengantarkan representasi pengertian akal murni dalam visualisasi tidak langsung (Langer, 1971: 51). Dalam karya tari Pasang Pasung terlihat proses ber-ritual yang dipresentasikan oleh koreografer. Aktivitas ini dapat dengan cepat disadari oleh penulis karena representasi dupa yang menjadi simbol yang dapat dipahami sebagai adegan untuk merepresentasikan kegiatan ritual.

BACA JUGA:  Yayak Priasmara dan Nasib Seni Teater Tutur Kentrung

Fungsi ritual dipahami terserap bagi tingkat individu maupun tingkat kelompok dan masyarakat yang menjalaninya. Dhavamony (1995: 180) menyebutkan bahwa ritual kerap menjadi kegiatan untuk menjaga hubungan dengan alam dan hubungan dengan yang gaib. Berlainan dengan karya ini, bentuk ekspresi yang dihadirkan dari ritual malah memberikan respon berupa ketidak warasan. Isu ini distimulasi oleh aktivitas ritual tersebut. Padahal, ritual menjadi sistem perilaku yang menentukan bagaimana manusia harus mengatur hubungan dirinya dengan hal-hal yang sakral (Durkheim, 2003: 79).

Karya tari ini menjadi kritik dan refleksi terutama bagi penulis. Kemampuan Ridho dalam mentransformasi fenomena kedalam sebuah pertunjukan tari merupakan momentum dalam menyampaikan “message” bahwasanya manusia senantiasa perlu mawas diri dan mengontrol diri. Message yang hendak disampaikan terasa menegangkan. Secara subjektif, ada rasa kekhawatiran dan ketakutan yang kian mencuat. Jalinan yang terjadi antara artistik panggung dengan penggunaan tata cahaya, properti panggung berupa dupa, pasung, dan tali rantai semakin merepresentasikan wujud yang tangible. Spirit yang dihadirkan tidak hanya tentang bentuk artistik pergelaran, melainkan konteks pesan yang dibawa oleh agen kepada penontonnya.


Referensi

  • Dhavamony, Mariasusai. (1975). Fenomenologi Agama, Terjemahan A. Sudiarja. Yogyakarta: Kanisius.
  • Durkheim, Emil. (2003). Sejarah Agama. Yogyakarta: IRCiSoD.
  • Langer, Susanne K. (1971). Philosophy in a New Key. New York: The Free Press.
  • Sendra, I Made, I Made Sumerta, Ni Luh Ariani, Yufiza. (2013). Fungsi dan Makna Upacara Ngusaba Gede Lanang Kapat. Yogyakarta: Penerbit Ombak.

Saweria 1 | Hilang Akal Lalu Dipasung : catatan atas “Pasang Pasung”–Ridho Fadil

Dukung keberlangsungsan gelaran.id dengan saweran/donasi Anda.

Scan QR Code di samping atau klik tautan berikut:

https://saweria.co/Adisukmainisiatif

BACA JUGA:  Bagaimana Pertunjukan Progresif Dihasilkan?
Rahmat Suryo Samudro

Rahmat Suryo Samudro

Rahmat Suryo Samudro, lahir di Bogor 1998. Merupakan mahasiswa Magister Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa, Universitas Gadjah Mada. Memiliki minat pada bidang tari baik penciptaan maupun pengkajian. Mengunggah karya tari lewat kanal Youtube pribadi serta karya tulis lewat blog pribadinya.