Rabu, Februari 12, 2025
ULASANLintas DisiplinPanggung Teater

Maling (Thieves) Online Story: Sebuah alternatif yang ok

[Ficky Tri Sanjaya]. 23 Mei 2020 di dinding Facebook Agnes Christina muncul sebuah poster dua orang lelaki  berbaju hem hijau dan kaus biru dengan latar cahaya gelap dan dinding bata warna abu dengan embel-embel narasi mengenai “Maling” . Ia menawarkan totonan cerita online pada penonton di sosial media dengan membayar uang tiket sebesar Rp. 15.000. Di keterangan selanjutnya ada beberapa informasi lain mengenai  format transaksi pembayaran dan  cara mendapatkan akses link video cerita online tersebut.

Sejak kehadiran alat komunikasi smartphone yang memudahkan banyak orang untuk mengakses internet dan menggunakan sosial media seperti Facebook, IG, Twitter,  Whatshap, dll.  Dunia seni pertunjukan nyata (Live) sebenarnya perlahan turut berubah. Gejala perubahan tersebut jauh-jauh hari  sebenarnya telah menampakkan tanda-tandanya perlahan. Namun baru terasa ketika saat masa Pandemi Wabah Covid -19 ini melanda: dimana kemudian banyak muncul gerakan bekerja dari rumah, pengurangan aktivitas berkumpul secara langsung, kemudian pemanfaatkan teknologi telepon gengam sebagai alat untuk bekerja.

Maling (Thieves) Onlie Story
Poster publikasi Maling (Thieves) Online Story

Dalam duni seni pertunjukan teknologi memudahkan komunikasi dan pertukaran infomasi, mempengaruhi budaya publikasi cetak poster secara massal dan manual; meski masih sering dilakukan, perlahan kini mulai berkurang dan tergantikan dengan adanya promosi melalui sosial media. Populernya sosial media sebagai ruang sosial baru, merubah cara pandang sebagian orang mengenai ruang dan waktu, sekaligus persebaran informasi secara cepat dari dan ke berbagai lini.

Setiap orang kemudian mampu mengabadikan momen dan peristiwa melalui diding akun sosial medianya masing-masing. Sosial media kemudian menjelma menjadi semacam dunia baru dan sekaligus ruang pertunjukan baru yang terpisah dengan dunia nyata. Oleh sebabnya menonton pertunjukkan di sebuah dunia baru menggunakan kacamata dunia nyata sungguh kurang tepat. Mensejajarkan pertunjukan di dunia baru dan nyata yang jelas berbeda secara ruang, waktu dan konteks, pastilah pula kurang relevan. Tentu penting juga memperbicangkanya di kemudian hari, tetapi untuk situasi saat ini belum tapak urgensinya.

Dibutuhkan sebuah sistem dan pengetahuan baru  untuk mengenali, membaca, menganalisis, mewadahi cara-cara dan watak baru  pertunjukan di dunia baru (media sosial/sosial media). Sehingga seni sebagai media dan media sebagai seni menjadi ruang dialog baru mengenai kreativitas dan pengetahuan akan dunia  baru dan bukan sebaliknya; memperbandikan atau memperdebatkannya dengan dunia nyata.

BACA JUGA:  Berani Tua Setelah Menonton Pertunjukan Teater Lansia

Dunia baru ini hanya lapisan lain dari dunia nyata. Wataknya dapat dikenali jika mau dan didekati dari apa yang ada dan apa yang hilang? Apa yang tidak mungkin dan Apa yang dimungkinkannya? Apa yang berubah dan dirubah? Poinya bukan pada nama dan bentuknya; pertunjukan daring, online, digital, streaming, virtual, live, webinar, dll. Tetapi pada relevansi pertukaran komunikasi, informasi, dalam konteks ruang dan waktu dunia baru: sosial media/media sosial.

Pertunjukan Agnes yang menggunakan media video  telepon gengam sebagai media merekam cerita pertunjukan online. Merupakan langkah awal dan baru. Sebagai sebuah gerakan apa yang dilakukan Agnes dkk dengan menjual videonya seperti layaknya pembelian tiket nonton pertunjukan ke sebuah  gedung pentas. Merupakan pintu masuk yang menarik, sebab beberapa pertunjukan yang menggunakan media sosial umumnya dilakukan seniman lain secara gratis, donasi atau suport dari pemerintah.

adegan maling
Irfanudin Gozali (kiri berbaju kuning) dan Budi S Gemak (kanan, baju abu-abu), dua aktor dalam Maling – Online Story

Pemanfaatan teknologi menggunakan apa yang ada dalam ponselnya; aplikasi sosial media, pengetahuan dan pengelolaan ruang yang ada ia manfaatkan. Sehingga hal tersebut akhirnya mampu menjangkau dan  meringkankan ongkos produksi seperti konsumsi latihan, transportasi, setting, properti, sewa gedung. Tentu hal tersebut lebih realistis dan menguntungkan bagi sebagian seniman atau komunitas seni yang memiliki potensi ekspresi lebih, tetapi minim modal produksi untuk terus dan mampu berkarya dalam  situasi apapun dengan memanfaatkan dunia dan media baru.

Potensi pada penjualan tiket  pertunjukan online yang dijual tidak terlalu mahal Rp.15.000 tentu telah mempertimbangkan aspek daya beli penonton, menghitung ongkos produksi, sekaligus strategi promosi yang bagus bagi proyeksi pertunjukan yang berbasis video ; dengan memanfaatkan jejaring media sosial/sosial media dengan mudah dan cepat mampu menjangkau sebanyak-banyaknya  audien. Watak medianya yang bebas ruang dan waktu ternyata cukup menguntungkan bagi nilai dan daya hidup karya tersebut untuk si seniman dan penontonnya.

BACA JUGA:  Tumpang Tindih: Tewur

Dalam segi artistik yang menarik dari cerita online ini dengan segera; adalah sifat kesegaran pada penulisan naskah lakon ceritanya. Sehingga orisinalitas idenya sangat berharga, begitu juga perwujudan visual dari lakon tersebut. Sebagaimana drama-drama Korea (Drakor) atau sinetron yang kejar tayang setiap minggu, laris manis di televisi, media sosial, platform streaming hingga berseri-seri dinanti dan diikuti penggemarnya. Cerita Online Agnes memberi warna dan alternatif lain, pertunjukan berbasis komunitas menggunakan media sosial atau sosial media berbasis online sebagai dunia baru basis pegembangan artistiknya. Yang tentu memberi tawaran artistik lebih dekat pada komunitasnya dari pada Drakor ataupun sinetron.

Maling online story
Adegan dalam Maling – Online story karya Agnes Christina

Tentu Maling secara tawaran artistik berbeda dengan drakor dan sinetron.  Penggunaan media Youtube dengan fitur unlisted yang membatasi penonton yang membayar kemudian dapat mengakses videonya. Tentu langkah awal yang ditempuh agnes dkk melalui cerita online ini, adalah keberaniannya menawar dan mewarnai media sosial melalui habit baru ke penontonan pertunjukan media sosial/sosial media di luar arus utama.

Secara visual pengambilan gambar atau perwujudan  adengan dalam Maling seluruhnya diambil menggunakan satu kamera, long shoot, tidak ada detail-detail close up. Tidak banyak latar ruang digunakan yang dengan cepat berpindah. Dengan cahaya penerangan terbatas. Maling sangat jauh dari teknik senematografi film. Tetapi dapat dikenali karakter sutradara yang menatapnya adalah cara-cara dan langkah-langkah pendekatan berbasis teater panggung.

Tawarannya secara penikmatan melalui totonan online ini menawar artistik di luar arus utama yang sebenarnya pada ruang dan waktu lebih menyasar komunitas terdekat lingkunganya, tentu bukan berarti  menutup akan perkembanganya dilain hari. Jika komunitas lingkungan seni di dekatnya  mendukung ini sebagai sebuah gerakan pertunjukan,  pada dunia media baru di luar arus utama; umumnya pemanfaatkan sosial media atau media sosial untuk memoneytifikasi akun pribadinya sebagai youtuber atau influencer. Alih-alih melakukan hal tersebut tersebut Agnes dkk justru lebih dekat dengan pola-pola dan cara kerja berjejaring  komunitas sebagai peluang kerja kreatif di dunia baru.

BACA JUGA:  Toksik Maskulinitas dalam Rumah Tangga : Ulasan “Ngono Ya Ngono” – GMT Jogjadrama di Linimasa #5

Di luar hal tersebut karya Agnes dengan tema Maling secara sengaja menggunaan Rasio hitung-hitungan Primbon yang digunakan sebagai pintu masuk mengenal “Jawa”. Meski penulis melakukan riset perhitungan secara Primbon dengan benar, di dalam cerita online ini terdapat pula mistifikasi dalam alurnya; sehingga membuat cerita tidak berjalan linear. Mistifikasi pada cerita menjadi bumbu yang diramu menuju konflik dan daya gangu dalam cerita yang disajikan.

Ficky Tri Sanjaya

Penulis dan Aktor mime teater. Aktif bersama Bengkel Mime Theatre Yogyakarta.

Tinggalkan Balasan