KENAPA MEREKA BEREBUT PANGGUNG?: Catatan atas Pertunjukan “A New World Nova Genesis”
Sebuah sajian pertunjukan digelar dengan mengusung ide tentang alien. Ide itu kemudian tertransformasi dalam berbagai elemen, yaitu poster, publikasi media sosial Instagram, kostum dalam berbagai elemen lain. Tentu saja ini bukan soal alien dalam perspektif yang harfiah, sajian ini sekaligus membawa kita ke alam simbol yang menarik.
Lalu apa masalahnya?
Kenapa judulnya soal rebutan panggung?
Mari perlahan kita tilik satu-persatu aspek.
TEATER VERSUS SENI VISUAL
Inilah persoalan paling besar dalam pertunjukan yang digelar di sebuah kafe kecil dengan jumlah penonton yang terbatas ini. Pertunjukan yang digelar oleh kelompok yang tidak menyebutkan identitasnya ini diproduseri oleh Kevin Alfirdaus, ditulis oleh Ajmal Fajar Sidiq dan disutradarai oleh Akmal Rahmat. Secara khusus pertunjukan ini menjanjikan “pertunjukan lintas disiplin menggabungkan teater, sains, video game, dan eksperimen visual.” Sebuah klaim yang cukup berat untuk dipertanggungjawabkan.

Betapa tidak? Sebagai sebuah kolaborasi dari berbagai disiplin, persoalan paling mendasar adalah bagaimana menyusun harmonisasi dan pertunjukan yang utuh dan saling menguatkan. Harus diakui bahwa dalam pertunjukan A New World Nova Genesis ini yang paling menonjol adalah aspek visual mappingnya. Kekuatan visual yang diproyeksikan ke tiga dinding ini memberikan dominansi sepanjang pertunjukan. Aktor-aktris, juga setting dan properti tenggelam di dalamnya. Mereka hanya diberi kesempatan beberapa saat saja untuk mengambil perhatian penonton. Kemunculan video-video yang ditembakkan ke dinding ini mungkin saja diharapkan menjadi latar dan penanda waktu atau pikiran tokoh, tapi sialnya justru menjadi aktor-aktris itu sendiri. Para aktor-aktris menjadi semata peran pengganti yang menunggu dipojokan.

Klaim berikutnya tentang pelibatan lintas disiplin seperti sains dan video game rasanya berlebihan. Memang dialog-dialog diisi dengan berbagai informasi tentang astrofisika dan istilah-istilah sulit lain, tapi ini tidak lantas bisa diklaim sebagai melibatkan sains. Informasi “tentang” sains ini hanya difungsikan sebagai bagian dari cerita, bagian dari dialog, dan tidak lebih. Maka ini sebuah klaim yang tidak benar.
Keberadaan video game juga bernasib sama dengan klaim sains. Keberadaannya bahkan hanya muncul dalam satu adegan. Klaim ini menurut saya jauh lebih tidak benar. Sayang sekali. Padahal aspek game dalam video game dapat dikaitkan lebih dalam untuk menggambarkan isu-isu judi online yang banyak dibicarakan aktor. Sehingga bukan sekadar klaim, tapi menjadi integral dalam pertunjukan. Tapi apakah multidisiplin terwujud apabila video game menjadi dilibatkan pada lebih banyak adegan? Tentu saja tidak. Video game tetap hanya menjadi unsur cerita, bukan disiplin yang lebih serius.
Maka tidak berlebihan bila dapat disimpulkan bahwa pertunjukan ini adalah peperangan antara teater dan seni visual. Dan harus diakui teater kalah telah dari seni visual, mungkin 1:3.
JUDI ONLINE
Yang patut dipuji dalam pertunjukan ini tentu saja dia mengusung isu terkini yang menjadi perbincangan masyarakat, menghasilkan begitu banyak korban dan tentu saja perlu terus dibahasan agar tidak menghasilkan lebih banyak kekacauan. Untuk itulah saya angkat topi.
Isu tentang judi online dibahas sangat banyak momen dalam pertunjukan A New World, Nova Genesis selain soal fenomena media sosial.
Berdasarkan data yang dipublikasikan katadata.co.id, diketahui bahwa kenaikan jumlah pengguna judi online pada tahun 2024 telah meningkat 100% dibandingkan dengan tahun 2023. Dana yang masuk dalam judi online juga meningkat, bahkan menurut PPATK diprediksi mencapai 1.200 triliun pada akhir 2025. Mengingat begitu daruratnya isu ini maka kehadiran pertunjukan ini menjadi penting, khususnya karena pelaku judi online sebagian besar adalah kalangan pemuda.
Promoting kesadaran tentang bahaya judi online pada generasi muda perlu dilakukan lebih masif lagi. Dan media seni menjadi salah satu media paling efektif untuk kampanye ini. Usaha pentas A New World, Nova Genesis perlu terus diduplikasi.
HAL-HAL KECIL YANG TERLEWAT
Sebagai sebuah pertunjukan, tentu saya kita tidak bisa hanya melihat aspek ide dan gambaran umum. Kita perlu melihat aspek-aspek yang menyusunnya secara lebih detail. sebagai contoh adalah akting, musik dan cahaya.



Akting aktor utama NUG mengingatkan saya pada tokoh yang diperankan oleh Gunawan Maryanto dalam The Science of Fictions. Meskipun berbeda konteks, tetapi pakaian yang menyerupai astronot inilah yang membangkitkan memori itu. Sebagai seorang astronot, pemeran NUG tampaknya kesulitan memisahkan antara keharusan berakting secara realis sebagai warga bumi dan astronot di luar negeri. Banyak adegan yang seharusnya digarap dengan pertimbangan gravitasi yang berbeda justru hanya dikerjakan dengan slow motion. Sensasi akting di nilai gravitasi yang berbeda ini yang luput, dan sangat disayangkan. Berbagai video manusia di luar negeri menunjukkan bahwa gerak-gerak di luar angkasa bukan semata slow motion, tetapi merespon nilai gravitasi yang berbeda dengan di bumi. Latihan-latihan gerak di dalam air akan cukup membantu dalam memberikan simulasi gravitasi yang berbeda dengan yang ada di daratan.
Aspek kedua adalah keberadaan musik yang menjadi eksperimen kecil lain. Ketika masuk penonton diminta membawa headset dan membuka playlist yang disediakan. Penonton diminta mendengarkannya ketika berada di posisi masing-masing. Sialnya saya tidak bisa menikmatinya karena tidak ada keterkaitan langsung dengan pertunjukan. Musik ini yang dimaksudkan menjadi pengantar menuju pertunjukan justru hanya berfungsi sebagai musik di ruang tunggu. Korelasi antara playlist yang disediakan dengan pertunjukan tidak terasa. Jangan-jangan langkah yang seharusnya brilian ini justru menjadi semacam statement sutradara: “Ini playlist yang saya suka, dengarkan deh!” Salah satu penonton bisa saja menjawab “Apaan deh, selera musik kita beda kali.”

Akting aktor utama NUG mengingatkan saya pada tokoh yang diperankan oleh Gunawan Maryanto dalam The Science of Fictions. Meskipun berbeda konteks, tetapi pakaian yang menyerupai astronot inilah yang membangkitkan memori itu. Sebagai seorang astronot, pemeran NUG tampaknya kesulitan memisahkan antara keharusan berakting secara realis sebagai warga bumi dan astronot di luar negeri. Banyak adegan yang seharusnya digarap dengan pertimbangan gravitasi yang berbeda justru hanya dikerjakan dengan slow motion. Sensasi akting di nilai gravitasi yang berbeda ini yang luput, dan sangat disayangkan. Berbagai video manusia di luar negeri menunjukkan bahwa gerak-gerak di luar angkasa bukan semata slow motion, tetapi merespon nilai gravitasi yang berbeda dengan di bumi. Latihan-latihan gerak di dalam air akan cukup membantu dalam memberikan simulasi gravitasi yang berbeda dengan yang ada di daratan.
Aspek kedua adalah keberadaan musik yang menjadi eksperimen kecil lain. Ketika masuk penonton diminta membawa headset dan membuka playlist yang disediakan. Penonton diminta mendengarkannya ketika berada di posisi masing-masing. Sialnya saya tidak bisa menikmatinya karena tidak ada keterkaitan langsung dengan pertunjukan. Musik ini yang dimaksudkan menjadi pengantar menuju pertunjukan justru hanya berfungsi sebagai musik di ruang tunggu. Korelasi antara playlist yang disediakan dengan pertunjukan tidak terasa. Jangan-jangan langkah yang seharusnya brilian ini justru menjadi semacam statement sutradara: “Ini playlist yang saya suka, dengarkan deh!” Salah satu penonton bisa saja menjawab “Apaan deh, selera musik kita beda kali.”

Persoalan berikutnya adalah kemunculan pemuda yang sedang bekerja di luar negeri yang bicara entah pada konteks apa dengan pertunjukan. Hal ini mengganggu pertunjukan–bukan hanya karena korelasinya yang tidak nampak–tapi juga karena tidak terdapat dinamika dalam dialognya. Dialog disusun secara monoton dan bertele-tele. Ini menjadi jeda yang sangat membosankan.

Hal yang akhir yang mengganggu adalah kesatuan adegan yang sulit diraih. Adegan-adegan disusun sebagai fragmen yang–juga karena kelemahan vokal aktor–justru membuat informasi keseluruhan tidak maksimal ditangkap penonton. Fragmen-fragmen cenderung menjadi perca-perca yang lepas dari jahitannya yang minim. Belum lagi ada banyak adegan yang sepertinya ingin dibuat lebih “non-realis” tapi justru malah menghasilkan adegan yang tidak tertangkap maknanya sama sekali. Belum lagi sajian video yang menampilkan seorang pekerja migran dari luar negeri yang panjang dan bertele-tele. Ini memberikan jeda yang merugikan bagi pertunjukan. Hal ini diperparah dengan kualitas audio video tersebut yang buruk. Terdapat pula satu waktu dimana dua adegan digelar secara terpisah, yaitu jualan di Tiktok dan acara Talkshow yang salah berebut perhatian penonton. Ini penyusunan adegan yang merugikan pula.
POTENSINYA TINGGI
Betapa pun banyak persoalan, pertunjukan A New World, Nova Genesis memiliki potensi yang luas di masa mendatang. Upaya untuk mengkolaborasikan antar disiplin ini perlu terus dilakukan untuk menemukan formulasi paling sesuai dengan zamannya. Teknologi perlu terus “dipaksa” masuk ke panggung agar tercipta kedekatan atmosferik antara panggung dan penonton. Maka seharusnya disiplin-disiplin itu dijahit secara lebih rapi, dalam takaran yang lebih seimbang sehingga tidak menghasilkan pertengkaran, tapi justru ekuilibrium yang menyenangkan.
Potensi lain adalah pola penggarapan non-konvensional semacam ini perlu terus dikenalkan pada penonton luas. Sajian cerita klise ala sinetron dan drama di banyak media perlu diberikan perimbangan. Penonton perlu diberikan alternatif untuk mendiskusikan sebuah ide dan isu.
Pertunjukan dalam skala kecil seperti ini perlu juga diperbanyak. Pertunjukan dengan lokasi kecil dan jumlah penonton yang sangat terbatas ini memberikan sensasi eksklusif tersendiri. Teater tidak semata harus dinikmati secara masal, dan itu bukan nilai keberhasilan. Teater yang mungkin “rumit” mungkin lebih sesuai dinikmati secara intim dalam ruang-ruang sunyi. Maka pemanfaatan lokasi kafe sebagai ruang pertunjukan menjadi menarik untuk terus dieksplorasi. Semakin banyak ceruk yang dikunjungi oleh teater, maka kesenian ini akan terus eksis dan menemukan peminatnya yang beragam pula.
Maka saya optimis bahwa pertunjukan A New World, Nova Genesis ini penting dan punya potensi ke depan, asalkan diproduksi secara konsisten dan terus dikembangkan. Kalau pertunjukan ini berhenti di sini, atau karya-karya serupa tidak lahir kemudian, maka ini menjadi semacam debu yang tertiup angin dan tak menyisakan apa-apa.
Sudah baca yang ini?:
Membongkar Kubur Pentas Sagaloka : Keluarga Yang Dikuburkan
Hukum Memodifikasi Naskah Drama untuk Pementasan
Mengalami Bantargebang : Pengalaman Residensi Festival Bantargebang 2025
BEASTLY : Ruang, Isu, Tema dan Dramaturgi
Dari Sampakan ke Mantradisi di Parade Teater Yogyakarta
(Un)becoming: Zoom In dan Zoom Out Relasi Ibu dan Anak Perempuannya
- KENAPA MEREKA BEREBUT PANGGUNG?: Catatan atas Pertunjukan “A New World Nova Genesis” - 16 Juni 2025
- DUKUN-DUKUNAN DAN MATINYA KEPAKARAN - 1 Agustus 2024
- MANA SOLIDARITAS SENIMAN TEATER UNTUK GAZA? - 25 Januari 2024