Catatan dari AAMR 2019
Nia Agustina.
Asian Arts Media Roundtable, sebuah pertemuan yang menghadirkan pelaku penulisan kritik dan pengelola ekosistem media untuk seni di Asia, diselenggarakan oleh ArtsEquator di Singapura 24-25 Mei 2019 lalu. Berikut adalah laporan dari Nia Agustina, co founder dan kontributor Gelaran.Id yang berkesempatan mengikuti pertemuan tersebut.
Melihat kembali bagaimana proses Asian Arts Media Roundtable yang telah berlangsung pada tanggal 24-25 Mei 2019 lalu di LASALLE College of Arts, Singapura, membuat saya bertanya kembali? Apa lagi hal esensial yang sebenarnya dapat dilakukan dalam ranah media seni di Asia Tenggara, khususnya, dan Asia pada umumnya? Dari pembicaraan selama 2 hari tersebut, secara personal saya menyimpulkan, memang rasanya masih kurang dukungan untuk penulis kritik dan media yang menampung tulisan-tulisan review/kritik seni pertunjukan di setiap negara dari peserta yang hadir. Namun, ketika mendengarkan dengan seksama apa yang dipresentasikan masing-masing presenter baik keynote maupun panel, saya membaca masing-masing sudah mengantongi bagasi solusi untuk mengatasinya. Struggle? Tentu saja, namun, meskipun bermula dari hal-hal kecil dan hampir sulit untuk sustain, nyatanya apa yang dilakukan mampu berpengaruh dalam ekosistem seni pertunjukan.
Hari Pertama
Penggambaran secara keseluruhan situasi media seni di Asia dipresentasikan dengan apik dan gamblang oleh Clarissa Oon (kolumnis dan penulis, memimpin pengembangan konten digital untuk Esplanade, Singapura). Sesi yang dimoderatori oleh Corrie Tan (penulis, editor, dan peneliti dari Singapura) ini secara ringkas, membicarakan 3 hal penting berikut, yaitu:
- Sistem pendanaan (sutainability) media baru, dalam hal ini melalui media digital dan bahkan sosial media
- Bagaimana membangun komunitas yang peduli dengan konten media seni, saat influencer media sosial lebiih banyak berperan dan mengundang berbagai komentar yang dangkal dan bahkan toxic comment.
- Kebutuhan training atau coaching dalam hal penulisan dan peliputan seni yang mendalam dan profesional, terutama untuk generasi berikutnya.
Pembahasan ini pada akhirnya terkait dengan sesi-sesi berikutnya.
Pada sesi Country Media Reports dengan moderator Yuka Sugiyama (direktur Karakoa, Tokyo) ini misalnya, masing-masing delegasi mempresentasikan tentang bagaimana landscape media di negaranya masing-masing, yang pada akhirnya juga beririsan dengan 3 pembahasan dalam keynote speech oleh Clarissa Oon di atas. Ada 5 presenter panel dalam sesi ini: Taisuke Simanuki (Jepang); Phina So (Kamboja); Pristine De Leon (Filipina); saya sendiri, Nia Agustina (Indonesia), dan Amitha Amranand (Thailand). Meskipun sudut pandang pembahasan masing-masing berbeda, ada yang masuk melalui situasi media seni dan sejarah dan represi yang mempengaruhinya, ada pula yang melalui pintu bagaimana media seni bernegosiasi dengan kondisi sosial, budaya, ekonomi, dan politik saat ini, yang lain membahas melalui bagaimana media seni muncul atas dasar kebutuhan. Namun, yang menjadi penting dalam presentasi panel kali ini adalah masing-masing presenter tidak hanya terfokus pada permasalahan-permasalahan yang berkelindan dalam kerja di ranah media seni, namun juga datang dengan pemaparan kerja yang telah dilakukan masing-masing dalam situasi tersebut. Pada sesi Q&A pertanyaan tentang sustainability juga tak luput untuk ditanyakan, dan tidak ada yang benar-benar yakin bagaimana ekosistem media seni di negara masing-masing bisa sustain nantinya. Namun, yang perlu digarisbawahi, di tengah ketidakpastian akan keberlanjutan itu, proses membangun ekosistem media seni di setiap negara yang dipresentasikan telah dimulai dengan sumber daya yang ada. Menunggu kepastian untuk sustain tentu tidak merubah keadaan, dan secara alamiah masing-masing ekosistem pasti akan mencari dan pada akhirnya menemukan jalan untuk bertahan. Jikapun pada akhirnya tidak bertahan itu adalah pilihan yang sah untuk dipilih. Lagipula, yang perlu dicatat, untuk mencapai sesuatu yang besar, tidak melulu harus melalui infrastruktur yang besar pula, infrastruktur kecil yang berlangsung dengan organik dan dirawat dengan baik bisa jadi titik awal yang penting.
Sesi berikutnya lebih fokus pada model-model media seni, yang dimoderatori oleh Sunitha Janamohanan (manajer seni, kurator, produser, manajer venue & heritage) serta dipresentasikan secara panel oleh: Chikara Fujiwara (Jepang) yang fokus membicarakan penjualan tiket dan sponsor, kemudian Kathy Rowland (ArtsEquator, Singapore) dengan fokus tentang model media dan kaitannya dengan pemerintah/negara, serta Sharmilla Ganesan ( Malaysia) dengan pembicaraan seputar media massa dalam bentuk siaran ataupun print dan model periklanan. Dari presentasi di sesi ini, inisiator hingga penulis dalam lingkup media seni sangat perlu membuka diri pada kemungkinan bentuk-bentuk media populer, seperti media sosial contohnya, jika ingin membuka pintu untuk komunitas yang lebih luas. Harapannya, dengan membuka pintu-pintu tersebut, media seni dapat hadir tidak hanya bagi lingkaran seni dan seniman itu sendiri, namun juga menjadi penghubung antara seni dengan masyarakat. “Apa pentingnya seni terhubung dengan masyarakat?” Mungkin jawaban atas pertanyaan ini ada baiknya diresapi melalui refleksi masing-masing, melalui pertanyaan berikut, “Untuk siapa seni diciptakan?”
Setelah tea break, peserta diminta berkelompok dan melakukan Arts Media Ecosystem Mapping Excercise yang sebelumnya telah dikumpulkan datanya melalui onlline survey bagi masing-masing negara delegasi. Masing-masing kelompok diminta membahas terkait penting atau tidaknnya pemetaan ekosistem media seni di Asia dan bagaimana kemungkinan mengembangkan riset terkait ini. Secara ringkas, dalam pembahasan di kelompok kecil (kelompok yang saya menjadi salah satu anggotanya), pemetaan ekosistem ini tentu penting, terutama untuk meningkatkan awareness terkait posisi diri dalam ekosistem yang besar ini. Posisi ini nantinya akan menentukan apa agensi kita dalam ekosistem ini, juga mempermudah kita untuk mengukur seberapa luas jangkauan dampak yang dicapai. Namun terkait pengembangan riset, yang perlu digarisbawahi adalah perlu adanya sinergi pengambilan data dengan media lain, dari sesama media seni, hingga media konvensional, selain itu perlu juga diungkap bagaimana sejarah, politik, dan budaya yang berputar di sekitaran media seni ini.
Hari Kedua
Fokus pada hari kedua adalah pembahasan tentang kritik seni, dimulai dengan keynote speech oleh Tetsuya Ozaki (Jepang, publisher dan chief editor website kebudayaan, majalah Realkyoto) dengan moderator Nabilah Said (penulis naskah, puisi, dan editor ArtsEquator). Judul presentasinya cukup provokatif, “Untuk Siapa dan Untuk Apa Menulis?” Tetsuya Ozaki, banyak memaparkan pengelompokan pemikiran-pemikiran tentang kritik seni dari para ahli kemudian merangkumnya ke dalam satu tabel per kelompok bagaimana relasi antara kritik seni atau tulisan tentang seni terhadap pembacanya, yang bisa jadi seniman, bisa jadi penonton, bisa jadi pula masyarakat.
Sesi kedua dibuka untuk publik dengan judul panel Writing Under Pressure. Dimoderatori oleh Bilqis Hijjas (penulis tari kontemporer Malaysia, presiden MyDanceAlliance, dan editor wbsite Critics Republic), sesi ini berlangsung sangat cair dan menggali secara dalam serta lebih personal praktik kritik dari masing-masing presenter, Fasyali Fadzly (Malaysia), Sadanand Menon (India), Katrina Stuart Santiago (Filipina), dan Corrie Tan (Singapura).Bagi saya, sesi panel ini tidak terkesan membicarakan kritik secara muluk-muluk, lebih membumi, terkesan tidak eksklusif, namun justru mengungkap realita bagaimana posisi kritik disandingkan dengan dinamika personal si penulis juga situasi politik, sosial, dan budaya di masing-masing negara. Di sana diungkap bagaimana menjadi penulis kritik dengan kemungkinan bahwa si penulis berada di lingkaran yang sama dengan si seniman, yang sangat mungkin mempengaruhi objektifitas si penulis, kemudian soal infrastruktur (media, ekosistem, sentra pelatihan) penulisan kritik itu sendiri apakah sudah cukup membuat lingkaran penulisan kritik yang sehat. Semua dibahas dalam sesi ini mulai dari pernyataan personal hingga politis. Seperti Fasyali memaparkan bahwa, dia tidak pernah “menyengaja” menjadi penulis kritik. Memulai dari blog pribadi karena keinginannya mendokumentasikan perasaan personalnya terhadap satu pertunjukan tertentu secara berkelanjutan, hingga justru orang-orang di sekitarnya yang melekatkan penulis kritik sebagai bagian dari identitasnya. Dari situlah kemudian improvement dalam penulisan kritik dilakukan oleh Fasyali, tidak berhenti pada soal perasaan personal saja, namun dibarengi dengan penggalian secara mendalam atas karya itu sendiri, sehingga kritik yang ditulis menjadi lebih membangun bagi senimannya dan terhubung dengan publiknya. Secara pribadi, saya sendiri meyakini bahwa kritik akan sedikit banyak terpengaruh dari selera personal si penulisnya, namun selera personal ini perlu dibarengi dengan pengalaman menonton dan pengetahuan akan seni (baik sejarah maupun kajian) yang mumpuni, sehingga selera di sini sudah bukan lagi sebatas baik buruk atau suka tidak suka, namun lebih konstruktif.
Sesi akhir, diisi dengan semacam rencana tindak lanjut, apa yang perlu dilakukan forum setelah ini. Cakupan yang diambil adalah soal penerjemahan kritik antar negara dan antar platform media seni di asia, pertemuan/forum rooundtable di waktu yang lain baik online maupun offline, mapping ekosistem, penguatan komunitas dan jejaring, serta dokumentasi Art Media Roundtable itu sendiri.Tentu tidak semua rencana tindak lanjut ini serta merta dipasrahkan begitu saja solusinya kepada pihak ArtsEquator, namun bisa jadi dimulai dari inisiatif masing-masing peserta secara mandiri, bukankah selama ini semua peserta forum telah melakukan inisiatif-inisiatif mandiri hingga sampai ke tahap ini?
Menonton Pertunjukan
Dalam 2 hari roundtable setiap malam peserta diajak menonton pertunjukan, pada hari pertama, peserta diminta memilih di antara 2 pertunjukan, yaitu Civilised oleh The Necessary Stage atau ST/LL oleh Shiro Takatani (SIFA). Saya sendiri memilih pertunjukan Civilised yang disutrarai oleh Alvin Tan dengan penulis naskag Haresh Sharma yang mengungkap tantangan, kompleksitad, dan dinamika dekolonialisasi Singapura. Sedangkan hari kedua, semua peserta menonton pertunjukan yang sama berjudul Displaced Persons’ Welcome Dinner yang disutradarai oleh Claire Wong dengan penulis naskah Huzir Sulaiman. Karya ini mencoba mengkritisi bagaimana pekerja-pekerja yang bekerja untuk kemanusiaan seperti di camp pengungsian, bisa tetap hidup, stabil, dan kuat di tengah tantangan yang hampir pasti mempengaruhi pikiran, tubuh, dan jiwanya.
Di hari kedua ini, peserta tidak hanya berhenti pada menonton pertunjukan saja, namun terdapat sesi Critics LIve yang a dimaksudkan untuk menggali kritik atas pertunjukan Displaced Persons’ Welcome Dinner dari sudut pandang 4 kritikus yang diundang oleh forum, yaitu Dede Pramayoza (Indonesia), Hiroyuki Takahashi (Jepang), Helmi Yusof (Singapura), dan Pawit Mahasaranand (Thailand) dengan moderator Kathy Rowland. Menariknya kritik yang disampaikan masing-masing sangat jelas mengungkap konteks dan konsep pertunjukan dari sisi yang yang berbeda. Helmi Yusof, sebagai seorang yanng mengikuti perjalanan penulis naskah dan sutradara dapat memaparkan pilihan-pilihan artistik karya ini disandingkan dengan bagaimana penulis dan sutradara mengambil pilihan-pilihan artistik pada karya-karya sebelumnya. Sedangkan Dede Pramayoza memulai kritiknya dengan perbandingan soal model naskah yang semacam ini di tahun 1990an di Indonesia. Pawit Mahasaranand lebih menelaah logika artistiknya dengan apa yang ingin disampaikan oleh sutradara dan penulis naskah. Dan Hiroyuki Takahashi membandingkan isu serupa yang disampaikan dalam pertunjukan dengan situasi di Jepang.
Agaknya, meskipun masing-masing menyoroti hal yang berbeda, namun apa yang diungkapkan tetap berharga untuk disimak. Meski bagi saya, ada satu hal yang luput dari pembahasan, yaitu bagaimana gap bahasa dalam pertunjukan teater di ruang-ruang seni internasional semacam ini dapat dinegosiasikan. Karena tidak tepatnya menangkap apa yang disampaikan dalam pertunjukan, akan berpengaruh pada tidak tepatnya memaparkan kritik untuknya.
Pembicaraan dan Diskusi di Luar Forum
Diantara hiruk pikuk forum selama 2 hari, ada sudut-sudut yang memungkinkan secara informal peserta saling berinteraksi. Dan saya merasa interaksi semacam ini sama pentingnya dengan interaksi di dalam forum formal. Selain sebagai alat bantu memproses apa yang terjadi di forum, melalui diskusi di luar forum inilah justru peserta dapat saling berbagi lebih banyak soal kerja-kerja yang telah dilakukan, berdiskusi lebih panjang tentang pertunjukan atau pameran yang pernah ditulis, atau bahkan pertunjukan yang ditonton di malam sebelumnya. Relasi dari forum informal ini juga terasa lebih kuat dan menguatkan, juga menginspirasi, karena paling tidak, kita menjadi sama-sama tahu, bahwa di belahan dunia lain, ada orang lain yang melakukan hal yang mirip dengan tantangan yang sama-sama tidak mudah jika ditilik secara kontekstual.