“Sudut Hati Terpercik Api”, Saat Mirat Kolektif Menyalakan Kembali Api Kartini
Apa jadinya jika sejarah perempuan Indonesia ditulis ulang sebagai pertunjukan? Atau lebih tepatnya: ditayangkan ulang, di panggung, seperti edisi majalah yang bisa dibolak-balik halamannya? Mirat Kolektif menjawabnya lewat “Sudut Hati Terpercik Api” yang digelar dua malam pada 14 dan 15 Juni 2025 di Galeri Besar Taman Budaya Jawa Tengah (TBJT) Surakarta. Pementasan ini tidak hanya berusaha menyalakan Api Kartini, tapi juga mencoba mengingatkan lagi bahwa ada yang masih belum usai.
Panggung dibuka dengan sebuah ruangan kecil yang fungsinya jelas, tapi suasananya kabur. Meja kerja, tumpukan kertas, rak buku, papan tulis, dan lampu-lampu berbungkus kertas menciptakan kesan ruang kerja yang tidak selesai—setengah kantor, setengah museum. Di dalamnya ada lima orang: empat perempuan dan satu laki-laki, berpakaian dari dua zaman yang berbeda. Mereka adalah redaksi sebuah majalah fiktif bernama Sudut Hati Terpercik Api. Di meja itu mereka mendiskusikan rubrik tentang isu perempuan, ketubuhan, dan kerja. Kaburnya suasana membuat saya lebih sibuk menafsirkan ruang ketimbang menangkap isi obrolan. Dan itu jadi masalah. Karena jika babak pertama ini dimaksudkan sebagai pintu masuk, maka pintunya terasa belum benar-benar dibuka.
Pintu itu seperti ditahan oleh elemen penting dalam sebuah pementasan: para aktor. Keaktorannya terasa tidak imbang. Beberapa aktor terlihat cukup nyaman memainkan perannya, sementara yang lain tampak ragu. Yang paling kentara adalah tokoh pemimpin redaksi. Sebagai orang yang pernah mencicipi dunia pers mahasiswa, saya tahu bahwa rapat redaksi itu—kalaupun tidak meledak—minimal mengalir deras. Dalam dokumenter Page One: Inside the New York Times (2011), kita bisa melihat bahwa ruang redaksi bukan hanya tempat koordinasi kerja, tapi arena tempat ide, ego, dan keberanian bersitegang. Sosok seperti David Carr memimpin bukan dengan protokol, tapi dengan nyawa. Dalam pementasan ini, pemimpin redaksi tampil terlalu tertib, terlalu diam. Tidak ada tekanan maupun urgensi dari isi majalah yang sedang mereka bicarakan. Ketegangan yang seharusnya membuka pementasan malah terasa seperti laporan rutin tengah bulan.
Bagian paling menarik justru ada pada fragmen berikutnya. Bagian ini dimainkan tepat setelah babak pertama selesai. Seorang tukang sayur dengan lagu yang disetel kencang dari speaker bluetooth di atas gerobak sayur masuk ke panggung. Di dalam panggung sudah ada empat karakter perempuan yang semuanya bernama Mak Ompreng dan digambarkan sebagai ibu-ibu, mahasiswi, dan pekerja. Tukang sayur dalam fragmen ini memegang peranan penting. Dalam adegan kehidupan sehari-hari, tukang sayur adalah tokoh sentral tempat informasi-informasi saling ditukarkan. Serupa dengan penjual angkringan di Kota Solo atau Jogja. Keduanya adalah lokus kulak warta adol prungon.
Di tempat-tempat itulah masyarakat umum membagikan yang mereka dengar dari tempat kerja, warung dekat rumah, teman dekat atau keluarganya. Dan di tempat-tempat inilah mereka mendiskusikan yang telah mereka dengar. Itulah persis yang dilakukan Mak Ompreng. Mereka menukarkan informasi dan membahasnya dalam-dalam. Yang menarik lagi informasi yang dipertukarkan di atas sayur mayur itu, adalah isu-isu sosial-politik. Isu HAM, keselamatan kerja, dan perlindungan terhadap perempuan. Di bagian ini, ketimpangan aktor yang sebelumnya mengganggu saya seketika hilang. Hampir seluruh aktor terdengar sangat nyaman memainkan perannya. Tidak ada lagi yang memaksakan narasi. Tidak ada yang terasa dibuat-buat. Semua berjalan dalam logika tubuh dan laku yang dapat dipercaya. Alhasil, saya dapat menikmati fragmen ini.
Fragmen-fragmen berikutnya adalah kumpulan berita yang seperti tiada habisnya. Terdengar sangat rumit dan betul-betul memenuhi pikiran tanpa dapat diurai dengan baik. Tapi mungkin demikianlah kondisi masyarakat kita saat ini saat dihadapkan dengan isu gender. Isu-isu perempuan hari ini hadir seperti arus informasi yang tak sempat dirangkum. Penuh, rumit, dan sering kali hanya bisa disentuh sebentar sebelum tenggelam oleh isu berikutnya. Kita hidup dalam masyarakat yang akrab dengan kekerasan, tapi tak cukup ruang untuk menyusunnya jadi cerita utuh. Namun mungkin, inilah satu-satunya cara: dengan memberitakan segala sesuatu saat momentumnya tepat.
Di bagian akhir, para aktor menyalakan lilin di hadapan beberapa portrait. Mereka adalah dewan redaksi majalah Api Kartini di bawah asuhan Gerwani. Adegan ini sangat dramatis dan sentimentil. Saya memaknai adegan ini sebagai penghormatan kepada mereka yang telah memperjuangkan hak-hak perempuan pada era awal republik Indonesia. Namun lebih dari itu, saya menangkap permintaan maaf dari generasi yang masih terus memperjuangkan isu-isu perempuan.
Majalah Api Kartini sendiri adalah artefak sejarah yang penting—tidak hanya karena ia bicara soal perempuan, tapi karena ia melakukannya dari posisi yang revolusioner. Terbit sejak 1959, ia memuat gagasan-gagasan tentang emansipasi, tubuh, dan politik dari perspektif kiri yang jelas. Kedekatannya dengan Gerwani, Lekra, dan PKI membuatnya lenyap setelah 1965, dibungkam oleh rezim yang menggantikan mereka dengan sejarah versi Orde Baru. Maka ketika Mirat Kolektif memutuskan untuk “menghidupkan kembali” majalah ini, pertanyaannya bukan hanya tentang bagaimana, tapi untuk apa?
Pementasan Sudut Hati Terpercik Api lahir dari premis yang tampak sederhana: apa yang terjadi jika generasi hari ini mencoba menerbitkan ulang Api Kartini? Tapi seperti halnya ingatan yang tak bisa dipanggil utuh, gagasan itu ternyata lebih rumit dari yang dibayangkan. Persis enam dekade setelah majalah itu ditelan ingatan, isu gender semakin kompleks. Mungkin karena itu pula Mirat Kolektif memilih bentuk teater post-dramatik: pendekatan yang menolak kesederhanaan narasi dan alur logis. Pementasan ini disusun seperti majalah itu sendiri: rubrik demi rubrik, gaya demi gaya, fragmen demi fragmen.
Namun dengan kompleksitas semacam itu, muncul pertanyaan yang lebih dalam: sudut hati siapakah yang sebenarnya terpercik? Apakah ini bentuk penghormatan kepada mereka yang telah dibungkam? Atau sekadar cara generasi hari ini menghibur diri bahwa mereka “masih peduli”? Apakah kita sedang menyulut ulang sejarah, atau sekadar menghangatkan abu yang tak lagi menyala?
Di bagian akhir, kabut putih yang sedari awal menyelimuti ruangan memang perlahan menghilang, tapi justru meninggalkan tanya yang lebih pekat: untuk apa sebenarnya pementasan ini? Saya tidak sedang mempertanyakan niat baiknya—itu jelas ada. Tapi dalam situasi kebudayaan kita hari ini, di mana kementerian sibuk menulis ulang sejarah nasional versi negara, pementasan semacam ini seharusnya tidak cukup hanya menjadi penghormatan simbolik. Ia mestinya tampil sebagai gangguan, sebagai ingatan yang tak bisa diajak kompromi. Tapi yang saya rasakan di akhir pertunjukan justru semacam rasa bersalah yang sentimental, bukan ledakan politik. “Api Kartini” bukan sekadar nama majalah: ia adalah artefak ideologis yang digerus dalam tragedi 1965, bersama banyak suara perempuan lainnya yang sengaja dibungkam. Maka kalau pementasan ini betul ingin menyalakan api itu kembali, pertanyaannya bukan lagi apakah cukup kuat, tapi apakah api itu benar-benar dapat membakar?
Dan jika api itu belum juga membakar, mungkin karena kita terlalu sibuk meniup asapnya.