Menafsir Tradisi dalam Balet: Sebuah Catatan Refleksi
Tulisan berikut telah dimuat sebelumnya di :
https://medium.com/@siti.alisa/menafsir-tradisi-dalam-balet-sebuah-catatan-refleksi-b96eac6902d2
Menonton Indonesian Ballet Gala 2025 yang diselenggarakan oleh Ballet ID pekan lalu memberi saya momen istimewa. Sebagai seorang koreografer yang bertahun-tahun menapaki disiplin balet klasik, dan di saat yang sama menggali akar tradisi, momen ini menghadirkan ruang refleksi yang mendalam: tentang tubuh, tentang pertemuan dua dunia, dan tentang arah pencarian seni kita hari ini.
Balet bagi saya bukan sekedar teknik atau estetika, melainkan bagian dari perjalanan hidup saya — penuh latihan, kedisiplinan, kerja keras, dan pertanyaan yang terus tumbuh seiring tubuh ini mengenali banyak bahasa. Karena itu, saya sangat menghargai keberanian dan kapasitas para koreografer yang mencoba menjembatani dua dunia yang begitu kompleks. Maka ketika menyaksikan karya Beksan Telaga Angsa, saya tidak hanya melihat bentuk atau keindahan panggung, tetapi juga menangkap kegelisahan sekaligus harapan atas bagaimana dua tradisi bisa saling berbicara secara bermakna.
Pertanyaan Reflektif
Sejauh mana seorang koreografer mampu menyebrang antara dua kultur yang berbeda dan sedalam apa ia bersedia menyelam untuk memaknai apa yang disatukan?

Karya Beksan Telaga Angsa merupakan karya kolaboratif antara koreografer Bathara Saverigadi (Swargaloka) dan Mariska Febriyani (Co-Founder Ballet ID). Pertunjukan dimulai dengan musik gamelan yang menggema di auditorium Graha Bhakti Budaya. Layar terangkat, tampak beberapa penari mengenakan kostum tari Jawa berwarna putih, lengkap dengan aksesori kepala berbulu menyerupai angsa. Ketika mereka mulai bergerak dengan halus, tak lama kemudian terdengar suara sinden yang lirih. Alunan sinden itu membawakan melodi khas dari repertoar Swan Lake karya Tchaikovsky. Saya tertegun sekaligus melihat sebuah persoalan — sebuah frasa vokal Jawa dipaksa menyatu dengan sistem nada dan harmoni Barat tanpa penyesuaian musikal yang mendalam. Aura mistik yang biasa menyelimuti kehadiran sinden seketika pudar dan lengkingan lirih itu seolah kehilangan rohnya, terseret oleh melodi Swan Lake yang cenderung dramatis.
Beberapa penari lainnya melangkah ke panggung dengan gerak balet klasik, mengenakan kostum tutu putih. Mereka bergerak bersamaan dan membaur dengan penari-penari bernafaskan Jawa. Dalam pengamatan saya, meskipun mereka menari dengan indah dan memukau, penyatuan dua bahasa tubuh ini justru menimbulkan benturan. Koreografer menyatakan bahwa karya ini dimaksudkan untuk pertukaran energi antar dua budaya. Namun, sepertinya pertukaran energi itu mesti didukung dengan fondasi dramaturgi yang kuat.
Melihat Kedalaman Melalui Sejarah
Jika menelisik sejarahnya, baik balet klasik maupun tari tradisional seperti Jawa(tengah) sama-sama berakar dari lingkungan aristokrat — keraton dan istana. Namun keduanya berkembang dengan arah yang berbeda: tari Jawa menyatu erat dengan nilai-nilai kosmologis dan spiritual, bahkan dalam pertunjukan Ramayana yang bernarasi, tubuh penari tetap hadir dalam ruang yang transenden — melampaui peran atau narasi, dan menciptakan pengalaman yang sarat simbolisme, rasa, dan spiritualitas. Sementara itu, balet klasik membawa tubuh ke ranah narasi yang linear dan teatrikal, dengan penekanan pada konflik karakter dan estetika bentuk. Sisi spiritual balet ada pada unsur dramatik dan penjiwaan tokoh, ia bekerja secara transformatif terhadap tubuh dan cerita, bukan sebagai bentuk ritual. Maka penyatuan ini tidak cukup berhenti pada ‘cerita’ dan ‘energi’, melainkan menuntut pemahaman tentang bagaimana tubuh membaca dan menghidupi ruang-ruang tersebut agar makna dapat tersampaikan.
Karena itu, segmen duet antara Ratu Angsa (Odette) dengan Pangeran Siegfried — yang diambil dari koreografi asli Petipa & Ivanov — seharusnya dapat menjadi titik temu makna. Bagian ini ditarikan oleh penari tamu profesional dari mancanegara (Jepang & Italia), dengan teknik tari yang berkelas dan penghayatan yang mendalam. Namun, akibat fondasi dramaturgi yang belum cukup kuat, kesan yang muncul justru memperlihatkan jarak antara dua dunia tersebut. Mereka tampil memikat, namun tak sempat mengakar dalam jiwa keseluruhan karya. Tanpa konteks yang menopang, pesonanya menjadi serpihan visual yang kehilangan arah.
Disinilah pentingnya dramaturgi dalam sebuah karya pertunjukan: Ketika narasi hadir, konteks menjadi landasan, dan dramaturgi menjadi pengikat makna.

Pertemuan dua kultur ini tidak hanya ditampilkan pada karya Beksan Telaga Angsa. Malam itu, karya Ibu Sussi Andri (Namarina Youth Dance) yang bertajuk Lembayung, juga mengeksplorasikan tari balet dan Bali. Dalam pengamatan saya, Lembayung adalah karya yang puitis — yang merayakan keindahan senja yang tenang dan penuh perenungan dalam transisi menuju keheningan atau malam hari. Karya ini terasa lebih utuh dan bernafas lebih hidup; struktur adegan yang jelas, teknik dan energi penari yang kuat, lighting panggung yang selaras dengan narasi, dan pemilihan musik memberikan kesan kontemplatif dan enerjik.

Namun, transisi per-adegan memiliki potensi untuk dieksplorasi lebih dalam agar tidak terputus dan lepas dari alur yang konvensional, seperti pergantian adegan yang kaku — ditandai dengan blackout dan jeda yang formal. Karena berpijak dari lanskap alam yang puitis, sepertinya membutuhkan lebih banyak analisis rasa dan bentuk, sehingga karya lebih terasa mengalir dan muncul perasaan yang penuh makna — barangkali seperti saat menatap ‘lembayung senja’. Saya berharap untuk melihat koreografi duet yang lebih kompleks dan lepas, sebagaimana Lembayung merupakan ‘keindahan sesaat’ — yang begitu cepat berlalu, namun menyentuh dan penuh kebebasan.
Penggunaan gerak tari tradisional Indonesia dalam karya ini cukup sedikit, tetapi masih tereksplor secara permukaan. Ketika beberapa penari mengenakan kostum bernuansa Bali, berjalan ala tari pendet dan melakukan agem, ia terkesan menjadi aksen visual atau ‘pemanis’ dalam tubuh balet, belum berakar pada logika tubuh dan konteks naratifnya. Namun pada bagian rampak di adegan terakhir, saya melihat adanya terobosan. Energi dan ritme gerak penari yang diperkuat oleh iringan musik perkusi khas NTT, memunculkan semangat baru — sebuah momen harmoni antara dua bahasa tubuh yang sebelumnya saling menjauh. Penempatan segmen ini sebagai penutup terasa tepat, karena berhasil meninggalkan jejak memori yang berkesan dalam ruang pertunjukan. Di sinilah saya merasa Lembayung lebih dekat dengan nilai-nilai spiritual dalam tradisi tari Indonesia, meski dibungkus dalam kerangka balet.
Secara keseluruhan, saya pikir pendekatan koreografis dalam kedua karya ini sangat berpotensi untuk menjelajah kemungkinan bentuk dan ruang secara lebih berani. Pola lantai dan struktur komposisi yang digunakan saat ini masih berpijak pada pakem balet klasik: simetris, geometris, sentralistis, dan repetitif. Ini bisa dimaklumi, mengingat sejarah tari tradisional Indonesia — khususnya tari Jawa — sudah lama bersinggungan dengan struktur estetika Barat. Namun, kemiripan struktur bukan jaminan lahirnya perpaduan yang bermakna. Perlu adanya dobrakan untuk mendalami logika tubuh masing-masing, agar kesamaan ini justru tidak mempertegas jarak yang tak kunjung terjembatani.

Dalam panggung internasional, karya Giselle versi Akram Khan (koreografer asal Inggris keturunan Bangladesh) menjadi contoh bagaimana sebuah repertoar klasik bisa diolah ulang melalui bahasa tubuh kontemporer dan sudut pandang identitas. Atau La Bayadere, repertoar balet klasik yang berlatar India menunjukkan bagaimana pemahaman atas dramaturgi, narasi dan libreto dapat menjembatani pertemuan antar dua kultur secara utuh. Keduanya menunjukkan bahwa jalinan yang terlahir bukan dari pencampuran bentuk semata, tapi dari kesadaran logika tubuh dan konteks budayanya.
Maka, pertanyaannya bukan lagi sekedar bentuk apa yang bisa digabungkan, melainkan: Mengapa dua tradisi ini dipertemukan? Apakah demi menciptakan identitas baru atau sekadar menjadi eksperimen estetika? Atau apakah untuk memberikan kita sudut pandang baru dalam memandang dunia hari ini? Sebab tanpa arah pencarian yang jernih, eksplorasi budaya rentan menjadi potongan visual yang tidak utuh dan terputus dari akar pengalaman tubuh dan sejarahnya.
Pertanyaan-pertanyaan ini bukan penolakan, melainkan undangan untuk membuka ruang dialog yang lebih terbuka. Saya bersyukur menjadi salah satu yang menyaksikan pencapaian artistik kedua karya ini, sekaligus menantikan karya yang akan lahir kedepannya — hadir dengan semakin otentik dan transformatif. Karena seni tidak hanya tumbuh dari penciptaan, tapi juga dari kritik yang peduli akan ke mana ia sedang menuju.
———————–
Catatan: Ibu Sussi Andri adalah salah satu guru balet saya di masa awal menari. Meski hubungan itu kini telah berlalu, pengalaman tersebut tetap memberi tempat khusus dalam perjalanan artistik saya. Ulasan ini ditulis secara independen dengan semangat reflektif dan apresiatif.
Sudah baca yang ini?:
KENAPA MEREKA BEREBUT PANGGUNG?: Catatan atas Pertunjukan “A New World Nova Genesis”
Pendaftaran Festival Tari Kontemporer di Singapura 2018.
Rembesan "Mili" Mbah Mantri: Transformasi Tradisi dalam Ekspresi Kontemporer "Kala-Kili"
Perang dan Teater
Toleransi di Antara Decit Kosong : Catatan untuk "Marka" karya APDC
PROSES ‘MENEMUKAN’: REFLEKSI MENGIKUTI FORUM PRODUSER
- Menafsir Tradisi dalam Balet: Sebuah Catatan Refleksi - 17 Juli 2025