Menyerap “Dompeng No.2” : Eksperimen Bunyi Muhamad Erdifadilah
Pertunjukan dibuka dengan mematikan seluruh sumber cahaya ruang. Lampu padam mengawali kekosongan yang gelap. Samar terlihat visual cahaya OHP diarahkan pada titik tengah ruang. Memberi sapuan visual bagi seseorang yang sedang mengoperasikan sistem digital untuk mengatur keluaran bunyi di ruangan. Tata letak sound yang melingkari penonton membuat penerimaan bunyi semakin terpusat.
Tiga menit dimulai. Ruang minim cahaya. Suara mengepung dari semua sisi. Tubuh penonton berpasrah dengan segala yang terdengar. Pengindera tubuh-telinga mengalami peristiwa seni mendengar.
Momen ini menjadi bagian dari progam Relasi Bunyi 2025 Komunitas Sakatoya. Sebuah progam yang membuka kesempatan bagi para praktisi musik untuk mengikuti workshop hingga pada tahap presentasi karya. Dengan pendampingan kurator progam Jenar Kidjing dan beberapa fasilitator terpilih.

Malam itu, dua presentasi karya ditampilkan. Presentasi pertama oleh Muhamad Erdifadilah. Edip, sapaan akrabnya, menggunakan ingatan suara kampung halaman sebagai titik berangkat karya. Pulau Bangka, tanah lahir dari Edip memberikan ingatan yang sampai saat ini masih tertanam, menyoal pertambangan di wilayah ia bertumbuh kembang. Memanggil ingatan tambang dan kampung halaman, Edip menyematkan judul karya, “Dompeng No.2”. Dompeng merupakan istillah mesin yang digunakan dalam aktivitas pertambangan di kampungnya.
Pada durasi tiga hingga lima menit terasa kental aroma dentuman unsur besi tembaga yang saling berdesakan dan menghantam. Rangsang bunyi yang diterima mengantarkan pada kerja otak untuk membuka antena sinyal, menangkap ingatan database otak terkait warna dan aroma bebunyian tersebut.
Bebunyian yang terakumulasi pada sistem frekuensi tertentu menjadi stimulus kerja otak yang memberikan respon tubuh tertentu. Saat yang diterima hanya suara, sinyal antena otak bekerja atas penerimaan itu. Suara tidak lagi hanya diterima sebagai suara. Ia meluaskan kemungkinan untuk kerja otak dalam respon tubuh, serta ingatan masa lalu atas penerimaan suara bunyi tadi.
Dalam hal ini dapat diletakkan pemahaman sederhana. Misalnya, saat tengah malam kita mendengar kucing bertengkar di atas atap seng sebuah rumah, sedangkan kita berada di dalam rumah sedang ngobrol santai. Kita tidak beranjak dari duduk. Suara menyeruak kucing dapat sekejap melintas visual dalam kerja sinyal otak kita. Tentu saja, karena database tentang kucing dan kucing bertengkar sudah ada. Hanya perlu sinyal pemantik untuk mengundangnya kembali.
Hal semacam ini barangkali juga terjadi pada beberapa sinyal bunyi lainnya. Seturut dengan ruang komunal yang terekam kerja otak dalam setiap momen tangkapan bunyi.
Kembali pada Edip. Dompeng No.2 memasuki durasi enam hingga delapan membawa kesadaran elemen tubuh beranjak pada ruang liyan. Tidak lagi di studio Sakatoya Collective, tidak lagi menonton pentas, tidak lagi duduk bersebelahan dengan penonton lain. Pancaran sinyal otak yang kemudian mengkoordinasi elemen perangkat tubuh mengajak untuk melintasi ruang perjalanan yang liyan. Tidak bisa terjelaskan. Seperti saat mimpi dalam tidur, saat terbangun tidak dapat menjelaskan secara baku, struktur ruang dan peristiwa yang dialami.
Menit ke delapan hingga menjalang akhir, komposisi bunyi semakin intim dalam perjalanan yang liyan. Perjalanan kemana, tidak tahu. Dan memang tidak perlu dicari tahu. Jika dilihat dari pengalaman ini, komposisi eksperimen bebunyian terasa akrobatik, menaik-turunkan intensi indera dengar. Namun di waktu bersamaan kerangka-bangun komposisi memiliki kesadaran sebuah struktur. Seperti yang dilakukan pada sajian sebuah pentas, baik musik atau lainnya.
Kerangka-bangun komposisi bunyi ini barangkali menjadi kepekaan sekaligus keahlian Edip sebagai penggarap musik yang terbiasa merajut komposisi. Mendengar bunyi yang sedemikan akrobatik tersebut, dalam waktu yang sama juga seperti menyaksikan sebuah cerita yang ingin diungkapkan. Baik itu disebut sebagai cerita, perasaan, kegelisahan, maupun pengetahuan. Diungkapkan melalui komposisi bunyi.
Perlu disinggung bahwa sajian bunyi musik yang dirancang Edip, memiliki kedekatan istilah jika disebut sebagai musik eksperimen. Penyematan ini terkadang kurang tepat. Eksperimen ditempatkan sebagai metode, bentuk, atau tujuannya. Tidak perlu diperumit. Setidaknya menjadi pemahaman bersama tahapan setiap karya memiliki cara rancang-bangunnya masing-masing.
Satu catatan. Pengemasan karya eksperimen bunyi seperti ini memiliki cara yang mesti dibedakan dengan presentasi musik atau eksperimen lainnya. Merujuk pada gagasan konsep yang disampaikan Edip, termasuk yang dijelaskan seusai presentasi berlangsung. Edip yang juga didampingi Jenar Kidjing menjelaskan cerita dibalik komposisi tersebut. Terkait penambangan timah, dompeng, dan sedikit tentang isu lingkungan yang terus berupaya mengembalikan kealamiannya.
Artikulasi gagasan yang menjelaskan komposisi berdurasi 15 menit, justru mengurangi stimulus yang telah dihasilkan dari penerimaan dengar itu sendiri. Bebunyian yang memantik pada perjalanan liyan, ingatan dentuman besi, dan ingatan lainnya, menjadi dipersempit dengan gagasan Edip yang bersumber dari ingatan bunyi kampung halamannya. Barangkali perlu ditemukan mekanisme lain dalam pengemasan karya yang mengarah pada eksperimetal.
Sebagai catatan, eksperimen bunyi dengan teknologi spatial sound ini membuka keluasan dalam kemungkinan mengoperasikan sistem bunyi yang diinginkan. Rancang-bangun teknologi ini menjadi media sekaligus metode dalam produksi eksperimen suara dan bunyi. Baik itu akan diterapkan sebagai komposisi musik atau media audial lainnya dengan kemungkinan berpasang dengan media visual yang dapat turut serta.
Eksperimen bunyi mestilah dikawin-eratkan dengan teknologi sebagai media presentasinya. Turut bekerjasama antara seniman, praktisi bunyi, serta operator tata suara yang berfokus pada perkembangan dan pengoperasikan tata suara.
Sudah baca yang ini?:
KENAPA MEREKA BEREBUT PANGGUNG?: Catatan atas Pertunjukan “A New World Nova Genesis”
Melihat dari Dekat Pentas Keliling Teater Kaki Lima Puchi Mari-Mari (Jepang) di Jogja – Jateng
Membongkar Kubur Pentas Sagaloka : Keluarga Yang Dikuburkan
Benda-Benda yang Menggerakkan Tubuh: Pertemuan Dua Migrasi
Feminisme ala Ayu Permatasari dalam "Hah"
Kenyataan Samar di Balik Bisul Semar: Catatan atas “Bisul Semar” – Teater Koma di FKY 2023
- Menyerap “Dompeng No.2” : Eksperimen Bunyi Muhamad Erdifadilah - 19 Juli 2025
- Ibu Pertiwi, dan Anak-Anak yang Mencintainya - 20 November 2019
- Teater Tanpa Pagar: Imaji-intelektual, Keterjajahan Mental - 25 November 2018