Melihat dari Dekat Pentas Keliling Teater Kaki Lima Puchi Mari-Mari (Jepang) di Jogja – Jateng
Permulaan tahun 2025 diwarnai dengan ragam informasi bernada pesimistis yang terus membanjiri platform berita. Berbagai peristiwa kelam, krisis dan konflik sosial, kenaikan harga pangan dan bahan bakar, hingga praksis politik yang menciptakan ketakutan kolektif dan kegaduhan di berbagai lapis masyarakat. Tagar #kaburajadulu dan #indonesiagelap memenuhi linimasa media sosial merespons berbagai kebijakan pemerintah yang dianggap menelantarkan “kepentingan rakyat”.
Barangkali tidak semua masyarakat mampu berteriak lantang dan protes dengan frontal memperjuangkan suaranya yang kerap dirampas, alih-alih didengar. Oleh karenanya masyarakat membutuhkan ruang untuk bernapas, merenung, dan bangkit. Salah satu ruang tersebut adalah kesenian, dalam hal ini teater. Selain dapat menjadi wadah ekspresi sosial, teater seringkali hadir juga sebagai medium pelipur di tengah kemuraman. Teater, dengan sifatnya yang cair dan adaptif, mampu menyusup ke berbagai lapisan masyarakat dan menyajikan refleksi realitas dengan cara yang menyentuh namun menghibur.

Pertengahan Januari saya mendapat pesan singkat dari seorang kawan yang mengajak saya terlibat menjadi ‘penonton’ dalam pentas keliling Teater Kaki Lima Puchi Mari-Mari atas inisiasi produksi Institut Hidup. Awalnya, saya ragu untuk menyanggupi tawaran mengikuti rangkaian pentas tersebut. Rangkaian jadwal pentas yang padat di beberapa kota rasanya akan cukup melelahkan. Namun, setelah dipertimbangkan, kesempatan semacam ini merupakan kesempatan langka yang sayang rasanya jika tidak disambut dengan sukacita.
Setelah sempat berkomunikasi via platform daring dengan Aik Vela selaku tim produksi dari Institut Hidup dan Dwi Utari, sebagai ‘penonton’ lain untuk membahas beberapa teknis, kami akhirnya berjumpa pada hari kedatangan Teater Kaki Lima Puchi Mari-Mari di Indonesia, Jumat (14/2/2025). Pertemuan tersebut juga merupakan pertemuan dan perkenalan pertama saya dengan kelompok teater asal Jepang tersebut. Mula-mula kendala bahasa dan perbedaan budaya sempat menjadi variabel yang membatasi keleluasaan dalam berkomunikasi. Namun, perlahan batas tersebut mulai cair seiring dengan berjalannya waktu.
Pada hari kedatangannya tersebut, Teater Kaki Lima Puchi Mari-Mari–-yang selanjutnya akan disingkat dengan TKLPM–-langsung melakukan latihan dengan didampingi oleh Ficky Tri Sanjaya dan Risda Nur Widia dari Institut Hidup. Mereka juga dibantu oleh dua penerjemah yang terlibat aktif selama proses pentas keliling. Pada latihan perdana di Indonesia ini, fokus utama yang dilakukan adalah revisi penerjemahan naskah dari bahasa Jepang ke bahasa Indonesia. Revisi tersebut menjadi variabel proses yang penting mengingat TKLPM akan mementaskan pertunjukannya dalam bahasa Indonesia. Tentu akan sulit untuk memahami pertunjukan mereka tanpa alih bahasa yang tepat dan kontekstual. Di sinilah peran Ficky dan Risda dengan bagasi pengetahuan dan kebahasaannya menjadi penting untuk menjembatani kesenjangan bahasa tersebut.
Dua hari menuju pertunjukan perdana pentas kelilingnya, TKLPM fokus melaksanakan latihan dan mencoba mempresentasikannya kepada warga di sekitar lokasi mereka menginap–di Kasongan. Mereka berlatih dengan disiplin, namun senantiasa riang dan penuh raut gembira. Energi itulah yang ingin mereka bagikan kepada siapa saja yang terlibat dalam pentas mereka. Itu pulalah yang kemudian terbaca sebagai visi artistik TKLPM, yakni menjadikan teater sebagai arena seni yang menyenangkan, baik bagi pelaku maupun penontonnya melalui pertunjukan teater interaktif. Penjelasan yang disampaikan pula secara tersirat oleh Hotaka Hagiwara, salah satu aktor TKLPM dalam sebuah sarasehan pascapentas.

Kisah sederhana, riuh tawa yang bermakna
Pada pentas kelilingnya di Indonesia, TKPLM menampilkan 7 lakon berbahasa Indonesia dari hasil alih bahasa lakon drama berbahasa Jepang. Lakon-lakon tersebut menyuguhkan ragam cerita yang yang bersumber dari folklor dan cerita anak Jepang. Lakon-lakon tersebut–dalam bahasa Indonesia–yakni, Kelinci dan Kura-kura, Tiga Lembar Kartu, Putri Duyung, Lobak Besar, Kastil di Laut, Kapak Emas, Kapak Perak, dan Balas Budi Bangau.
Ketujuh lakon tersebut tidak lantas dipentaskan dalam tujuh babak berurutan, namun dipentaskan secara bergantian pada setiap panggung yang berbeda. Pada setiap lokasi pertunjukan yang merentang dari Jogja hingga Magelang TKLPM mementaskan setidaknya 4 repertoar. Pemilihan lakon yang diusung di samping mempertimbangkan lokasi pertunjukan juga menyesuaikan dengan waktu dan pertimbangan teknis aktor. Namun, Lobak Besar akan selalu menjadi repertoar yang menutup pertunjukan TKLPM.
Pada lakon Lobak Besar, TKLPM menghadirkan pertunjukan interaktif dan imersif yang melibatkan penonton sebagai bagian dalam pertunjukan mereka. Keterlibatan tersebut menciptakan kedekatan lain yang menciptakan ruang hangat dalam panggung pertunjukan dan meruntuhkan dinding keempat teater. Riuh dan tawa menguar begitu saja berbaur dengan senyuman hangat pada mulut-mulut yang terpancar dari raut muka penonton. Seolah meluruhkan sisa perasaan berat dan tanggungan yang menempel di pundak mereka.

Ragam ekspresi juga rekah dalam setiap repertoar yang dibawakan oleh TKLPM. Selain tawa dan senyum yang penuh makna, kita bisa melihat ekspresi sedih dan lelehan air mata penonton ketika menyaksikan lakon Balas Budi Bangau. Kisah sederhana mengenai bangau yang diselamatkan oleh seorang manusia dan balas budinya, nyatanya mampu menyentuh lubuk hati para penonton. Dengan properti sederhana dan tanpa adanya tata panggung khusus mereka mampu menghadirkan atmosfir panggung teater yang imajinatif namun dekat.
Simplifikasi tata artistik pada ragam panggung alternatif
Kaos dan kemeja hitam dipadukan dengan celana berawarna serupa menjadi kostum sekaligus identas visual yang digunakan oleh TKLPM sepanjang pentas keliling ini. Nyaris tidak ada perubahan kostum signifikan yang mereka kenakan dalam setiap pentas. Tak ada pula make up karakter yang menempel tebal di wajah para aktor. Wajah mereka cenderung terlihat bersih dari riasan alih-alih dipenuhi coretan.

Lini skenografi tampaknya juga tidak mendapatkan perhatian lebih dari TKLPM. Mereka lebih banyak menggunakan properti imajinatif melalui gerak tubuh aktor. Namun, pada beberapa lakon seperti Balas Budi Bangau dan Tiga Lembar Kartu mereka menggunakan properti tambahan. Meskipun properti tesebut juga tidak digunakan secara konsisten pada seluruh pertunjukan yang menampilkan lakon tersebut. Simplifikasi tata artistik yang dipilih oleh TKLPM juga terjadi pada tata panggung yang mereka gunakan. Alih-alih menata set panggung dengan spesifik dengan ragam desain dan tata cahayanya, TKLPM memilih untuk tidak memusingkan urusan teknis produksi tersebut. Alhasil, mereka memilih untuk menjadikan panggung ruang yang kosong yang lantas diisi dengan aktor sebagai bagian dari artistik serta memilih menghindari terlalu banyak sorot lampu.
Pada panggung tertentu yang memberikan cukup jarak dengan penonton, Hotaka memilih untuk memangkas jarak tersebut. Baik dengan mendekat kepada penonton maupun mendekatkan penonton dengan panggung. Saya sebagai pengamat melihat dua peristiwa tersebut di Balai Budaya Minomartani (Sleman) dan Sanggar Pasinaon Pelangi (Surakarta). Sebagai panggung alternatif, kedua panggung tersebut memberikan ragam fasilitas dan ruang eksperimentasi artistik yang dapat dieskporasi. Namun, TKLPM memilih untuk tidak menggunakannya dengan maksimal dan malah menyederhanakannya.
Konsep artistik yang dipilih oleh TKLPM sebenarnya juga memberi keuntungan untuk mereka. Dengan tidak adanya properti dan set yang kompleks, TKLPM dapat melakukan pertunjukan di manapun dan kapanpun. Keputusan ini juga memungkinkan mereka untuk melakukan tur ke luar daerah bahkan luar negeri tanpa dipusingkan dengan urusan kargo dan perlengkapan artistik yang kompleks. Ini mengingatkan saya pada pesan Mbak Ria Papermoon pada sebuah pertemuan dalam Minikita: Inkubasi Teater Yogyakarta mengenai simplifikasi artistik dalam sebuah tur pertunjukan. Dalam sebuah tur yang mengharuskan untuk cepat berpindah dan meminimalisir kargo, simplifikasi artistik menjadi mutlak. Namun, pada konteks TKLPM, simplifikasi yang mereka lakukan diwujudkan dalam bentuk imajinasi yang ditawarkan oleh aktor dalam permainannya.

Variasi segmentasi penonton, kerja produksi yang lain
Simplifikasi artistik itu kemudian memungkinkan TKLPM untuk memasuki berbagai panggung alternatif dan segmentasi penonton. Teknis produksi tersebut kemudian juga didukung dengan kemampuan adaptasi TKLPM dalam berbagai panggung di 10 lokasi berbeda di Yogyakarta, Surakarta, Sukoharjo, dan Magelang. Misalnya, pada pertunjukan di Lapas Wirogunan (Yogyakarta), TKLPM memilih untuk secara aktif melakukan interaksi dengan penonton yang merupakan penghuni lapas untuk mewujudkan ruang imersif dan ekstensif. Pengalaman silang tukar budaya juga menjadi tawaran yang mereka berikan kepada penonton dari berbagai kalangan yang hadir untuk menyaksikan pertunjukan mereka. Alhasil, silang-saling tukar budaya ini memberikan pengalaman lain baik bagi penonton maupun TKLPM sebagai kelompok.
Ragam panggung dan variasi segmentasi penonton tidak terlepas dari kerja-kerja keproduksian yang dilakukan oleh Institut Hidup. Dalam waktu yang singkat mereka memungkinkan TKLPM untuk melakukan pentas keliling di berbagai panggung di 4 wilayah berbeda. Tentu tanpa modal sosial dan kultural yang baik, kerja-kerja semacam ini tidak mungkin dilakukan. Kedua modal tersebut memungkinkan Institut Hidup untuk menggandeng berbagai mitra penyelenggara pentas keliling ini.

Peristiwa kebudayaan ini banyak menyadarkan saya mengenai pentingnya relasi dan komunikasi yang baik dalam membangun jejaring antarkomunitas seni. Saya yakin modal sosial dan kultural tersebut tidak dibangun Institut Hidup dan timnya–Aik Vela, Ficky Tri Sanjaya, dan Risda Nur Widia–dalam waktu yang pedek. Melainkan jejaring yang dibangun secara kolektif dalam jangka waktu yang lama dengan ragam kerjasama kulturalnya. Alhasil, kerjasama kultural tersebut menghasilkan jejaring yang memungkinkan fluiditas dalam berkarya dan ketangguhan dalam melenting.
Sebagai seni pertunjukan, teater mempunyai fluiditas yang mampu menyesuaikan diri dengan konteks zaman serta dinamika sosial. Ia bisa tampil dalam berbagai bentuk dengan ragam narasi dan silang media. Dalam situasi yang muram, teater mampu menjadi medium katarsis: menyuarakan keresahan kolektif, namun juga memberi ruang tawa, harapan, dan solidaritas. Teater tidak hanya menyuguhkan hiburan, tetapi menjadi cermin masyarakat yang jujur dan kadang jenaka.
Dengan demikian, ketangguhan dalam melenting membuat teater lebih dari sekadar pertunjukan, melainkan peristiwa budaya yang menghidupkan kembali semangat warga, menawarkan perspektif baru dalam melihat realitas, dan membangun daya tahan emosional kolektif. Dalam “Indonesia gelap”, teater hadir sebagai lentera kecil yang tak pernah padam, menyinari ruang-ruang batin yang nyaris putus asa. Itu pula yang ditawarkan dalam pentas keliling TKLPM melalui inisiasi produksi Institut Hidup.
Sudah baca yang ini?:
The Amazing Suparman: Kosmopolitan Berbalut Kemiskinan
Itu Perputaran Siklus, Bukan Rotasi : Catatan atas “Tatengghun Nemor” — Kamateatra...
Rekomendasi Kuliah Seni Pertunjukan Se-Dunia (Update 2023)
Kalibrasi Ulang: Kurasi Festival Teater Jakarta Timur 2022
Mak, belikan baju baru, nanti malam aku pentas Teater!
Kepermaian Pantomim Jemek Supardi Lewat Tubuh Septian
- Melihat dari Dekat Pentas Keliling Teater Kaki Lima Puchi Mari-Mari (Jepang) di Jogja – Jateng - 12 Juni 2025
- Kenyataan Samar di Balik Bisul Semar: Catatan atas “Bisul Semar” – Teater Koma di FKY 2023 - 20 November 2023
- Menyaksikan Pertikaian Simbolik Pemimpin Dunia dengan Jenaka: Catatan atas Pertunjukan “BullyBully” – Maast Theater en Dans - 18 Februari 2023