Dislokasi Dalam Lidah Fransiska: Pantulan Terhadap Pertunjukan “Dalam Lidah Abu-Abu”
Dalam relasi antara pusat dan pinggiran, Yogyakarta menanggung beban sejarah sebagai produsen utama kedua tatapan tersebut. Kota ini menjelma sebagai pusat pendidikan, kesenian dan kebudayaan yang dibentuk melalui ekspansi hegemonik, sejak masa imperium Mataram. Dari warisan tersebut, lahirlah citra Yogyakarta sebagai salah satu poros kebudayaan Nasional, sekaligus hasrat bagi subjek-subjek daerah untuk merantau ke kota ini.

Melalui ketegangan di atas, aku ingin mengajak kalian untuk meresapi tawaran Fransiska pada pertunjukan “Dalam Lidah Abu-Abu”— yang dihelat pada 26 September lalu di Festival Minikita 2025. Membawa sorotan terhadap “dislokasi identitas”, Fransiska berupaya mengartikulasi tubuhnya yang adalah orang Lewoleba (Lembata, Nusa Tenggara Timur) yang tumbuh dengan identitas formal Kalimantan Timur, namun harus merantau ke Jogja lantaran percaya pada tempat baru yang sering dijumpainya di buku pelajaran.
Akan tetapi, itikadnya untuk merantau ke pusat imperium Jawa, justru membuatnya kehilangan identitas dan akar budayanya. Premisnya berangkat dari bagaimana tubuh yang kerap dianggap sebagai arsip paling jujur, justru telah kehilangan konteks budayanya. Kemudian apa yang terjadi apabila seseorang yang tidak dibesarkan dari tanah kelahirannya—serta bahasa, dialek dan makanan yang akrab baginya, justru bertentangan dengan anggapan orang lain?
Premis tersebut dihadirkan secara telanjang, ketika Fransiska menjalin kontak dengan ibunya melalui telepon. Dalam fragmen tersebut, ia menimpali pertanyaan ibunya menggunakan bahasa nasional, sesekali tergelincir pada logat Jogja. Seolah lidahnya yang merah berubah abu-abu, ketika terkontaminasi oleh sistem bahasa adiluhung—sistem yang memaksa tubuhnya untuk terlibat menata pikiran dan tata laku. Perubahan lidah tersebut, membawa Fransiska mengalami rentetan kelatahan—latah terhadap lingkungan baru sekaligus latah terhadap bahasa ibunya.
Artefak bahasa yang tumpang-tindih dalam lidah Fransiska menegaskan sebuah ketegangan: antara lidah yang ia kuasai namun tidak sepenuhnya ia hayati, sekaligus lidah yang membentuk kepribadiannya kini namun bukan bagian dari asal-usulnya. Ketegangan itu kian rumit ketika tatapan orang terus menuntut dua hal sekaligus—performativitas asal usul dan otentisitas linguistik. Seakan-akan identitasnya harus selalu diuji melalui suara yang keluar dari mulutnya. Disinilah “Lidah Abu-Abu” sebagai arsip paling jujur untuk mengungkapkan hilangnya konteks identitas Fransiska.

Ketelanjangan tersebut menjadi metaforis, ketika Fransiska membawa penonton mengintip ke dalam ruang privatnya. Di sebuah ruang hitam, ia menghadirkan batu-batu, ember plastik, KTP pribadi, hingga beranda TikTok yang tergantung—sebuah pertempuran antara benda domestik, asupan digital dan dokumen administratif. Benda-benda tersebut seolah bergentayangan di langit-langit kamarnya, menyerbu ruang ekspresinya yang paling intim, sekaligus menegaskan keputusan politis Fransiska—menjadikan pengalaman personal yang paling rentan sebagai instalasi yang dapat dibaca, dipandang, sekaligus diinterogasi oleh publik.
Dalam fragmen tersebut, kita diperlihatkan bagaimana Fransiska berdialog dengan dirinya melalui cermin, sekaligus memperingati superegonya agar dapat tampil sesuai dengan norma sosialnya—halus dan sopan. Disini kita tidak sekedar menonton dirinya yang berbicara sendiri. Melainkan menyaksikan negosiasi batin, antara tubuhnya yang kadung tampil “apa adanya” dengan “apa yang diharapkan” terhadap tubuhnya.

Perlukah Isu Personal Hadir Ke Panggung?
Cukup lama sejarah pertunjukan kita berkubang pada mitos dan kisah-kisah besar. Teater khususnya, dijadikan medium untuk mendaur ulang sejarah, legenda kepahlawanan, maupun cerita rakyat. Meskipun penting, namun kecenderungan tersebut beresiko menempatkan individu sebagai “sekrup kecil” dalam kisah-kisah besar, sehingga pengalaman personal kerap tenggelam dalam arus dominan tersebut.
Dalam konteks teater kontemporer, justru yang “personal” menjadi modus penting untuk dihadirkan. Kisah individu, tubuh yang rentan serta kegamangan yang dialami Fransiska, justru menyingkap kompleksitas sosial dan politik yang lebih besar. Sebagai perantau, Fransiska tidaklah sendiri melainkan ada ribuan perantau yang mengalami stigma bahasa, perasaan “ketinggalan”, serta ketegangan identitas di kota-kota pusat.
Dengan mengerahkan tubuhnya berbicara di hadapan publik, situs personal Fransiska mengajak kita untuk mempertanyakan ulang—apa yang selama ini dianggap lumrah dan sepele. Pada titik ini, publik Jogja yang kadung nyaman dalam naungan pusat, berupaya diusik dengan cara meresapi ketidaknyamanan dan kegamangan yang dibawa oleh subjek perantau seperti Fransiska.
Melalui kerangka di atas, tawaran dislokasi Fransiska bukan sekedar keluhan pribadi, melainkan serpihan cermin dari cermin sosial yang lebih besar. Agensinya terletak pada keberaniannya mengklaim panggung sebagai situs personal, membalik keterasingan sebagai wacana kritis, sekaligus menempatkan dislokasi sebagai statement politik.

Meskipun demikian, terdapat celah yang kiranya perlu diperhatikan oleh Fransiska. Celah ini barangkali kecil, namun berpotensi memecah kepingan-kepingan personal yang telah dibangun sejak kita memasuki ruang pertunjukan. Bahwa Fransiska perlu menaruh sorotan yang lebih tajam terhadap konflik—apa yang sebenarnya sedang ia pertaruhkan di balik kegamangan identitasnya. Apakah ia sedang menuntut pengakuan atas asal usul, menuntut penerimaan di ruang baru, atau sekedar merebut ruang bagi identitas-identitas perantau?
Dengan menaruh sorotan tegas terhadap konflik, fragmen-fragmen personal yang ia hadirkan tidak sekedar terbaca sebagai lapisan memori, melainkan sebagai pilihan politis. Dengan begitu, pertunjukan Fransiska tidak sekedar eksploitasi terhadap kerentanannya, melainkan statemen tegas terhadap posisi dirinya dalam pusaran kuasa yang lebih dominan.
Sudah baca yang ini?:
(Percakapan) Pendekatan Matematis dalam Another Body - Another Space - Another Time
Sekedar Tragedi atau Refleksi Diri? | Catatan atas La Leçon — Teater Sagaloka
Tandha’ Menatap Tayub : Membaca “Atandhang” karya Sri Cicik Handayani di Lawatari Yogyakarta
12 Juri: Sebuah Satir dan Suara Hukum
Sejarah Indonesia Modern Sekali Klik : Catatan Mengalami Peristiwa Hal-19 Bersama Kalanari Theatre M...
Kenyataan Samar di Balik Bisul Semar: Catatan atas “Bisul Semar” – Teater Koma di FKY 2023
- Dislokasi Dalam Lidah Fransiska: Pantulan Terhadap Pertunjukan “Dalam Lidah Abu-Abu” - 13 Oktober 2025
- Merebut Sejarah Dari Gejala Amnesia: Resepsi Keaktoran Dalam Pertunjukan Vergadering Sarekat Islam - 4 Januari 2025
- Dramaturgi Toserba: Catatan atas “Pentas Tiga Bayangan 5.0”–Teater Eska UIN Sunan Kalijaga. - 10 November 2023

