Mengalami Bantargebang : Pengalaman Residensi Festival Bantargebang 2025
Gerbang sunyi saya kembali dibuka. Sejak dihubungi direktur Festival Bantargebang 2025 untuk mengalami Bantargebang, rentetan perjalanan kemudian membawa saya masuk dalam ruang yang sunyi.
Ketika pertama kali mendengar Bantargebang, apa yang terlintas dalam pikiran adalah, bisa dan sanggupkah saya mengalami Bantargebang? Bagaimana kalau saya tidak sanggup beradaptasi dengan bau dan tumpukan sampah? Rasa-rasanya pengetahuan google tentang Bantargebang cukup membuat ragu saya hadir lebih dominan. Di balik gunung keraguan itu muncul percikan api yang terus mengganggu saya. Apa sebenarnya yang membuat Bantargebang menarik? Apa yang sebenarnya tersembunyi di balik lereng gunung megah ciptaan manusia ini? Ragam tanya terlintas dan muncul bertubi-tubi di antara keraguaan. Maka dengan kesadaran penuh saya memberi diri untuk mengalami Bantargebang.
“Barangkali, Bantargebang adalah tumpukan-tumpukan cerita dan realita kerakusan? Atau boleh juga dari sudut arah mata angin yang lain, Bantargebang adalah ruang saling silang-memberi dan menerima. Atau bagaimana jika Bantargebang adalah potret kerakusan yang membawa kita pada cerita-cerita nasi yang belum atau bahkan tidak pernah tiba di meja makan, atau cerita pakaian yang tak pernah sampai meraba dan menyatu dengan kulit tubuh? Atau pada ruang kesadaran yang lain, Bantargebang adalah ladang penghidupan?
Bantargebang, barangkali dari filosofi namanya adalah lingkaran ban yang terus berputar dengan keteduhan pohon gebang didalamnya. Yang tentu memiliki gerbang yang menghantarnya pada keajaiban-keajaiban yang menjadikan Bantargebang adalah salah satu tempat terbaik di dunia? Mari kita telusuri keajaiban-keajaiban itu.”
Kutipan diatas adalah sepenggal pendapat awal sebelum saya hadir dan mengalami Bantargebang. Maka perjalanan dan lorong waktu membawa saya menuju Bantargebang…………..
Langit sudah gelap, di tanggal 30 bulan keempat dalam tahun 2025 saya tiba di halaman Kantor Kelurahan Ciketing Udik, Kecamatan Bantargebang, Kota Bekasi, Jawa Barat. Meski gunung sampah belum diraba mata, tetapi hidung dan kulit saya sudah disapa mesra oleh aroma dan angin tempat ini. Rasanya sudah tidak sabar menanti pagi, entah ada kejutan apa di hari esok…….
Malam berganti pagi, saya memulai hari dengan berjalan di area sekitar kantor kelurahan Ciketing Udik, matahari berusaha menembus lapisan awan dan asap yang menggantung. Lalu tiba-tiba aroma yang asing, kompleks dan tajam menyergap. Sependek ini saya mengira, tempat ini adalah bukti dari jejak panjang kota yang membuang, dari manusia-manusia yang lupa dan dari sistem yang membiarkan. Dan di balik semua itu manusia bernafas, bekerja, makan dan membesarkan anak, ya di tempat ini, tempat yang disematkan sebagai tempat akhir dan tempat sisa. Kehidupan justru berlangsung dan di sinilah saya memulai mengalami tempat ini, bukan untuk mengamati dari kejauhan, tetapi untuk melihat dan menyimak dari dekat, mengalami Bantargebang.
Setelah mendapat pembekalan residensi yang juga merupakan rangkaian dari festival ini, satu per satu kesempatan untuk mengalami Bantargebang dimulai.
Nostalgia
Di suatu pagi, saya berkunjung ke rumah Bapak Cempa, ingin mendengar kisah tempat ini di waktu-waktu lalu. Saya disapa hangat dengan senyum dan segelas teh hangat manis, cocok sekali menemani pagi ini. kami duduk diteras rumah dan padangan tertuju pada gunungan sampah yang jaraknya sangat dekat dari tempat kami menikmati segelas teh manis. Lalu, bersamaan dengan teh yang diseruput, satu-satu kisah jatuh……
“Tempat ini pernah menjadi tempat dengan keunggulan pertanian yang kuat. Padi, palawija, tumbuhan hortikultura, bambu. Di masa itu, kami sering bermain dan bersukaria di sawah, bersama bapak, ibu, teman sebaya. Saat matahari tepat berdiri diatas kepala kami, saung di tengah sawah menjadi tempat ternyaman untuk berteduh sambil meramu kisah-kisah indah. Selain bermain dan mandi lumpur di sawah, sesekali kami gemar menangkap ikan keting yang bergerombol hidup di perairan kami. Jika sudah waktunya kembali ke rumah, kami akan suka duduk melingkar di bawah pohon di atas bale-bale, tentu kopi hangat yang pekat setia menemani lingkaran kami yang hangat ini. Dalam lingkaran ini, kami bercerita dan menyusun jadwal mencari durian yang sudah matang untuk kemudian kami jual ke pasar, tentu kami juga memiliki pohon durian. Menyenangkan sekali ketika sedang mencari durian yang sudah jatuh dan siap disantap, burung-burung setia menemani dengan siul dan lagu-lagunya di balik pohon bambu. Oh iya, sesuatu yang menarik yang sampai sekarang masih menjadi misteri, di balik dan di antara rumpun bambu itu, kami akan mendengar siulan dan nyanyian burung saat menjelang magrib, ah Tuhan… nikmat sekali telinga dimanjakan dengan bunyi surga.
Sampai akhirnya roda waktu menghantar kami ke tahun 1985. Tahun yang menjadi awal mula sejarah dimulai. Sejak saat itu, sawah kami satu per satu mulai ditumpuki sampah, yang entah dari mana datangnya, produksi pertanian menurun. Satu persatu teman pergi-kami mengalami perpisahan pada waktu yang benar-benar kami tidak siap. Palawija, hortikultura, durian makin berkurang dan kemudian menghilang entah ke mana, berganti tumpukan sampah yang makin hari makin menggunung, membentuk tempat kami menjadi lembah di antara lereng sampah. Setiap hari semakin banyak yang berdatangan untuk melanjutkan hidup-dari berbagi penjuru di nusantara, tempat ini kemudian secara cepat menjadi museum Nusantara.
Bukan hanya itu, kami mulai akrab dengan bau dan aroma yang begitu asing dan kompleks yang datang dari gunung ini. ISPA dan penyakit kulit sudah menjadi teman akrab kami. Gunung ini begitu ajaib, dia bisa merubah banyak hal, termasuk kebiasaan kami.”
Teh sudah habis, juga kisah indah dan tragis ini juga diakhiri dengan senyum iklas nan putih dari Bapak Cempa. Saya hanya terus menarik nafas dalam-dalam…….. ah Tuhan, maafkan kami.
Ingatan Kolektif
Di waktu yang lain, saya kemudian diajak untuk memasuki ingatan kolektif dari tempat ini. 1985 bukanlah satu-satunya rentetan waktu yang penting bagi tempat ini. Jauh sebelum itu, banyak kisah-kisah telah jatuh di tempat ini. Raden Surya Kencana juga cerita tentang Nyimas Ratu Panggelangan, atau bahkan sumur batu yang ajaib itu. Lalu kenapa kisah-kisah ini sepertinya berjarak dari tempat ini?
Pada suatu hari yang lain, saya dihantar menuju makam keramat dan bersejarah yang diapiti gunungan sampah. Sejarah baru sungguh telah merenggut banyak hal, termasuk ingatan kolektif dan kisah penuh makna ini, atau jangan-jangan kisah itu sama sekali tidak menjadi ingatan kolektif dari tempat ini? Tentu ini hanyalah praduga dari saya yang hanya tinggal sementara selama dua belas hari di tempat ini. Pemandangan itu cukup mengganggu nurani saya. Bagaimana bisa? Bagaimana bisa Raden tak dikenal oleh beberapa warga yang jarak rumahnya hanya 500 meter dari tempat istirahatnya yang terakhir? Bagaimana bisa Raden hanya populer dan dikenang oleh orang-orang di luar tempat peristirahatannya? Ah, rasanya ingin terus bertanya, tapi toh negara ini bisa melakukan apa saja atas dasar keuntungan. Kemudian saya menuju Sumur Batu, iya, tempat ajaib itu. Alkisah dari tumpukan batu, ketika Raden menancapkan tongkatnya di atas tumpukan batu itu, maka keluarlah air yang juga mengairi lahan pertanian dan memenuhi kebutuhan air warga, sampai hari ini. Ajaib bukan? Tempat ini masih cukup asri dan sejuk, airnya jernih, bahkan di waktu saya berpelesir ke sana, beberapa orang yang juga entah dari mana datangnya, sedang mandi dan melakukan ritus, karena dipercaya media air ini dapat memperlancar beberapa keinginan mereka. Di sisi yang lain warga di sekitar sumur batu ini bercerita bahkan belum pernah ke sana. Lagi-lagi ragam pertanyaan muncul dan menggelitik nurani saya. Ah…… Tuhan…………
Rahasia
Saya kemudian berpikir untuk menenangkan pikiran saya yang sudah kacau dan penuh dengan tumpukan pertanyaan ini dengan segelas kopi dan teman cerita. Waktu kemudian membawa saya menuju rumah Bang Ilung atau juga dikenal dengan nama Bang Anam. Pemuda ini memang memiliki banyak nama dan tentu saja populer di tempat ini. Benar saja, seolah paham, Bang Ilung sudah menyiapkan segelas kopi hitam pekat di rumahnya yang juga merupakan tempat ia mulai berkarya dan melawan.
Di sana, selain bersama Bang Ilung, saya ditemani dua pemuda Ciketing Udik. Heri dan Rehan. Dari prolog pembicaraan kami, mereka berdua juga giat beraktivitas bersama Bang Ilung.

Waste For Reuse adalah suatu gerakan yang secara sadar mulai digerakkan oleh Ilung untuk merespon apa yang ada di Bantargebang. Ilung tidak ingin stigma bahwa Bantargebang hanyalah cerita soal tumpukan sampah, bau dan iba. Baginya gerakan ini adalah gerak kesadaran dan perlawanan untuk membalikkan stigma yang langgeng tumbuh di masyarakat. Bersama kawan-kawannya, Ilung gemar mendatangi pemulung yang mengoleksi konveksi dari gunung sampah, kemudian selanjutnya disulap secara ajaib menjadi barang-barang unik seperti tas, rompi, topi dan sebagainya.
Sungguh menarik setelah mendengar dan melihat apa yang sudah Ilung dan beberapa kawannya mulai. Bagi saya, gerakkan ini adalah gerakan atau sebuah narasi tandingan dari sekian banyak narasi tentang Bantargebang adalah tempat akhir dan sisa. Di sudut yang lain dari beberapa bagian kisah yang jatuh, baik Ilung, Heri dan Rehan juga bernostalgia. Mereka adalah generasi terakhir yang beruntung masih bisa merasakan kehangatan bermain di sawah, menangkap ikan keting-meski tak sekompleks pengalaman Bapak Cempa. Selain mengalami peristiwa tersebut, pengalaman menarik dari generasi ini adalah, bagaimana mereka bersukaria di gunung sampah.
“Kami sering mendapat barang-barang menarik di atas gunung,” ungkap Heri. Barang-barang menarik itu seperti mainan, layang-layang (yang juga mereka layangkan di atas langit gunung sampah), bahkan tumbuhan yang tumbuh di atas gunung, seperti mentimun dan semangka, terang saja rasanya enak, begitu ungkap Heri yang kemudian dibalas anggukan Rehan sebagai tanda setuju. Bahkan pada malam tahun baru, kami akan ramai-ramai menuju puncak gunung sampah, untuk menikmati langit malam Bekasi dan Jakarta yang dihiasi kembang api-keindahan yang singkat.”
Saya yang tidak terbiasa dengan hal-hal seperti itu terheran-heran, ajaib sekali gunung ini, meski gunung sampah tapi bisa menumbuhkan tumbuhan. Masih dalam kemelut keheranan, saya semakin heran atau bahkan takjub ketika mendengar kisah yang lain dari Heri, meski mereka sering bermain di air lindi, sampai hari ini mereka baik-baik saja bahkan belum pernah mengalami gangguan kulit. Padahal kita tahu, air lindi itu cukup berbahaya karena mengandung banyak kuman yang dihasilkan dari bakteri-bakteri tumpukan sampah. Menarik lagi, bagaimana cerita-cerita mereka mengelola bau. “Kami gemar sekali membeli parfum, sebelum pergi semprot, saat tiba di tujuan semprot lagi, pokoknya semprot terus, Kak,” ungkap Heri yang sekarang sedang menempuh pendidikan akuntasi di salah satu kampus di Kota Bekasi. Kisah-kisah ini sungguh menakjubkan bagi saya, sebelum akhirnya saya masuk pada kisah-kisah yang lain……..
Setelah hampir dua belas hari mengalami Bantargebang, dari sudut arah mata angin yang lain, saya menduga dan membaca betapa relasi kuasa sungguh amat kuat di tempat ini. Saya kemudian baru menyadari kata “ladang emas, gunung emas, keuntungan, sirkulasi ekonomi” terus berulang terucap oleh kelompok-kelompok yang memang fokus pada keuntungan yang sebesar-besarnya atau angka yang sebesar-besarnya. Di sisi lain, banyak kesenjangan yang terlihat jelas oleh mata. Bagaimana kesenjangan ruangan ber-AC di kantor pengelola sampah ini, dan kondisi rumah dan gubuk-gubuk yang ada di sekitar lereng sampah ini yang jaraknya sangat dekat, harus rela menahan panas dan menerima bau yang begitu asing dan kompleks.
Beberapa kelompok selalu bicara angka, seolah-olah manusia dan kehidupan hanya sebatas angka atau diagram. Sungguh dramatis, ironi atau ini bukan menjadi apa-apa dan bahkan tidak mengganggu nurani kita? Sempat saya mengira, saya yang terlalu sok tahu atau merasa paling tahu dan sadar. Kemudian tiga pemuda tadi kembali berkisah, betapa mereka resah dengan relasi-relasi kuasa, sistem dan kerja-kerja rakus untuk pundi uang yang terjadi ditempat ini. Kemanusiaan itu selalu menjadi urutan kesekian. Keuntungan dan ekonomi selalu menjadi pemenang, urutan paling depan. Sungguh, mereka juga muak. Lalu dengan caranya sendiri mereka sudah melawan.

Maka dari pendeknya pengalaman selama dua belas hari berada disini, saya merasa bahwa setiap hari, kabar buruk selalu ada dan datang dari negara. Maka bersama kisah-kisah yang jatuh dan perlawanan tiga pemuda, saya menulis ini…………
TANAH AIRKU, AIR MATAKU
Melambai-lambai
Nyiur di pantai
Berbisik bisik, raja klana
Memuja pulau
Nan indah permai
Tanah airku Indonesia
Hidup di perut kota, dihantam sisa yang tak habis dikunyah. Mereka makan pagi dengan janji promo, siangnya lupa, malam segalanya dibuang.
Kenapa kau terus berpuisi? Ini bukan panggung sastra, ini panggung dunia nyata. Kalian ini adalah aktor drama limbah.
Siapa penonton kami?
Tikus, lalat dan langit yang pasrah.
Kalian mengais hidup dari yang dibuang, sementara yang membuang tak pernah tahu kalian ada.
Hahahahahahha……….
Dalam dongeng pengantar tidur di balik bilik seng, ditemani suara beko, ayah bercerita….. sawah, ladang, palawija, bambu dan kreasinya memenuhi rumah ini. Tiap kali pagi menyapa bumi, kicau burung menemani pagi atau saat mentari hendak pamit dan menghantar kami pada langit yang dipenuhi bintang, duduk lingkar dan segelas kopi dengan sejuta cerita adalah pelukan hangat, sebelum akhirnya mimpi memeluk kami. Tapak sejarah rumahku….
Lalu saat pagi ketika aku bangun, ketika pintu dan jendela terbuka, aku masih dengan tekun merindui kisah itu. Sesederhana ini mengenang sejarahmu yang begitu sunyi, seperti mengenang petaka yang datang beriringan dengan duka yang tak berakhir. Kawan, Jakarta sungguh tak mengenal sepi. Di indahnya rangkaian angkasa plastik.
Hendak dipertanyakan, hidup adalah selaksa roda-roda kendaraan. Sisi berganti sisi, cinta ganti jadi benci. Mana lagi karang yang hanya pura-pura menantang gelombang.
Hiduplah modern! Pakailah yang baru. Barang lama hanya untuk orang yang tak tahu dan tak mau maju. Kalian lihat gunung ini? Ini adalah emas baru, plastik adalah masa depan. Aku datang bukan untuk menghilangkan sampah, aku datang untuk mengkapitalisasi bau. Romansa lama, cukup jadi cerita indah untuk kau kenang.
Jadi.. hidup kami hanya sebatas grafik angka untukmu?
Hidupmu adalah data konsumsi. Sudahlah, kau hanya perlu patut pada sistem yang lebih kuat dari romantismemu.
Kalian sudah terbiasa hidup dengan bau,
Kalian bagian dari sistem, ekonomi sirkular. Ini adalah sebuah kemajuan.
Siapa yang menyebut ini kemajuan? Kami hidup dari sisa yang tak kami buat.
Itu resiko kawasan pinggiran.
Kami bukan pinggiran, kami adalah pusat kehancuran dari apa yang kalian buat.
Tak ada yang memaksa kalian tinggal disini. Tapi kalian juga tak bisa pergi.
Kami hirup janji, kami telan busuk.
Kami adalah anak-anak zaman yang menyala lebih panas dan bersinar lebih terang dari pada arang yang pernah menjadikan rumah itu terbakar.
Kau akan jatuh, bukan oleh kekuatan uang, tapi oleh kekuatan hati dan nyali kami.
Maka……
Kesadaran adalah asi yang diperas langsung dari puting susu nenek moyang,
Rumah ini adalah kelapangan hati yang paling putih, menerima jajahan kerakusan konsumerisme.
Kapitalisme menjanjikan kemajuan, tapi dimana letak kemanusiannya.
Kapitalisme berteriak tentang sejahtera, tapi mata kami melihat penindasan
Kapitalisme berteriak tentang emas, tapi mata kami melihat tumpukan nasi yang terbuang yang bahkan tak pernah tiba di piring dan meja makan kami.
Bila gunung sampah menjadi sumber emas bagi segelintir orang, lalu apa yang tersisa untuk mereka yang tinggal di lerengnya?
Apakah kemajuan sebuah bangsa memang harus dibangun di atas tumpukan hidup mereka yang tidak terlihat?
Maka untuk ibu, maka untuk bapak, untuk semua hati, jika ada api yang menyala lebih panas dan tidak menjadikan kau arang, itulah cinta.
Kapan-kapan kau harus mengunjungi Bantargebang; rumahku. Akan kuperkenalkan padamu Raden dan Nyai, pemandian segar asal sumber hidup; buhun dan rangkaiannya; kehangatan orang-orang rumah yang tak pernah mengutuk bau.
Setidak-tidaknya kita sudah melawan…………
Melambai-lambai
Lindi di tanah
Bersorak sora, hyang kapital
Memuja laba
Nan tak terhingga
Tanah airku, air mata.
Valeria Rahmat

