Bertemu Stanislavsky di “Pojok” TIM : Catatan dari Gelanggang Stanislavsky
Dua malam berturut-turut, Gelanggang: Stanislavsky hadir di Taman Ismail Marzuki, tepatnya di Ruang Pameran Planetarium. Pertunjukan berbasis riset ini digelar oleh Kelompok Pojok, salah satu kelompok teater yang setahun belakangan ini saya ikuti perjalanannya tipis-tipis selagi menetap di Jakarta.
Sebagai yang (masih) awam dengan dunia seni pertunjukan dan baru terpapar dengan nama-nama besar atau tokoh-tokoh bidang seni teater selama setahun belakangan, saya ingin memberi semacam catatan di awal, bahwa tulisan ini hanya merupakan satu bentuk eksplorasi lanjutan dari kacamata seorang penonton atas pementasan dan diskusi yang berlangsung setelahnya.
Beberapa waktu lalu, setelah menyaksikan pementasan kawan-kawan Kelompok Pojok, saya mencoba membaca beberapa tulisan tentang Stanislavsky dan menemukan bahwa bapak-bapak Rusia yang ambisius ini juga memiliki irisan dengan sastra; terlebih lagi karya-karya Stanislavsky sangat dipengaruhi Anton Chekhov; seorang penulis drama dan cerita pendek dari Rusia yang secara luas dianggap sebagai salah satu penulis terhebat sepanjang masa. Beberapa cerita pendek Chekhov pernah mewarnai hari-hari saya ketika mengenal sastra secara mendalam di tahun-tahun yang telah lewat.
Pada satu jurnal tentang Stanislavsky, “The System Stanislavsky dan The Method Strasberg” oleh Cerly Chairani, seorang Dosen Teater ISBI Bandung, saya menemukan hal yang menarik; Nemirovich-Danchenko mengikuti aktivitas Stanislavsky hingga pertemuan bersejarah mereka pada tahun 1897, ketika mereka menguraikan rencana untuk teater masyarakat. Itu terdiri dari para amatir paling berbakat dari masyarakat, Stanislavsky dan para siswa Philharmonic Music dan Drama School, yang disutradari oleh Nemirovich. Sebagai “Teater Seni Moskow’, teater ini menjadi arena reformasi Stanislavsky. Nemirovic bertanggung jawab atas masalah sastra dan administrasi, sementara Stanislavsky bertanggung jawab atas pementasan dan produksi.
Moscow Art Theatre dibuka pada 14 Oktober (26 Oktober, New Style), 1898, dengan penampilan Tsar Fyodor Ioannovich karya Aleksey K. Tolstoy. Namun, Stanislavsky kecewa dengan aktingnya malam itu. Dia menganggapnya hanya meniru gerak tubuh, intonasi, dan konsepsi sutradara. Untuk memproyeksikan pemikiran penting dan mempengaruhi pentonton, renungnya, harus ada karakter yang hidup di atas panggung, dan perilaku eksternal saja dari para aktor tidak cukup untuk menciptakan “dunia batin” yang unik dari seorang karakter. Untuk mencari pengetahuan tentang perilaku manusia, Stanislavsky beralih ke sains. Dia mulai bereksperimen dan mengembangkan elemen pertama yang dikenal sebagai Metode Stanislavsky. Dia beralih tajam dari pendekatan eksternal murni ke pendekatan psikologi murni. Sebuah drama dibahas di meja selama berbulan-bulan. Ia menjadi tegas dan tidak kenal kompromi dalam mendidik para aktor. Dia bersikeras pada integritas dan keaslian penampilan di atas panggung, mengulang kritiknya yang menakutkan selama berjam-jam selama latihan.
Kutipan tersebut kemudian mengingatkan saya pada upaya Kelompok Pojok yang mencoba membaca ulang Stanislavsky melalui buku “Membangun Tokoh” dan kemudian berproses selama kurang lebih tiga bulan untuk pementasan ini. Dari Sutradaranya, Abdi dan Irma saya dibagitahu beberapa hal menarik tentang project ini;

Gelanggang: Stanislavsky adalah project riset artistik selama kurang lebih tiga bulan yang dibayangkan keluarannya adalah satu bentuk pertunjukan menarik untuk disaksikan. Project ini digagas dan diinisiasi oleh Kelompok Pojok yang kemudian mengundang Irma Maulani dan Said Riyadi Abdii sebagai sutradara, juga Riyadus Shalihin sebagai dramaturg untuk berkolaborasi mewujudkannya.
Pada mulanya riset ini berpusat pada buku “Membangun Tokoh” karya Constantin Stanislavsky yang diterjemahkan bersama-sama ke dalam Bahasa Indonesia oleh B Verry Handayani, Dina Octaviani, dan Tri Wahyuni, dan disunting oleh Landung Simatupang dan Dini Andamuswari lalu diterbitkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia bekerja sama dengan Teater Garasi (2008); serta pengalaman berlatih aktor-aktor yang juga diajak berkolaborasi. Pengalaman-pengalaman tersebut mencakup penggunaan dan keterpaparan metode Stanislavsky secara sadar maupun tidak sadar dalam latihan-latihan yang pernah mereka lakukan selama ini di kelompoknya masing-masing. Dalam project ini, Kelompok Pojok melibatkan empat aktor mereka; Tamimi, Sean, Yusup, dan Leon, dan mengundang empat aktor kolaborator; Dina, Abigail, juga Abdi dan Irma (yang juga membantu mengerjakan riset dan mengarahkan pementasan ini).
Di awal proses membaca ulang bersama buku tersebut dan menggali pengetahuan serta pengalaman keterpaparan aktor pada metode Stanislavsky; para aktor, sutradara, maupun dramaturg menyadari bahwa hampir semuanya tidak memiliki pengetahuan yang memadai terkait metode Stanislavky, alih-alih secara sadar terpapar dan menggunakannya. Sejarah pengetahuan tentang metode Stanislavsky yang dialami, selalu melalui lisan-ke lisan yang kemudian bercampur aduk dengan metode-metode yang lain. Sebagian besar tidak terartikulasikan dengan baik. Temuan sementara itu kemudian menghantarkan pada pencarian-pencarian lain tentang Stanislavsky agar dapat memperkaya konteks, relevansi, dan referensi.
Sebagai produser, Kelompok Pojok pada mulanya tidak pernah membayangkan bahwa ini akan menjadi project riset berkelanjutan. Akan tetapi, di tengah proses riset berlangsung, diketahui bahwa ini adalah medan pengetahuan yang sangat luas dan beragam; dengan sejarah, konteks penerjemahan teks (Rusia-Inggris-Indonesia), pengaplikasian, pembacaan, serta metode itu sendiri yang saling berkelindan dan sebenarnya adalah satu kesatuan. Temuan ini kemudian menuntut pemetaan baru yang membagi proses riset menjadi dua tahapan; pertama, konsentrasi pada buku “Membangun Tokoh” dan pengalaman latihan para aktor sebagai material dan objek riset. Kedua, kajian-kajian akademis yang membahas tentang metode Stanislavsky.
Dari perjalanan proses tersebut, ditemukan satu kesimpulan bahwa riset artistik ini tidak cukup dimampatkan dalam satu presentasi pertunjukan apalagi dengan durasi riset yang sangat terbatas. Pemetaan riset akhirnya berkembang dan memiliki tuntutan bahwa apa yang akan dipresentasikan dan dipertunjukkan adalah tahapan atau salah satu bagian/chapter dari temuan terkait pengalaman keterpaparan dan pertemuan para aktor yang tengah berkolaborasi. Dengan begitu, riset artistik ini mempunyai tuntuan baru yaitu untuk dilanjutkan ke tahapan yang lain dengan konsentrasi riset pada kajian-kajian akademik mengenai sejarah, konteks penerjemahan teks, adaptasi, dan relevansi. Terkait keberlanjutan, hingga riset ini dipresentasikan dan dipertunjukkan, belum ada keputusan untuk membawa project ini ke tahapan berikutnya.

***
Menyaksikan Gelanggang: Stanislavsky selama dua malam berturut-turut adalah pengalaman berharga bagi saya, yang kemudian menimbulkan banyak pantikan setelahnya, khususnya tentang semesta pertunjukan itu sendiri.
Di awal pementasan, kedua sutradara mengemukakan bahwa pertunjukan ini merupakan salah satu cara mereka membaca dan mengurai—tidak secara spesifik—bagaimana Metode Stanislavsky bekerja, serta sejauh mana telah berkelindan, khususnya di arena-arena berkesenian di Jakarta. Hal ini kemudian kita temukan pada lima babak yang ditampilkan; (1) Membuka Konteks, (2) Lingkaran Berdoa/Lingkaran Biografi Aktor, (3) Pemanasan Dulu Yuk../Menuliskan dan Melisankan, (4) Mendengar, (5) Melepas Baju Aktor, (6) Rumusan Masalah, Huft. Bagi saya, pementasan ini kemudian menjadi semacam laboratorium pertunjukan yang secara khusus mendalami isi pikiran dan tindakan Stanislavsky yang hari-hari ini masih cukup relevan ketika dibenturkan pada proyeksi berkesenian itu sendiri.
Pada tataran gagasan dan wacana yang hendak dibangun, pementasan ini memberi kesan eksperimental yang kemudian menciptakan banyak kemungkinan. Namun demikian, rasanya saya perlu juga memberi komentar jujur yang lain, tentang bagaimana saya sedikit merasa bosan di tengah-tengah pertunjukan; apakah karena ritme pertunjukan yang terasa datar saja atau durasinya yang cukup panjang—di malam pertama tembus dua jam lebih. Saya sepertinya perlu memeriksa ulang sebab apa yang saya temukan pada pertunjukan di malam pertama, tidak saya temukan di malam kedua meskipun masih dalam satu judul pementasan yang sama. Situasi—yang menurut saya—sepertinya disunting cukup tergesa-gesa oleh sutradara setelah melewati sesi diskusi yang berlangsung setelah pertunjukan di malam pertama, sehingga di malam kedua, hampir sebagian besar penampilan—yang menurut saya cukup penting dan menarik, khususnya di babak kedua, ketika para aktor menceritakan bagaimana awal mula pertemuan mereka dengan teater, mengenal Stanislavsky, hingga akhirnya memutuskan terlibat di dalam project ini—dipangkas. Pemangkasan ini secara gamblang menimbulkan “gangguan” yang cukup serius sehingga saya tidak menemukan “kefasihan” yang dimiliki para aktor pada malam sebelumnya.

***
Tentang diskusi pasca pementasan yang berlangsung di malam pertama—saya tentu saja selalu menantikan dan menikmati sesi-sesi obrolan semacam ini, yang mendalam dan ulang alik sehingga menciptakan medan pengetahuan dan wawasan yang hari-hari ini begitu sulit kita temukan di ruang-ruang kelas maupun di ruang-ruang kerja formal—apalagi ruang-ruang kerja yang kepadanya disematkan image “kultural”. Sutradara, aktor, dan dramaturg dihadapkan pada beragam pertanyaan dan pernyataan. Saya kutip empat di antaranya;
(1) Rebecca Kezia: apa sebenarnya yang hendak ditawarkan oleh pementasan ini; apakah teman-teman hendak mempercakapkan/mengekalkan mitos-mitos Stanislavsky di gelanggang seni pertunjukan Jakarta atau justru memperlebar itu?
(2) Kris Aditya: bagaimana kerja riset yang dilakukan untuk pementasan ini sebab keterbatasan pada data bisa langsung diraba ketika menyaksikan pementasan ini? –yang kemudian dilanjutkan dengan saran eksplorasi riset lebih lanjut ke lembaga-lembaga terkait.
(3) Yustiansyah Lesmana: bagaimana kawan-kawan meretas metode Stanislavsky dan bernegosiasi secara nilai sehingga pementasan ini memiliki konteksnya sendiri; khususnya jika kita berbicara tentang Indonesia, tentang Jakarta? Hal lain, secara teknis, kawan-kawan perlu lebih memperhatikan komposisi, irama, serta flow pertunjukan agar lebih dinamis.
(4) Yudi Ahmad Tajudin: Tidak masalah kita keliru membaca Stanislavsky, selama kita memiliki tawaran estetika yang lain (tidak lebih tinggi/tidak lebih rendah), yang kemudian bisa menjadi sesuatu yang dipercakapkan terus-menerus dan menghadirkan pengetahuan baru yang memicu kita untuk mengeksplorasi lebih jauh.
Senada dengan yang disampaikan oleh Yudi, Riyadus Shalihin menyatakan bahwa pementasan ini juga hendak melihat bagaimana “noise” komunikasi yang beredar pada latihan-latihan dan pertunjukan-pertunjukan yang diwariskan oleh orang-orang yang berada di gelanggang-gelanggang kesenian Jakarta. Aktor-aktor menjadi modal utama untuk melihat dan mengeksplorasi secara bentuk maupun gagasan.
Pernyataan Yudi tersebut mengingatkan saya pada diskusi-diskusi panjang di Klub Buku Petra Ruteng bersama Marcelus Ungkang dalam kaitannya dengan kerja membaca dan menulis; pembaca yang baik, adalah pembaca yang melihat teks sebagai kemungkinan-kemungkinan lain atau alternatif penciptaan pengetahuan baru, yang kemudian bisa dipertanggungjawabkan, untuk selanjutnya dipercakapkan lebih mendalam dan memberi kontribusi signifikan bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Sungguh mencerahkan dan menyenangkan!
Demikian dua malam yang panjang, 2 – 3 Mei 2025, yang saya lewati di Taman Ismail Marzuki bersama Kelompok Pojok. Terkadang, di sela-sela kesempatan bertemu, menonton, berdiskusi, dan menulis seperti ini, ada hal-hal yang terlintas di kepala saya, seperti; barangkali ini merupakan jalur alternatif—jalan lain ke Roma—bagi saya pribadi dan bisa jadi bagi orang lain di luaran sana, untuk memahami kehidupan melalui kerja-kerja kesenian dan kebudayaan, kerja-kerja yang “sunyi” akan tetapi kadang kala sangat performatif, penuh canda tawa, serta keringat dan air mata. Selamat untuk Kelompok Pojok atas terlaksananya Gelanggang Stanislavsky. Jalan masih panjang, atur langkah dan nafas, mari berjumpa lagi di panggung yang lain. Salam!