August: Osage County ala Sun Community, Trauma Generasi Lewat Umpatan Sehari-Hari
Suasana pedesaan Amerika langsung terasa begitu kita memasuki Gedung Kesenian Jakarta, akhir Oktober lalu. Panas Oklahoma yang ikonik dibangun melalui lampu berwarna orange yang mendominasi, membuat panggung terasa gerah dan menekan. Alunan biola bernuansa country mengiringi pandangan penonton pada setting panggung yang dirancang sebagai rumah dua tingkat. Lantai bawahnya menghadirkan ruang keluarga dengan sofa di tengah, lengkap dengan kursi-kursi dan meja makan di sisi kiri. Sementara di lantai atas, terpampang kamar dengan kasur tempat sosok Violet, sang ibu, sering terlihat gelisah.
Dari sofa di lantai bawah tensi pertama mengalir deras. Violet, dengan wajah penuh tanya, menyergap anak keduanya, Ivy.
“Kamu udah telepon Barbara?”
“Udah.”
“Bilang apa ke dia?”
“Aku bilang Ayah hilang.”
“Itu aja?”
“Emang ada lagi?”
“Bangsat kamu, Ivy, dia bilang apa? Dia kesel? Dia seneng? Kasih tau aku dia bilang apa.”
“Dia bilang dia lagi di jalan!”
“Kamu memang nggak bisa diandelin!”
Dialog panas ini, yang menimbulkan tanya mengenai relasi komunikasi ibu dan anak yang janggal, langsung mengantarkan penonton ke dalam pusaran drama August: Osage County. Lakon ini berangkat dari naskah yang ditulis Tracy Letts tahun 2007. Sebuah naskah teater yang pertama kali dipentaskan di Steppenwolf Theatre, Chicago dan telah memenangkan Pulitzer Prize for Drama (2008) serta Tony Award for Best Play.

Malam itu, Sun Community membawakannya dalam bahasa Indonesia yang diterjemahkan oleh Raymond Y. Patty dan Aldiansyah Azura (sutradara). Kisahnya berpusat pada keluarga Weston yang dipaksa berkumpul di rumah masa kecil mereka di Oklahoma setelah sang ayah, Beverly Weston (seorang penyair tua yang pemabuk dan putus asa) menghilang. Sang ibu adalah perempuan keras yang kecanduan obat penenang. Di bawah pengaruh pil-pil itu, dia memimpin pertemuan keluarga yang segera berubah jadi pertikaian.
Apa yang awalnya dimaksudkan sebagai bentuk berkabung, berubah menjadi perang emosional antar anggota keluarga. Rahasia keluarga yang tersimpan puluhan tahun mencuat satu per satu. Di tengah kekacauan itu, Barbara, anak tertua, berusaha menjadi penengah. Namun tanpa disadari, dia justru semakin mirip dengan ibunya. Sama-sama keras, getir, dan takut kehilangan kendali. Pelan dan pasti, apa yang terasa janggal di dialog awal menjadi masuk akal. Keluarga ini memang sedang berada dalam masalah besar.
Pada pementasan Sun Community, suasana panggung yang sangat realis itu dengan cepat bertransformasi menjadi arena pertarungan, dari yang subtil hingga blak-blakan. Setiap sudutnya seakan berbicara. Meja makan di sisi kiri, yang semestinya menjadi simbol kehangatan dan kebersamaan, justru menjadi “meja hijau” di mana kebenaran dikorbankan dan kebohongan disantap layaknya hidangan. Di tengah, sofa tua yang usang menjadi jantung dari segala gejolak emosi, tempat pelukan yang tidak tulus, pertengkaran yang meledak, tangisan yang disia-siakan, dan perpisahan yang tak terelakkan.
Konflik demi konflik menghantam bagai gelombang yang tak ada habisnya, dimulai dari terungkapnya kematian Beverly. Kematian sang patriark ternyata bukan akhir dari penderitaan, melainkan percikan yang membakar lahan penuh bahan peledak. Reuni duka yang seharusnya intim dan penuh dukungan, berubah menjadi tribunal di mana setiap anggota keluarga bergiliran menjadi jaksa dan terdakwa.

Dan betapa panjang daftar dakwaannya. Sebuah rencana bunuh diri yang telah direncanakan dengan dingin oleh sang ayah. Seorang ibu yang tenggelam dalam kecanduan pil. Seorang anak sulung yang perkawinannya retak dan menuju perceraian. Seorang cucu remaja yang sudah akrab dengan ganja. Lalu, terkuaknya rahasia paling kelam mengenai hubungan gelap antara Beverly dengan adik iparnya sendiri, yang menghasilkan seorang anak. Dia adalah seorang pemuda yang dikenal keluarga ini sebagai sepupu, yang diam-diam menjalin hubungan asmara dan berencana menikah dengan anak kandung Beverly, Ivy, yang notabene adalah kakaknya sendiri. Ruwet!
Semua masalah yang pelik dan kacau balau ini meledak hampir bersamaan, menjadikan rumah itu sebuah labirin konflik di mana setiap karakter tersesat tanpa bisa menemukan jalan keluar. Pada titik inilah kemampuan berteater Sun Community -terutama aktornya- diuji. Teater realis seringkali menjadi ujian yang paling jujur dan tanpa ampun. Penonton mana pun, bahkan yang awam, dapat langsung merasakan bila sebuah adegan tak terasa hidup atau dialognya tak menyentuh nalar. Apalagi untuk naskah penuh nuansa emosi kompleks seperti karya Tracy Letts ini.
Sialnya (ah, kenapa saya harus pakai kata “sialnya”), saya nyaris tidak menemukan celah kekurangan akting para aktor. Durasi yang mencapai dua jam lebih beberapa menit tidak terasa sebagai sebuah beban. Hal ini rasanya bisa terjadi berkat alur konflik yang berlapis, selipan humor yang segar di tengah tensi, serta akting yang solid dan believing. Ritme pemeranan yang disiplin dan merata di seluruh ensemble membuat setiap percakapan terasa membawa arus bawah emosional yang dalam.
Hanya ada satu catatan kecil yang mengganjal di tengah keparipurnaan. Pertunjukan ini, meski unggul dalam membangun ketegangan dan memancing tawa, terasa sedikit kurang menggali kedalaman emosi haru dan kesedihan. Beberapa momen yang seharusnya haru, seperti saat sheriff datang mengabarkan penemuan jenazah Beverly, justru hadir dengan reaksi yang terasa datar. Ekspresi shock dan kebingungan yang diharapkan seakan menguap, mungkin sengaja dibawa dengan nuansa gengsi karakter, namun hasilnya justru sedikit mengurangi keyakinan pada gravitasi momen tersebut.
Namun, kekurangan kecil ini segera terlupakan saat Violet menyalakan musik dan mulai berdansa sendirian, menyambut “kembalinya” sang suami. Adegan yang ironis ini justru menjadi momen paling menyentuh sepanjang pertunjukan. Di sinilah esensi dari ironi kehilangan dan kesedihan yang tertahan berhasil ditangkap. Mengingatkan kita bahwa pada akhirnya, di tengah semua kekacauan, ada kehancuran yang terlalu dalam untuk sekadar ditangisi.

Bahasa Jalanan Jakarta untuk Keluarga Weston
Dari sekian banyak lapisan konflik dalam naskah asli August: Osage County, Sun Community tampaknya dengan sengaja mempertajam dua tema utama: trauma generasi dan jejak kolonialisme. Trauma generasi terlihat nyata dalam pola asuh Violet yang abusive terhadap anak-anaknya, sebuah warisan luka yang diturunkan dari generasi sebelumnya. Sementara itu, tema kolonialisme dihadirkan melalui kehadiran Johnna, pembantu asli Amerika (suku Indian) yang pasif namun selalu hadir di momen-momen kritis.
Oklahoma, sebagai latar cerita, adalah bukti sejarah di mana pendatang tak hanya mengeksploitasi, tetapi menggantikan penduduk asli. Rasisme Violet terhadap Johnna tak disembunyikan dan diekspresikan lewat dialog-dialog penuh cibiran. Namun adegan terakhir di pertunjukan ini justru menjadi pukulan paling halus sekaligus paling dalam. Ketika Violet ditinggalkan seluruh keluarganya, dia menangis dalam pelukan Johnna.
Di ruang yang sunyi itu, tersisa dua perempuan dari ras dan kelas sosial berbeda. Satu kehilangan keluarga, satu kehilangan tanah leluhur. Di antara mereka, tumbuh sesuatu yang lebih murni dari ikatan darah. Pelukan Johnna menjadi satu-satunya hal yang masih tersisa dari kemanusiaan di rumah yang hancur itu.
Keputusan untuk memilih fokus pada hal-hal inilah yang tampaknya yang menjadi alasan sutradara Aldiansyah Azura memotong beberapa bagian dari naskah aslinya. Meski begitu, secara garis besar pertunjukan ini tetap bersetia pada isi naskah Tracy Letts. Sun Community menerjemahkannya tanpa mengadaptasi. Nama dan lokasi peristiwa tetap sama, bahkan gaya dialognya tetap dipertahankan.
Dialog dalam naskah asli Tracy Letts menggunakan bahasa keseharian (colloquial language) khas pedesaan Oklahoma yang kental dengan ungkapan slang, kontraksi, umpatan, dan frasa kasual. Dalam pertunjukan Sun Community, dialog-dialog ini diterjemahkan ke bahasa sehari-hari kaum urban Indonesia yang juga memiliki kosa kata spontan yang cukup sarkas, vulgar dan offensif. Pilihan untuk bersetia pada gaya bahasa ini cukup jitu. Di naskah aslinya, dialog itu memang bukan sekadar “kasar” tapi merupakan senjata emosional yang digunakan keluarga Weston untuk saling melukai. Sebuah elemen penting dalam inti cerita naskah ini.
Bandingkan dengan naskah teater terjemahan masa lalu yang cenderung kaku dan berjarak. Bahasa Indonesia yang digunakan cenderung baku sehingga saat dipentaskan terasa berjarak dengan realitas. Ucapan yang keluar dari mulut aktor adalah kalimat-kalimat yang mustahil akan kita dengar dalam percakapan sehari-hari. Dampak lainnya, kalimat-kalimat itu terasa datang dari teks yang dihafalkan ketika diucapkan para aktor yang memainkannya.

Dalam pertunjukan ini, kedekatan dengan realitas bahasa sehari-hari lah yang menghidupkan panggung. Kita seperti menyaksikan langsung sebuah keluarga berantakan, tanpa sekat. Kemiripan dengan percakapan nyata ini memungkinkan kata-kata mengalir natural, selaras dengan gestur dan ekspresi para aktor. Mereka tak sekadar menghafal dialog, melainkan menghidupkan bahasa yang akrab di lingkungan mereka sendiri. Penonton pun larut, tidak merasa sedang menyaksikan realitas asing yang direkayasa.
Ketika Violet melontarkan sinisme dan kata-kata kasar kepada keluarganya, kekasaran itu terasa dekat, bukan sesuatu yang terjadi di belahan dunia lain. Begitu pula saat Barbara, yang masih berusaha menerima kenyataan perceraiannya karena dikhianati suami yang selingkuh dengan wanita lebih muda, melontarkan makian vulgar seperti “memek” atau “ngentot” tanpa rasa canggung. Pilihan kata-kata ini justru terasa lebih jujur dan manusiawi dibandingkan jika menggunakan versi yang disensor.

Kesesuaian ini bukan rekayasa sutradara/penerjemah semata. Dalam naskah aslinya, Tracy Letts pun dengan sengaja memilih kata “pussy” alih-alih “vagina”. Sebuah keputusan artistik yang memahami bahwa dalam kehidupan nyata, kata-kata kasar seringkali menjadi pelarian saat emosi memuncak. Dengan tetap mempertahankan intensitas bahasa tersebut dalam terjemahan Indonesia, Sun Community berhasil menangkap esensi pertikaian keluarga Weston. Kata-kata bukan hanya bisa menjadi alat komunikasi, melainkan senjata yang melukai, ekspresi perlindungan bagi yang lemah, dan cermin keterpurukan yang paling jujur.
Menurut saya kekonsistenan dalam gaya penerjemahan inilah yang akhirnya memuluskan penyampaian konflik-konflik besar dalam naskah, dari trauma generasi hingga bias rasial, tanpa terasa dipaksakan. Bahasa yang hidup tidak hanya mendekatkan penonton pada cerita, tetapi lebih jauh lagi, membuka pintu bagi kita untuk merasakan kompleksitas hubungan keluarga yang universal, melampaui batas-batas budaya dan geografis.
Sudah baca yang ini?:
Seni Menegosiasikan Ruang : Catatan dari Kaba Festival 4
Oh, Ternyata Pantomim Bisa Digituin, ya? | Catatan atas Pertunjukan Opinion #2 — Andy SW di Ta...
Medium dan Memori Tubuh Penari : Catatan atas “Tubuh-Tubuh Setempat” karya Melynda Adria...
Tubuh yang Membaca Sejarah: Pembacaan Reflektif atas “Unjuk Ara” sebagai Aksi Koreografi...
Ibu Pertiwi, dan Anak-Anak yang Mencintainya
MAWAYANG 2023 : Mbeber Wayang Beber
- August: Osage County ala Sun Community, Trauma Generasi Lewat Umpatan Sehari-Hari - 15 November 2025
- Masyarakat Teater Makan Bersama Garuda dan Alegori Negara Sebagai Keluarga - 27 Oktober 2025
- Perburuan Pramoedya dengan Piranti Brecht - 5 September 2025

