Mimbar Moral di Pertunjukan “Tengul” Teater Tiga Koma
Secara garis besar, pertunjukan ini berupaya menyoroti sepasang suami istri— Korep dan Turah, yang terjebak dalam ilusi kekayaan dan takdir keberuntungan. Di atas selebaran kertas yang dibagikan kepada para penonton, kisah tersebut menjanjikan dunia yang absurd. Dunia yang mempertemukan kemiskinan, keserakahan dan pencarian terhadap makna hidup di tengah warisan modern. Melalui selebaran itu, aku seakan ditarik kembali pada tradisi teater absurdis yang dibawa oleh Ionesco dan Beckett.

Tradisi teater absurdis lahir dari pengalaman manusia modern pasca-perang, ketika keyakinan terhadap rasionalitas, agama, dan sistem sosial runtuh. Dalam karya-karya seperti Waiting for Godot karya Beckett atau The Bald Soprano karya Ionesco, absurditas tidak dihadirkan sebagai tema semata, melainkan sebagai bentuk hidup: pengulangan tanpa tujuan, dialog yang kehilangan makna, dan karakter yang terjebak dalam rutinitas tanpa arah. Dari situ, absurditas menjadi cara untuk menyingkap kehampaan eksistensi manusia—bagaimana seseorang mencari makna dalam dunia yang tak lagi memberikannya.
Tragedinya terletak pada perjalanan Korep (suami) yang berupaya mempertahankan idealismenya untuk tetap sederhana, meski rumah tangganya sedang digerogoti kemiskinan. Sementara Turah (istri) justru sangat haus akan kekayaan dan kemewahan. Ketegangan di antara keduanya, perlahan menjadi racun yang menggerogoti keluarga kecil tersebut. Sehingga Korep justru menumbalkan idealismenya dengan menyerahkan dirinya di hadapan “Batu Hitam”.
“Batu Hitam” di sini jadi menarik. Ia bisa dibaca sebagai “kuasa gelap” yang sebetulnya menaruh metafora terhadap sistem kapitalisme dewasa ini. Sehingga membawa konsensus masyarakat terhadap standar hidup manusia modern yang gandrung terhadap uang. Namun juga bisa dibaca sebagai “fatalisme religius” yang representasinya berangkat dari nafsu dan hilangnya batasan moral dalam diri manusia.
Pertanyaan “Apakah masih ada keselamatan bagi manusia yang menjadikan uang sebagai tuhan?”, bisa dilihat sebagai kritik sosial sekaligus renungan. Di satu sisi, kita latah menuhankan uang, namun disisi lain sistem ekonomi dominan membuat kita rela menjual cinta dan jiwa. Sehingga pertanyaan tersebut menegaskan suatu ledakan aktual, bahwa kita tidak hanya mempertaruhkan kemiskinan, melainkan jiwa kemanusiaan itu sendiri.

Dari Ambiguitas ke Kepastian Moral
Namun di atas panggung, absurditas yang dijanjikan justru bergeser menjadi ceramah moral. Ketegangan antara realitas dan ilusi yang seharusnya menjadi medan eksplorasi estetis malah dibingkai jadi didaktik. Para aktor tampak begitu patuh pada pesan naskah, seolah yang utama adalah menyampaikan “makna” secara benar, bukan menghadirkan pengalaman yang mengguncang. Akibatnya, yang muncul bukan absurditas yang menggugat kesadaran, melainkan drama yang memberi tahu penonton apa yang harus dipikirkan. Dalam situasi ini, panggung kehilangan kekacauan yang seharusnya menjadi denyut dari absurditas itu sendiri.
Gejala tersebut sangat khas dialami oleh para aktor yang telah kesurupan teks—bukan dalam arti spiritual, melainkan ideologis. Mereka menjadi corong bagi kebenaran yang sudah ditentukan oleh naskah, bukan subjek yang bernegosiasi dengan teks melalui tubuh, ruang, dan imajinasi. Tubuh aktor tidak lagi menjadi sumber makna, melainkan sekadar wadah bagi kata-kata yang penuh pesan moral. Padahal kekuatan teater justru terletak pada ketegangan antara yang terucap dan yang tak terucap, antara teks dan gesture, antara kata dan keheningan. Ketika tubuh berhenti melawan kata, teater kehilangan kemungkinan subversifnya.
Medium teater, yang seharusnya menawarkan keragaman material estetik—gerak, cahaya, bunyi, ritme, bahkan diam—menjadi kering karena semua energi artistik dikerahkan untuk menegaskan isi dialog. Alih-alih membiarkan simbol dan tubuh bekerja secara otonom, seluruh makna dipadatkan dalam satu jalur komunikasi tunggal: narasi verbal. Inilah bentuk estetika yang memuja kejelasan, tapi justru menghapus daya tafsir. Dalam kondisi semacam itu, teater berhenti menjadi ruang pengalaman, dan berubah menjadi ruang penjelasan. Ia tidak lagi menggetarkan penonton, melainkan mengajari mereka apa yang harus mereka rasakan.

Runtuhnya Ruang Tafsir
Ketika pertunjukan berubah menjadi mimbar moral, kompleksitas yang coba ditawarkan oleh selebaran kertas, justru disederhanakan menjadi “pelajaran etis”. Alih-alih melihat kompleksitas psikis Korep dan Turah, penonton justru dialihkan melihat sinetron televisi: dosa-hukuman-penyesalan-moral. Padahal teks drama dapat menawarkan peluang bagi ambiguitas performatif. Sehingga moralitas sekedar perlu dihadirkan sebagai simptom dalam tubuh para tokoh, bukan sebagai ajaran.
Khawatirnya, pertunjukan ini berpotensi terjebak dalam dilema klasik seni pertunjukan di Indonesia. Ia hendak menggugat kapitalisme dan degradasi moral, tetapi justru menggunakan kembali narasi moral negara dan sistem dominan. Kritik terhadap keserakahan manusia seolah diucapkan dari menara pengawasan moral yang sama dengan yang dulu dibangun negara—di mana kemiskinan dipahami sebagai konsekuensi etis, bukan struktural.
Alih-alih menyingkap bagaimana sistem ekonomi menundukkan manusia hingga rela menukar cinta dengan uang, pertunjukan ini mengalihkan persoalan itu menjadi dosa pribadi. Dalam kerangka seperti ini, pertunjukan ini kehilangan potensi politisnya karena mengulang logika lama: bahwa keselamatan sosial dapat dicapai dengan perbaikan akhlak individu, bukan dengan mengguncang struktur kekuasaan yang menindas.
Ia hendak menolak “ajaran palsu” terhadap kekayaan, tetapi justru memberi “ajaran baru” dengan nada yang tak kalah absolut. Nada moral yang kaku membuat pertunjukan kehilangan ambiguitas dan jarak kritis. Ia tidak lagi menantang ideologi, melainkan meneguhkannya dalam bentuk baru yang lebih halus. Dalam konteks ini, moralitas bukan lagi alat pembebasan, melainkan bentuk penjinakan baru: mengubah kritik menjadi khotbah, dan keresahan menjadi kepastian. Dengan begitu, panggung teater yang seharusnya menjadi ruang pertanyaan justru kembali berfungsi sebagai ruang pengajaran—mengulangi pola didaktik khas Orde Baru yang menukar refleksi dengan disiplin, dan menggantikan kebebasan berpikir dengan kesalehan sosial yang lebih tampak aman.
Nb: Pertunjukan di atas dihelat oleh Teater Tiga Koma Universitas muria Kudus, sehubungan dengan Pentas Produksi Ke-20 yang mengadaptasikan lakon Tengul karya Arifin C. Noer, pada 31 Oktober 2025 lalu di Gelanggang UIN Suka Kalijaga Yogyakarta. Selanjutnya, pertunjukan tersebut akan dihelat kembali di Auditorium Universitas Muria Kudus pada 15 November 2025.

