Menyaksikan Dilema Para “Orang Benar” melalui Les Justes
Bayangkan Moskow di tahun 1905: udara dingin yang menusuk tulang, jalanan berderit di bawah langkah kaki yang gelisah, dan ketegangan revolusi yang menggantung seperti kabut tebal. Suasana itulah yang dihidupkan kembali di panggung Teater Salihara, Jakarta, melalui pementasan Les Justes (Orang-Orang Benar) karya Albert Camus oleh Teater Petra, 21-22 Juni lalu. Dengan set yang minimalis —sebuah ruang rahasia yang hanya berisi meja kayu usang, papan tulis penuh coretan, dan jendela-jendela yang seolah menyimpan rahasia—panggung ini menciptakan ilusi sempurna tentang sarang konspirasi.

Bayangan dramatis dari lampu sorot yang redup memperkuat aura paranoia, seakan dinding-dinding itu ikut berbisik tentang pengkhianatan. Kostum para aktor, sederhana dengan jaket usang dan syal tebal melilit leher, mencerminkan kesederhanaan revolusioner yang keras dan tanpa kompromi. Musik latar, meski hadir secara sporadis, menyelipkan ketegangan di momen-momen krusial, walaupun kadang terasa terlalu subtil untuk benar-benar mengguncang emosi penonton.
Di ruang pengap itu, kita bertemu Dora dan Annenkov, dua anggota Partai Sosialis Revolusioner, yang menanti dengan napas tertahan. Lalu, bel berbunyi dengan kode khusus—tanda yang dinanti. Pintu terbuka, dan masuklah Stepan, sesama anggota yang baru lolos dari cengkeraman penjara Tsar, terlepas dari ancaman tiang gantungan. Begitu ia melangkah masuk, udara berubah. Ada sesuatu yang gelap dan membara dalam dirinya. “Beritahu, apa peran saya dalam aksi ini!” serunya tegas kepada Annenkov, sang pemimpin, setelah pelukan singkat yang lebih mirip formalitas ketimbang kehangatan. Semangatnya menyala-nyala, namun di balik itu terdeteksi luka mendalam, kebencian yang menggerogoti.
Ketegangan makin memuncak dengan kedatangan Yanek Kaliayev dan Voinov. Pertemuan para pejuang revolusi ini seharusnya menjadi momen persaudaraan, tetapi malah diselimuti kecurigaan yang pekat. Stepan, dengan bekas luka pahit dari penjara, menjadi sumber gesekan. Dengan nada halus namun tajam, ia mempertanyakan motivasi setiap orang di ruangan itu, terutama rencana besar yang mereka susun: aksi terorisme untuk membunuh Grand Duke Sergei Romanov, paman Tsar Nikolas II, dengan melempar bom ke keretanya.
Puncak ketegangan tersulut saat Stepan menyoroti Yanek, sang penyair yang ditunjuk sebagai pelempar bom pertama. Bagi Stepan—yang fanatismenya ditempa tiga tahun penderitaan di penjara Tsar—Yanek terlalu eksentrik, terlalu idealis, terlalu manusiawi. “Apakah dia akan tega?” bisik keraguannya, nyaring dan menusuk. Penyiksaan fisik dan psikis telah mengubah Stepan menjadi mesin kebencian; revolusi baginya adalah tujuan suci yang menuntut segalanya, tanpa ruang untuk empati atau keraguan.
Berbeda jauh dengan Yanek, yang justru bergulat dengan dilema kemanusiaan, atau Dora, yang hatinya terbelah antara semangat perjuangan dan kengerian akan konsekuensinya. Sikap Stepan yang dingin dan tak kenal ampun menjadi cermin gelap di tengah kelompok itu—kontras yang memilukan sekaligus menakutkan.

Inilah inti Les Justes: sekelompok teroris idealis yang terjebak dalam pertanyaan abadi tentang keadilan, kekerasan, dan moralitas. Melalui karakter-karakter kompleks seperti Yanek sang penyair pelempar bom pertama, Voinov yang pengalaman hidupnya masih hijau, Stepan yang fanatik dan penuh luka, serta Dora yang penuh perasaan, Camus mempertanyakan harga sebuah keadilan, batas-batas kekerasan, dan beban moral yang harus dipikul demi sebuah idealisme.
Hari-H tiba, dan ruang rahasia itu menjadi pusat kecemasan yang membara. Annenkov dan Dora menanti ledakan yang akan mengubah sejarah, telinga mereka menangkap setiap desir angin, mata mereka terkunci pada jendela yang memantulkan kehidupan biasa di luar—ironi pahit sebelum malapetaka. Deru kereta kuda sang Grand Duke mendekat, napas tertahan… lalu sunyi. Tidak ada ledakan. “Di mana Yanek? Tidak ada bom yang meledak!” gerutu Annenkov, gusar.
Pintu terbuka keras. Voinov masuk dengan wajah pucat, terengah-engah. “Saya menunggu ledakan pertama… tapi tak pernah ada!” katanya, menyerahkan bom kedua yang tak terpakai. Stepan menyusul, wajahnya dingin dan penuh kepastian buruk. “Yanek tidak melempar,” sergahnya. “Dia melihat dua anak kecil di kereta. ‘Tidak tega’.” Kata “tidak tega” itu ia ucapkan dengan nada menghina, seolah itu penyakit yang najis.
Kemudian Yanek muncul, bukan sebagai pahlawan revolusi, melainkan manusia yang remuk. Ia tersungkur di depan Annenkov, tubuhnya diguncang tangis. “Saya melihat mereka… dua bocah kecil itu!” rintihnya. “Tangan ini membeku! Tak sanggup melemparkan kematian!” Bom itu masih di tangannya, simbol beban moral yang menghancurkan.
Kegagalan Yanek bukan sekadar blunder taktis—itu adalah gempa bumi moral yang mengguncang keyakinan kelompok. Stepan menyerang seperti serigala lapar. “Pengecut! Pengkhianat cita-cita revolusi!” tuduhnya. Baginya, nyawa dua “anak tirani” tak ada artinya dibanding ribuan bocah yang kelaparan di bawah tirani Tsar. Revolusi adalah kalkulasi dingin, dan empati hanyalah racun. Fanatismenya, yang terpahat oleh siksaan penjara, memandang dunia dalam hitam-putih: maju atau mati. Bagi Stepan, revolusi adalah dewa yang haus korban. Ini semata soal kalkulasi, statistik demi kebaikan yang lebih besar.
Namun Yanek, sang penyair pembawa bom pertama, mewakili pergulatan yang lebih dalam. Bisakah pembunuhan—terutama terhadap anak-anak tak bersalah—dibenarkan, meski demi keadilan? Bom itu bukan lagi senjata, melainkan beban yang tak tertahankan. Dora, dengan kepekaannya, terombang-ambing di tengah badai ini, sementara Annenkov mencoba menawarkan kompromi rapuh: menunda rencana, menunggu saat sang Duke sendirian. Keputusan ini mengakui bahwa ada garis yang bahkan tak boleh dilewati, sekalipun atas nama revolusi.
Camus, melalui adegan-adegan penuh ketegangan batin ini, menolak jawaban mudah. Ia mempertentangkan radikalisme Stepan yang kejam namun konsisten, keraguan Yanek yang manusiawi namun melumpuhkan, dan keprihatinan Dora yang mencari keadilan tanpa kehilangan nurani. Pertanyaan-pertanyaan seperti “Di mana batas perjuangan yang sah?” dan “Apakah tujuan mulia menghalalkan segala cara?” menggema, relevan hingga hari ini.
Kelihaian naskah drama Camus terasa kuat. Ia mempertentangkan keyakinan radikal Stepan yang kejam namun konsisten, dengan keraguan Yanek yang manusiawi namun berpotensi melumpuhkan, serta keprihatinan Dora yang mencari keadilan tanpa kehilangan jiwa kemanusiaan. Annenkov terperangkap di antaranya, mencoba menyeimbangkan sesuatu yang tak mungkin seimbang.

Ketika Dialog Menjadi Tembok
Pementasan Teater Petra malam itu menghadirkan ketegangan moral yang memuncak dan pementasan yang nyaris sempurna. Sayangnya, satu elemen terasa mengganjal: dialog yang kaku dan kurang hidup. Kekakuan ini bagai membentangkan tembok antara penonton dan emosi karakter. Padahal, kekuatan naratif naskah realis yang ditawarkan sangat mengandalkan dialog—bukan sekadar banyak, melainkan menjadi tulang punggung pementasan itu sendiri.
Saat, misalnya, Yanek berteriak “Tangan ini membeku!”, suaranya gemetar tapi ritmenya tetap terjaga. Setiap suku kata diucapkan dengan artikulasi sempurna, seolah ia bukan revolusioner yang hancur, melainkan penyair yang membacakan soneta di panggung sastra. Kekakuan ini mengeringkan darah dari drama yang seharusnya mendidih. Padahal, di naskah Camus, keraguan Yanek adalah jeritan spontan manusia yang tersedak moral—bukan monolog yang dipoles.
Dora pun tak luput. Saat ia berbisik pada Yanek “Kau terlalu manusiawi untuk revolusi ini,” kalimat indah itu justru terperangkap dalam intonasi datar bagai orasi politik. Padahal, ini momen intim: dua kekasih yang terbelah antara cinta dan bom. Ekspresi wajah aktrisnya halus dan menyentuh, tapi kata-katanya yang “terlalu jelas” dan “berirama” membuatnya terdengar seperti duta ideologi, bukan perempuan yang remuk. Kontrasnya nyata dengan Stepan: gaya deklamatorinya cocok untuk fanatisme dogmatisnya, tapi ketika seluruh karakter berbicara dengan nada seragam, bagaimana penonton merasakan pertarungan antara kemanusiaan dan radikalisme?
Camus menulis setiap karakter dengan “warna suara” berbeda: Yanek si penyair pemberontak, Dora si suara nurani, Stepan si mesin revolusi. Tapi di panggung Salihara malam itu, semua suara diseragamkan oleh satu gaya: deklamasi teaterikal yang kaku. Akibatnya, kontras karakter menguap. Saat Stepan bercerita tentang siksaan penjara, narasi tragis itu seharusnya menyisakan celah kerapuhan—tapi nada oratoris yang konstan mengubahnya jadi manifesto. Sementara Voinov, si pemuda ragu, kehilangan gemetar ketakutan karena dialognya datar bagai laporan militer.
Kekakuan ini mungkin bukan terjadi tanpa alasan. Pertama, terjemahan. Bahasa Camus yang puitis dan filosofis sering terjebak dalam formalitas saat dialihbahasakan—kata-kata jadi berat, seakan tak boleh diucapkan dengan ceplas-ceplos. Kedua, pilihan sutradara. Teater Petra sepertinya memilih stilasi teatrikal: dialog ditinggikan jadi “ritual kata” untuk menegaskan bobot filosofis naskah. Sayangnya, ketika diterapkan ke semua karakter, pendekatan ini justru memenjarakan emosi. Ketiga, konteks panggung Indonesia. Mungkin ini bagian dari upaya untuk membuat tema revolusi Rusia 1905 lebih “terbaca” untuk penonton Jakarta—dengan gaya orasi yang mirip pidato politik lokal.

Meski kata-kata terkadang membatu, bahasa tubuh para pemain menyelamatkan banyak adegan. Saat Yanek menjatuhkan diri ke lantai, seluruh tubuhnya bergetar bak daun kering—lebih jujur daripada ucapannya yang terlatih. Tatapan Dora yang pilu pada Yanek bercerita lebih banyak tentang cinta yang terancam bom daripada kalimat-kalimatnya yang kaku. Tata panggung minimalis dan cahaya dramatis yang menyorot bayangan juga menghidupkan ketegangan yang tak sepenuhnya tertangkap lewat dialog.
Maka, pementasan Les Justes oleh Teater Petra kemudian muncul bagaikan pertarungan antara dua kekuatan: kedalaman ide Camus yang menggugah versus risiko ketika kata-kata dikorbankan demi gaya. Boleh jadi pilihan stilasi ini sengaja dibuat untuk menciptakan jarak—seperti melihat drama sejarah melalui kaca museum. Tapi di situlah dilemanya: Camus justru menulis karakter-karakternya bukan sebagai patung ideologi, melainkan manusia yang berdarah-darah. Ketika Yanek gagal melempar bom karena dua anak kecil, atau ketika Dora menggenggam tangan Yanek sambil membisikkan keraguan, momen-momen itu membutuhkan kefasihan emosi, bukan kesempurnaan artikulasi.
Mungkin lain kali, di pementasan selanjutnya, Teater Petra bisa bereksperimen dengan melepas “keteraturan” kata-kata—membiarkan suara pecah, gemetar tak teratur, atau dialog yang tercekat—sebab dalam revolusi maupun teater, kekacauan seringkali lebih manusiawi daripada kesempurnaan. Bagaimanapun, di akhir hari, pertunjukan ini tetap penting: ia memaksa kita merenung ulang soal harga sebuah keadilan, sekaligus mengingatkan bahwa di panggung teater—seperti dalam revolusi—gagasan besar hanya hidup ketika diucapkan oleh manusia yang bernafas, bukan sekadar berdeklamasi.
Sudah baca yang ini?:
Tubuh Pala dan Luka yang Mirah Punya : Ulasan “Karma Puan Karna Pala” – Secret Inv...
Catatan Seorang Penonton "Sulamin Bibir Saya Dong"
Menonton Senyap: Mewarisi Tubuh Pantomim Marcel Marceau — Catatan untuk “Urun Tumurun...
Apakah Penari Bahagia? : Catatan untuk Paradance ke-27
SEEKING W, Jalan Bersama untuk Menyatakan ADA
Diary Monsoon Ayu Permata Sari
- Menyaksikan Dilema Para “Orang Benar” melalui Les Justes - 25 Juni 2025
- Bertiga Tapi Berempat : Politik, Ranjang, & Teater yang Tak Selesai - 14 Mei 2025
- Trem Bernama Desire, Laki-laki itu Memang Seperti Babi - 7 Februari 2025