Mengalami “KAMU SUDAH BULLETPROOF BELUM?”
Di akhir bulan agustus, ada semacam ledakan massa yang mendorong masyarakat berkumpul, menyerukan pendapat dan juga menuntut keadilan atas nama solidaritas, dan juga sebagai bagian dari masyarakat sipil yang saling mendukung dan mempertahankan diri masing-masing, atas kekejaman negara yang tak henti. Di hari ketiga Festival MINIKITA Inkubasi Teater Yogyakarta yang diadakan di Sakatoya Collective Space, kelompok kolektif dsb performanced hadir membawakan sebuah gagasan, ide, dan juga bentuk solidaritasnya pada masyarakat dengan menanyakan pada kita semua sebagai warga, masyarakat sipil dan juga (mungkin) korban kekerasan pemerintah (nantinya), “Kamu sudah bulletproof belum?”

Mengalami pertunjukan ini, menjadi bagian antara penonton dan juga panggung, memasuki panggung, tidak ada batas dan juga dinding antara keduanya. Hadir sebagai bagian yang tak terpisahkan keduanya menjadi setara dn seimbang, memperhatikan keterlibatan penonton di sana.
Aktor ada dua. Seorang laki-laki dan perempuan. Seorang seperti arah kompas yang membawa bagaimana cerita ini berjalan sampai kepada apa dengan cara menjelaskan, mengajak berbicara penonton sedang seorang yang lain memasak, menggoreng telur.
Selama adegan berlangsung, cahaya biru menjadi dominan di sana. Mengambil alih ruang, menciptakan imaji dan membangkitkan ingatan yang lain. Aku merasakan semacam memasuki hal-hal liyan memberikan nuansa kedinginan atas kekejian yang tak pernah henti, dari institusi yang harusnya mengayomi. Sejak semula pertunjukan ini menyajiikan makan malam dengan informasi-informasi atas kejahatan, kebiadaban dn kebengisan pemerintah melalui tentara atau polisi. Informasi-informasi ini dihadirkan dengan transparan dan telanjang. Bahwa kita harus mengingat dan menyadari kebengisan para pelaku dengan dalil menjaga keamanan kita semua.
Adegan berlangsung sengit atas lontaran-lontaran pertanyaan yang dilemparkan oleh aktor. aktor bertanya, “ada yang tau harga rompi anti peluru?”
“takut mati di tembak atau ketembak.”
Respon penonton jadi penting dalam dialog yang dihadirkan di atas panggung.
Ada yang menjawab, “bunuh saja.” yang lain “Yah tergantung, siapa yang dibunuh dan kenapa dibunuh. Maka balasannya mengikuti.”
Aktor melemparkan pertanyaan reflektif dan krusial, menyadarkan dan mengukur seberapa besar penonton yang juga adalah warga negara melihat kehadiran polisi dan aparatur negara dalam menyelesaikan hal-hal yang terjadi di ruang publik.
“Apa respon kalian ketika melihat seseorang ditembak mati dihadapan kalian.”
“teriak.”
Aktor bertanya lagi. “respon berikutnya, apakah mau dan akan menelpon polisi”
Dan penonton mayoritas menjawab. “tidak, tidak akan.”

“TIDAK ada yang mau menelpon polisi.”
Begitulah kinerja polisi dan aparatur negara dalam kacamata masyarakat sipil. Mereka sibuk menjilat yang berkuasa, sibuk mengisi perut-perut mereka dengan lebih banyak makan isian dan daging majikannya, menelannya dan membiarkan masyarakat tidak percaya, tidak peduli dan mereka tidak terusik sama sekali. Jika itu mengganggumu, hati-hati saja bisa jadi setelah ini kita dilindas mobil polisi. Kejahatan dan toxic masculinity yang lembaga ini yakini, membuat dan menciptakan suatu ideal yang mapan yang dipertahankan bertahun-tahun. Bahwa dengan melakukan kekerasan maka sesuatu yang bernama masyarakat sipil ini dapat mereka kontrol, mereka alihkan, dan buah kejantanan yang mereka agungkan hadir di sana.
Aku agak penasaran, melihat aktor perempuan yang asyik menggoreng telur. Ia membolak-balik telor kadang sampe gosong. Bau telor goreng menyeruak sana-sini, membuat kelaparan dan agak tidak fokus. Membayangkan telur goreng segar yang bisa kita makan setelah pentas. Ia hanya asyik menggoreng telur, tanpa sepatah kata pun, tanpa sepatah kata pun. Ia hanya menggoreng telur. Aku menerka-nerka, apakah ini juga salah satu perwujudan bagaimana masyarakat melihat dan mendorong kerja perempuan untuk selalu berada di ruang domestik ketika sedang terjadi sebuah pergolakan di dekatnya. Ia seperti tidak peduli, ia seperti tidak ingin terlibat, tapi terus menggoreng telur-telur itu sampai gosong, mengipasi apinya yang mati. Dan terus menggoreng telur-telur itu. Baru ketika pergolakan mulai memanas ia bangun dari tungku apinya, berdiri dan menarik sebuah tirai, menyatakan perlawanannya sebagai perempuan, sebagai manusia. Dari tungku apinya ia juga membakar sebuah manekin, penanda kemarahannya atas negara, atas aparat yang keparat, dan ia seorang perempuan.

Sebagai orang awam soal-soalan musik-musikan, aku suka sih musiknya. Sound designnya bagusssssssssss dari awal pertunjukan berlangsung, ia hadir bukan hanya sebagai pengiring, ia menciptakan teks-teks yang lain. Hadir bersama kemarahan, kesedihan dan juga keputusasaan atas segala hal yang terjadi. Saat memasuki adegan-adegan terakhir pertunjukan, saat penonton maju satu-persatu dan membacakan kertas yang dibagikan, setelah itu kertas ditempelkan ke semacam mading dengan hekter (steples / Gun Tacker) menghasilkan bunyi yang lain, mengambil alih medan pertunjukan, seperti tembakan, menembus dada kiri. Pembacaan yang dilakukan oleh penonton melahirkan beragam emosi yang hadir dalam dada semua hadirin. Ada yang sedih nyaris menangis, ada yang diliputi kemarahan yang membumbung sebab kemarahan datang mengikuti. Ia mencipta gelombang kesadaran akan kekejian yang diciptakan negara dan antek-anteknya dengan sengaja. Membacakan semacam dosa-dosa yang tak ada habisnya milik tentara dan juga polisi. Seorang partisipatif dari china barangkali, meniatkan menerjemahkan baris-baris kata itu dan kemudian nyaris menangis membacanya.
Menyaksikan pertunjukan ini sampai akhir rasanya kita seperti menghadiri misa requiem, misa arwah. Mendoakan yg berpulang, entah itu para korban atau empati pemerintah dan juga antek-antek asing yang sering disebutkan berulang-ulang.
Sudah baca yang ini?:
KAMAFEST 2019: Upaya Penebalan di Titik Berangkat
Membaca "Tubuh Malang-an dan Tubuh Jawa Timur-an" Dalam Sajian Koreografi Kontemporer.
Meresapi Pertunjukan dan Pameran “Les Bonnes” Ferdy Thaeras
Konvergensi Seni dan Teknologi dalam "Another Body - Another Space - Another Time" karya Densiel Leb...
Jejak Arifin C Noer di Festival Teater Cirebon ke-5, 25-29 April 2019
Rasa Dalam Karya Koreografi Pasca Pandemi : Catatan atas Paradance #28
- Mengalami “KAMU SUDAH BULLETPROOF BELUM?” - 12 Oktober 2025

