Perburuan Pramoedya dengan Piranti Brecht
“Marilah kita bekerja bersama-sama, agar segera lekas tercapai cita-cita kita bersama!”
Suara itu menyelinap dari sebuah bangunan menjulang bertuliskan “Radio Oemoem”, menyapa penonton yang hadir malam itu di Teater Salihara. Pada panggung bersetting minimalis, ajakan propaganda dari era pendudukan Jepang langsung menyetel alam pikiran kita ke dekade 1940-an.
Suasana masa lalu seketika terhenti ketika Landung Simatupang muncul dari balik panggung. Dengan tenang, ia menyeruput secangkir minuman, lalu memandang penonton. Sebagai narator, ia mulai membangun imajinasi. Panggung yang sederhana pelan-pelan “diubahnya” menjadi sebuah rumah di Blora melalui kata-kata. Layar di belakangnya mengikuti alur ceritanya, memvisualkan setiap deskripsi: vas berisi bunga, meja bundar dengan empat kursi kayu, hingga rumah dengan pintu yang menghadap langsung ke stasiun kereta api, lengkap dengan jendela bertirai kelambu.
Inilah “Perburuan Pramoedya dari Blora ke Jakarta”, sebuah adaptasi panggung dari novel legendaris Pramoedya Ananta Toer (1950) yang dipentaskan di Teater Salihara. Sebuah karya sastra setebal 160 halaman dicerap dalam durasi yang singkat dan padat, sekitar 90 menit.

Setelah ruang imajinernya terbentuk, Landung Simatupang pun memperkenalkan dua tokoh yang akan menghuninya. Saat nama Bu Guru Ningsih dan Shodanco Karmin disebut, kedua pemainnya memasuki panggung. Percakapan pun terjalin layaknya pertunjukan teater konvensional, dan konflik langsung menyergap.
Relasi oposisional antara Ningsih, tunangan Den Hardo, dan Karmin, pemimpin pasukan PETA, langsung menyala dari percikan pertama dialog. Karmin mendatangi rumah Ningsih dengan maksud melindunginya dari kejaran Kenpei. Namun, Ningsih menatapnya dengan penuh kecurigaan. Baginya, Karmin adalah pengkhianat yang telah menjebak Hardo dan Dipo hingga menjadi buruan Nippon.
Di tengah tensi percakapan mereka yang memanas, alunan musik mendadak menyela dari pemusik di sisi panggung. Seorang penyanyi muncul, melantunkan lagu yang menyuarakan gejolak batin Karmin; penderitaannya atas ketidakpercayaan Ningsih dan beban yang dipikulnya.
Usai lagu, lampu padam sejenak. Saat kembali menyala, suasana pun berubah total. Semua aktor, termasuk Landung si narator, kini memegang naskah di tangan. Pertunjukan berlanjut dalam format yang breaking the fourth wall: seperti sebuah pembacaan naskah yang dipentaskan, sebuah meta-teater yang mengagetkan.
Dalam format baru ini, Karmin berusaha meluluhkan hati Ningsih yang keras. Ia bercerita bahwa Lurah Kaliwang, ayah Ningsih, ditangkap dan disiksa Kenpei untuk mengorek informasi tentang Den Hardo. Namun, Ningsih tetap bergeming, tidak percaya sepatah kata pun.
Puncaknya, Karmin melepas bom waktu: Lurah Kaliwang yang tak tahan disiksa akhirnya berbicara. Ia mengaku bahwa Hardo, buruan yang dicari Kenpei itu, adalah tunangan anaknya. Seketika itu pula, ketakutan Ningsih memuncak. Pasukan Kenpei telah bergerak ke arah rumahnya! Karmin mendesak Ningsih untuk segera menyingkirkan semua barang peninggalan Hardo dan berjanji akan menyelamatkannya.
Dialog dalam adegan ini diucapkan dengan gaya yang berbeda. Para aktor tidak lagi saling bertatap, tetapi berbicara menghadap penonton. Mereka seakan tidak sedang berakting, meski gestur dan raut wajah mereka masih menyampaikan gejolak peran yang dimainkan. Sebuah gaya penyutradaraan yang mengaburkan batas antara drama dan narasi, sekaligus mengintensifkan konflik batin yang terjadi.

Kedatangan pasukan Kenpei tidak dihadirkan secara konvensional, melainkan melalui siluet yang diproyeksikan pada layar lebar di belakang panggung. Sosok Sidokan, pemimpin Kenpei, muncul hanya sebagai bayangan gelap—sebuah representasi visual yang justru jauh lebih intimidatif ketimbang kehadiran fisik. Setiap gerak siluetnya tegas dan berwibawa, disertai suara serak dan menggelegar yang memenuhi ruangan, menciptakan atmosfer mencekam seketika.
Sidokan hadir bagaikan monster tanpa wajah, simbol kekerasan absolut yang siap menerkam siapa pun yang menghalangi jalannya. Pendekatan serupa diterapkan untuk menampilkan Den Hardo, tokoh buruan yang terus diselimuti misteri. Ia hanya muncul sebagai siluet, dan tetap demikian hingga akhir cerita, bahkan ketika siluet Sidokan akhirnya keluar dari balik layar dan hadir secara fisik di panggung, hanya bermain melalui gestur tanpa dialog.
Pilihan artistik ini bukan hanya memperkuat nuansa suspense, tetapi juga menjaga ketegangan naratif hingga mencapai puncak dramatiknya. Cerita berakhir tragis: Ningsih tertembak peluru nyasar dari Sidokan, Karmin menyerah setelah mendengar kekalahan Nippon, dan Hardo—yang selama ini diburu—justru melindungi Karmin dari amukan kaum republiken yang ingin menyiksanya. Sebuah akhir yang getir dan penuh paradoks, disampaikan melalui bahasa panggung yang kuat.
Aksen Teater Brecht
Melihat presentasi panggung yang demikian, pikiran langsung tertarik pada resonansi gaya teater Brecht. Konsep teater epik Brechtian yang dikembangkan oleh dramawan Jerman Bertolt Brecht itu, dengan jelas terasa mempengaruhi bentuk pertunjukan ini. Landung Simatupang dan Perkumpulan Seni Nusantara Baca, tampaknya sengaja mengadopsi pendekatan ini. Konsep utama Brecht, Verfremdungseffekt atau efek pengasingan, terasa sangat kental.
Efek ini sengaja diciptakan agar penonton tidak larut dalam ilusi drama, tetapi justru tetap kritis dan sadar bahwa mereka sedang menyaksikan sebuah pentas. Brecht ingin penonton berpikir, bukan sekadar merasa. Hal itu terwujud ketika para aktor tiba-tiba memegang naskah dan berbicara langsung kepada penonton, alih-alih berinteraksi satu sama lain. Mereka tidak berusaha “menjadi” karakter, tetapi “mendemonstrasikan” peran tersebut. Tujuannya jelas: mengingatkan kita bahwa ini adalah rekonstruksi atas suatu peristiwa, bukan realitas itu sendiri.

Setiap dialog yang diucapkan ke arah penonton berfungsi sebagai pesan sosial yang perlu direfleksikan, bukan sekadar percakapan alami antar tokoh. Penonton didorong untuk tidak terhanyut secara emosional dalam konflik Ningsih dan Karmin, melainkan untuk menganalisis tema-tema besar seperti pengkhianatan, kekuasaan, dan perlawanan yang diusung cerita.
Selain itu, penggunaan proyeksi visual di layar—yang menampilkan elemen-elemen seperti setting rumah—merupakan alat narasi epik ala Brecht lainnya. Proyeksi ini berfungsi sebagai montase yang menginterupsi alur, menyuntikkan konteks historis pendudukan Jepang di Indonesia, dan memberikan komentar sosial. Struktur cerita pun menjadi episodik, tidak linier, sehingga penonton dapat mencerna dan menganalisis setiap fragmen cerita secara terpisah.
Pun demikian, penggunaan siluet dan pencahayaan non-realistis seperti dalam menampilkan sosok Sidokan, Den Hardo, dan adegan kematian Ningsih, bukan sekadar pilihan estetika belaka. Teknik ini merupakan piranti penting untuk memperkuat Verfremdungseffekt ala Brecht. Dengan menghindari representasi yang terlalu hidup dan mendetail, sutradara mencegah penonton terhanyut secara emosional ke dalam individu karakternya. Sebaliknya, siluet berfungsi sebagai representasi simbolik yang menekankan pada kondisi sosial dan politik yang impersonal.
Sejalan dengan estetika panggung Brechtian yang sederhana dan penuh makna, kehadiran siluet Sidokan bukanlah sebagai seorang antagonis individual, melainkan sebagai personifikasi dari mesin penindasan kolonial yang anonim dan tak berwajah. Begitu pula dengan Den Hardo yang tetap berupa bayangan; ia bukan pahlawan romantis, melainkan simbol dari setiap orang yang diburu oleh kekuasaan represif.
Adegan kematian Ningsih yang disampaikan melalui cara serupa tidak dimaksudkan untuk membangkitkan belas kasihan personal, melainkan untuk mengajak penonton merefleksikan dampak brutal dari kekerasan sistemik. Dengan demikian, setiap gestur dan bentuk yang ditampilkan bukanlah ekspresi psikologis individu, melainkan sikap sosial yang perlu ditelaah secara kritis oleh penonton.

Dalam konteks “Perburuan”, semua elemen Brechtian ini bukan sekadar gaya panggung yang stylish. Ia berfungsi untuk mengangkat bobot historis novel Pramoedya, mengedepankan pesan kritisnya, dan mengajak penonton menyelami kompleksitas moral di era revolusi tanpa terjebak dalam sentimentalitas yang mudah.
Memang benar, meskipun elemen-elemen panggungnya sangat Brechtian, pertunjukan ini tidak sepenuhnya kaku dalam menerapkan teori teater epik. Terdapat percampuran yang menarik dengan gaya penceritaan lokal dan bentuk-bentuk teatrikal modern yang lebih cair. Namun, “aksen” Brecht tetap dominan dan disengaja, terutama dalam spirit-nya untuk mendorong penonton berpikir aktif tentang berbagai isu sosial-politik yang diusung novel.
Pilihan untuk meminjam teknik Brecht dalam mengadaptasi karya Pramoedya justru terasa sangat tepat dan deliberate. Kedua tokoh ini, meski berasal dari tradisi dan geografi yang berbeda, memiliki semangat yang beririsan: kritis terhadap kekuasaan, anti-kolonialisme, dan concern mendalam terhadap ketidakadilan. Brecht ingin penontonnya mencerna cerita dengan kepala dingin dan pikiran kritis, sementara Pramoedya menulis dengan amarah dan keberpihakan yang jelas terhadap rakyat terjajah.
Dalam pertunjukan ini, teknik verfremdungseffekt tidak hadir sebagai bentuk eksperimen semata, melainkan sebagai piranti untuk mengorek makna terdalam dari “Perburuan”. Penonton tidak diajak untuk sekadar menyaksikan drama individual Ningsih atau Karmin, tetapi untuk merefleksikan kondisi kolektif sebuah bangsa di bawah cengkeraman kekuasaan fasistik.
Dengan cara ini, adaptasi ini berhasil menjadi lebih dari sekadar dramatisasi novel. Ia menjadi sebuah dialog aktif antara teks klasik dengan penonton kontemporer, membangun jembatan antara kritik sastra dan kesadaran politik. Sesuatu yang mungkin sangat didamba oleh Pramoedya dan Brecht.
Sudah baca yang ini?:
JAGAD LENGGER FESTIVAL 2024: Memperluas Cakrawala Artistik dan Wacana Lengger Banyumasan
Belajar Kritik Sosial a la Milenial Melalui Drama Musikal
Hibah Seni Kelola 2018, dibuka!
(Un)becoming: Zoom In dan Zoom Out Relasi Ibu dan Anak Perempuannya
Koreografer dari Kolektif Arungkala terlibat dalam Residensi Sinematografi Teater “The Last Si...
RUMAH [te]TANGGA : Sebuah Upaya Mendekatkan Seni Teater dengan Masyarakat.
- Perburuan Pramoedya dengan Piranti Brecht - 5 September 2025
- Memungut Pecahan Ingatan, Menyaksikan Luka ‘In(her)ited Silence’ - 9 Agustus 2025
- Menyaksikan Dilema Para “Orang Benar” melalui Les Justes - 25 Juni 2025