Sabtu, Agustus 9, 2025
ULASANPanggung Teater

Memungut Pecahan Ingatan, Menyaksikan Luka ‘In(her)ited Silence’

Sore itu, pertunjukan dimulai dengan panggung yang diselimuti kesunyian. Di bawah sorot lampu redup, dua siluet bergerak pelan dari bawah meja: Sri Qadariatin merayap bagai membelah beban waktu, Kozeo Ito merangkak selangkah demi selangkah seolah menyeret luka yang tak kasat mata. Musik sendu mengalir, menjadi denyut nadi yang mengiringi perjalanan mereka menuju titik temu. Sebuah pertemuan antara ingatan yang terpendam dan realitas yang pahit.

Wajah Sri menempel di lantai ketika suaranya menggema: “Siapa saya hari ini? Adalah ingatan dari masa lalu.” Kalimat itu bersautan dengan terjemahan lirih Kozeo dalam bahasa Jepang, membangun jembatan antara dua kepedihan yang berbeda ruang-waktu. Keduanya lalu membongkar masa kecil yang retak: Sri, memainkan tokoh sebagai cucu ianfu, mengeluarkan bak mandi bulat kecil yang ditarik rantai sebagai metafora beban warisan yang tertambat. Kerikil-kerikil yang dilemparkannya ke bak air bagai upaya mengukur kedalaman luka yang tak terlihat.

Kozeo, sebagai gadis Jepang yang terperangkap dalam kompleksitas budaya, membentangkan kimono, simbol harapan sekaligus sangkar norma. Ia bercerita tentang dinamika menjadi dewasa di negeri yang menyembunyikan bayang-bayang kolonialnya. Di tengah silang kisah itu, Sri melontarkan pertanyaan yang menusuk: “Apakah harus menelusuri segala yang tersimpan rapat dalam ingatan keluarga? Bukankah situasi kami sekarang saling menerima? Apakah kini aku dewasa?”

DSC 8561 ed | Memungut Pecahan Ingatan, Menyaksikan Luka ‘In(her)ited Silence’
dok. Komunitas Salihara / Witjak Widhi Cahya

Pertanyaan itu menjadi pisau bedah yang membelah diam. Lewat Sri, kita menyelami trauma cucu ianfu yang tak bisa bertanya pada neneknya: mengapa gadis-gadis desa berusia 9-14 tahun itu harus direnggut masa remajanya, dijadikan pemuas nafsu tentara Jepang di ianjo, tempat yang dianggap “zona nyaman” bagi pelaku, tapi neraka abadi bagi korbannya? Tubuh dan harga diri mereka direnggut oleh para “penjaga peradaban”, meninggalkan luka yang menggerogoti jiwa turun-temurun.

Dan ketika Kozeo bercerita tentang perempuan Jepang yang terjepit dalam mesin kapitalisme modern, dialog itu kembali menjadi cermin retak: dua realitas yang terhubung oleh sejarah kekerasan yang sama, tapi terpisah oleh sungai penyangkalan. Puncaknya, Sri membacakan kalimat penghabisan yang menggetarkan: “Gadis-gadis itu meninggalkan neraka setelah perang. Masuk ke neraka berikutnya. Hidup normal. Tapi apa arti normal setelah neraka?”

Suara itu menggantung di udara, mengingatkan kita bahwa bagi para penyintas, kemerdekaan bukan akhir penderitaan. “Normal” adalah topeng yang dipaksakan, sementara bayang-bayang ianjo terus membayangi tiga generasi.

Pertunjukan In(her)ited Silence di Teater Salihara (2-3 Agustus 2025) mengajak kita menyelami jurang pemahaman akan kisah para ianfu—perempuan yang menjadi korban kekerasan di masa pendudukan Jepang. Sejauh mana pengetahuan kita tentang penderitaan mereka? Seberapa mampu kita merasakan luka yang tertinggal?

Karya ini, bagian dari Literature and Ideas Festival (LIFEs) 2025 bertema “Menjadi Indonesia”, hadir sebagai jeda yang menghentak. Ia mengingatkan bahwa menjadi Indonesia adalah proses berkelanjutan yang membutuhkan keberanian mengunjungi kembali halaman-halaman sejarah kelam. Seperti membuka album foto keluarga usang: tak semua gambarnya jelas, tak semua ceritanya lengkap, dan tak semuanya indah. Tapi setiap helainya adalah bagian esensial dari identitas kita hari ini.

BACA JUGA:  Hibah Seni Kelola 2018, dibuka!
DSC 0066 ed | Memungut Pecahan Ingatan, Menyaksikan Luka ‘In(her)ited Silence’
Dok. Komunitas Salihara / Witjak Widhi Cahya

In(her)ited Silence tak sekadar menghadirkan ingatan. Ia melampaui itu, menyentuh ruang kosong dalam percakapan kita tentang masa lalu. Di tengah upaya merekonstruksi sejarah, pertunjukan ini menantang untuk memandangi lompatan jauh menuju segala yang sengaja dibiarkan absen, segala yang belum terungkap dalam narasi kolektif.

Dalam Potential History: Unlearning Imperialism, Ariella Aïsha Azoulay membedakan penonton pasif dan saksi aktif secara tegas. Keduanya bisa melihat objek yang sama di museum, namun posisi mereka terpisah jurang. Bagi penonton, melihat adalah tindakan konsumtif, netral, usai ketika ia keluar ruang pamer. Sebaliknya, menjadi saksi adalah komitmen politis. Ia menjalin hubungan dengan masa lalu, mengaktifkan narasi yang dibungkam, dan bertanggung jawab atas apa yang dihidupkannya kembali.

In(her)ited Silence berusaha menggeser posisi kita dari kursi penonton ke kursi saksi. Pilihannya memang ada di diri masing-masing. Ya, selalu seperti itu. Tapi, di ruang gelap Teater Salihara kali ini, kita terus diajak merasakan getir yang tak terucap, duka yang merembes pelan, benturan antara empati dan ketidakberdayaan, atau gesekan getir antara kegembiraan dan keputusasaan. Seperti diingatkan Azoulay, meski rasa sakit korban tak pernah sepenuhnya bisa kita bagi, fragmen cerita, bayangan visual, dan jejak perasaan itu mengendap dalam diri.

Menyaksikan bukanlah ritual yang usai ketika lampu menyala; ia adalah benih kesadaran yang terus tumbuh. Dan pertunjukan ini adalah gelanggang di mana sejarah yang terpenggal dijahit kembali oleh kesaksian kolektif. Di sini, kita tak lagi boleh pasif, kita dituntut menjadi bagian dari rantai ingatan yang menghidupkan kembali narasi para ianfu. Bukan sebagai konsumen, tapi sebagai penerus obor yang menolak lupa.

DSC 0064 ed | Memungut Pecahan Ingatan, Menyaksikan Luka ‘In(her)ited Silence’
Dok. Komunitas Salihara / Witjak Widhi Cahya

Arsip dan Penonton yang Menjadi Penyaksi

Di panggung, suara itu akhirnya dimunculkan. Kisah para ianfu yang getir yang tersimpan dalam bentuk arsip berita, video, foto, sketsa wajah. Kisah ini dipadukan dengan perjalanan aktivisme dan advokasi yang berjuang untuk memastikan cerita mereka masuk ke dalam sejarah: dalam kurikulum pendidikan, dalam buku-buku yang dibaca luas, dalam wawancara dan film pendek yang tersebar di kanal digital. Nama-nama itu pun muncul: Mardiyem, Tuminah, Suhannah, Ummi Kulsum, Eka Hindra, Nursyahbani, Yayori Matsui, dan nama-nama lain yang hadir.

Kemudian, Sri Qadariatin dan Kozeo Ito mengubah panggung menjadi arena perjamuan teh. Sri merebus air pada ketel dan Kozeo menyiapkan cangkir minum. Suasana ruang yang tadinya gelap di area penonton diubah menjadi terang, membawa penonton untuk ikut hadir dalam perjamuan ini. Penonton diajak turun ke panggung, beberapa sukarelawan mengacungkan tangannya untuk ikut bersuara. Di panggung mereka disodori secarik kertas berisi tulisan tentang kisah para penyintas dan diminta untuk membacakannya pada khalayak.

Pada kisah yang dibacakan ada cerita tentang ibu Ronasih dari Sukabumi. Pada usia 14 tahun, Ronasih diculik tentara Jepang dan dipaksa tinggal di rumah asing yang menjadi saksi bisu kekerasan tanpa akhir. Tubuh dan harga dirinya direnggut oleh mereka yang mengaku penjaga peradaban. Namun Ronasih tidak hancur. la kembali, meski tanpa keluarga, tanpa anak, tanpa suami. Menjalani hidup sederhana di rumah kecil, menanam singkong dan sayur demi bertahan. Tubuhnya renta, tapi jiwanya tak pernah padam.

BACA JUGA:  Multiverse Dunia (Teater) Anak : Ulasan “Gadis Biji Timun” – Teater Bocah Jogja di Linimasa#5

Ketika waktunya tiba, ia angkat suara, bukan karena dendam, tetapi demi kebenaran. la tahu, diam bisa jadi kuburan, dan ia memilih menjadi jendela yang membuka ingatan. Mak Ronasih tak pernah menuntut apa pun, bahkan ketika negara bungkam dan dunia memilih lupa. Wajahnya tetap damai, menyimpan kekuatan seorang penyintas sejati. Pada 15 April lalu, sekitar pukul tujuh pagi, Ronasih berpulang di Sukabumi, tempat ia dibesarkan, dilukai, dan tetap memilih untuk hidup.

Kisah lain muncul dari hidup Ibu Suhanna. Dalam kenangan Nursyahbani Katjasungkana, jaksa penuntut umum di Pengadilan Rakyat Tokyo tahun 2000, Suhanna adalah sosok perempuan cerdas, lucu, dan cantik dengan rambut panjang yang dikepang dua. Pada usia 16 tahun, Suhanna diculik di depan rumahnya oleh tentara Jepang dan dikirim ke sebuah ianjo di Pontianak.

la bertahan hidup dengan keterampilannya menjahit, bahkan membuat sendiri kebaya yang dikenakannya. Sepulang dari kampung halamannya di Cimahi setelah perang usai, ia menerima pesanan jahitan dari para tetangga. Meski terlambat, di usia senja ia akhirnya menemukan pasangan hidup dan menikah.

Dalam kesaksiannya yang menggugah di Tribunal Tokyo pada 7 Desember 2000, ia dengan suara lirih namun tegas berkata, “Saya ingin pemerintah Jepang meminta maaf kepada saya. Saya diperkosa berkali-kali. Sekarang saya sudah tua. Saya tidak tahu kapan saya akan mati. Bisa pagi, siang, malam, bisa kapan saja. Saya ingin pemerintah Jepang diadili sekarang juga.”

Selain Suhanna, ada juga Mardiyem, Suharti, dan Ema Kastimah yang turut hadir dalam Woman Tribunal pada 7-8 Desember 2000 di Tokyo sebagai penyintas ianfu. Mereka memberikan kesaksian bersama dengan penyintas lainnya dari negara Tiongkok, Taiwan, Filipina, Malaysia, Timor Leste, Belanda, dan Korea.

Hampir semua saksi korban yang memberikan kesaksian di hadapan pengadilan Tokyo Tribunal ini melakukannya secara terbuka, dengan memakai nama asli dan menolak menggunakan perangkat pelindung seperti alat distorsi gambar atau suara. Hanya satu korban, Ms. X, bersaksi memakai nama samaran. Hal ini menunjukkan keberanian dan ketegaran para saksi korban, karena bahkan pada lingkup domestik sekalipun, korban kejahatan seksual jarang bersedia memberikan kesaksian di pengadilan terbuka.

Usai kisah terakhir menggantung di udara, para penonton, baik yang duduk di panggung maupun di kursi, diundang menjadi bagian dari lingkaran kesaksian. Suara-suara bangkit dari berbagai penjuru: seorang guru, aktivis perempuan, jurnalis, hingga seniman mengakui beban warisan kolonial yang tak diakui. Dalam ruang itu, mereka tak lagi jadi penonton, melainkan saksi aktif yang menjalin benang ingatan kolektif.

BACA JUGA:  KENAPA MEREKA BEREBUT PANGGUNG?: Catatan atas Pertunjukan “A New World Nova Genesis”
DSC 0080 ed | Memungut Pecahan Ingatan, Menyaksikan Luka ‘In(her)ited Silence’
Dok. Komunitas Salihara / Witjak Widhi Cahya

Tiba-tiba, lampu penonton kembali padam. Sorot cahaya menyempit ke panggung. Sebuah koper tua terlempar dari atas, memburai ribuan kertas berterbangan seperti arsip sejarah yang pecah. Di balik tirai kertas yang berhamburan, footage aktivisme para penyintas dan advokator memproyeksikan perjuangan yang tak pernah usai. Sri Qadariatin dan Kozeo Ito berdiri di tengah pusaran itu, membacakan manifesto “The Verdict” dengan suara yang mengguntur:

“We will look at things differently.

We will do what we can about what we can remember.

We will perpetually conserve and converse.

We will carry them—the women, the children, the men enslaved in the system of power—

by keep on saying:

NEVER AGAIN, ANYWHERE IN THE WORLD.”

In(her)ited Silence menutup pertunjukannya bukan dengan resolusi, tapi dengan tantangan abadi: sejarah tak boleh berakhir di panggung teater. Kertas-kertas yang berhamburan itu bagai metafora ingatan yang harus kita pungut dan satukan. Di akhir, pertanyaan kembali melintas: sudahkah kita beranjak dari penonton yang pasif menjadi saksi yang bertanggung jawab? Di situlah esensi pertunjukan ini berdetak: kita tak bisa benar-benar “menjadi” selama masih memilih untuk lupa.

Hidayat Adhiningrat

Hidayat Adhiningrat

Lahir di Bandung dan kini memutuskan tinggal sambil bekerja di Jakarta. Memiliki minat terhadap kesenian dalam kapasitas sebagai penulis dan penonton. Kadang datang ke pameran, kadang menonton seni pertunjukan, kadang ikut diskusi kesenian, kadang ikut workshop penulisan ulasan kesenian.