Masyarakat Teater Makan Bersama Garuda dan Alegori Negara Sebagai Keluarga
Bagaimana jadinya jika negara adalah sebuah keluarga, di atas panggung teater. Di dalamnya ada seorang ibu tua berusia 80 tahun, anak pertama yang lahir tahun 1965, hingga si bungsu yang lahir di tahun 1998. Masing-masing menjadi simbol yang segera terasa akrab. Usia 80 tahun adalah cermin usia bangsa. Kelahiran sang anak pertama dan si bungsu merujuk pada tarikh yang tak mudah dilupakan bangsa ini. Dan judulnya, “Makan Bersama Garuda”, yang jika disingkat menjadi MBG, dengan gamblang mengajak penonton menebak arah panggilan kritiknya.

Dokumentasi Festival Teater Jakarta/Yose R.
Malam itu, pementasan kelompok Masyarakat Teater di Gedung Kesenian Jakarta memang terasa sebagai suara kegelisahan Indonesia hari-hari ini. Awalnya, panggung hanya disinari cahaya redup yang menyisakan bayangan-bayangan panjang. Seorang anak kecil asyik bermain petak umpet dengan seorang ibu tua. Perbedaan umur yang begitu jauh antara keduanya tidak menyurutkan keakraban yang tampak. Mereka berlarian, bersembunyi, dan mencari. Di balik meja, di balik tirai, di sudut-sudut ruang yang samar. Sebuah percakapan antara lelaki dan perempuan mengalur menjadi latar.
“Kupikir, sudah saatnya kita mencari rumah baru. Sudah waktunya kita pindah.”
“Aku tidak mau membahayakan kondisi keuangan kita untuk sesuatu yang urgensinya tidak mendesak.”
“Sebentar lagi ibu berumur 80. Tak akan terasa tiba-tiba sudah seabad. Tidakkah lebih baik ibu tinggal di rumah yang lebih layak? Di tempat yang lebih tenang, jauh dari kebisingan dan suara-suara yang mengganggu?”
“Tapi uangnya?”
“Aku bisa pinjam dari teman-temanku.”
“Bagaimana?”
“Sepakat?”
Begitu kata “sepakat” mengudara dan menggantung, sang Ibu berhasil menangkap si kecil yang bersembunyi. Keduanya lalu berjalan bergandengan tangan, dan di tengah senyap itu, si kecil menyanyikan lagu “Kasih Ibu” dengan suara jernih dan polos. Lagu yang akrab di telinga itu bergema di ruang gelap, seakan menjadi penghubung antara dua zaman yang diwakili oleh Ibu dan si kecil.
Kasih Ibu
Kepada Beta
Tak terhingga sepanjang masa
Hanya memberi tak harap kembali
Bagai sang surya menyinari dunia.

Dokumentasi Festival Teater Jakarta/Yose R.
Adegan berganti. Sebuah meja makan kecil menghiasi tengah panggung dan di atasnya seorang wanita berdiri dengan wajah muram. “Dan kita kembali lagi ke rumah ini!” keluhnya. Perpindahan rumah itu tidak terjadi, setidaknya sampai saat ini.
Rantai keluhan mengalir deras setelahnya. Perempuan itu bercerita tentang perayaan ulang tahun Ibu di rumah baru tepat setelah mereka berhasil membelinya tahun lalu. Ia mengungkit segala usahanya dalam mengumpulkan uang, mencari lokasi, membangun dari nol, hingga menata perabotan. “Tapi uang dari Mas Eko tak cukup, rumahnya tak kunjung selesai. Aku malah harus terjebak utang, dan kita terpaksa kembali ke rumah ini.”
Di tengah luapan kekecewaan itu, sang Ibu masuk dengan kursi rodanya. Suaranya lemah dan penuh kegelisahan. “Bisakah aku mencapai usia emas? Andai sakit ini tak kunjung pergi, mungkin waktu akan segera menjemputku.”
Seorang anak perempuan lain segera mendekat, berusaha menenangkan.
“Ibu terlalu banyak berpikir.”
“Apa lagi yang Ibu pikirkan?”
“Apakah makanan untuk anak-anak sekolah sudah terkirim?”
“Tenang, Ibu. Beberapa bulan terakhir, setiap hari sekolah, mereka selalu dapat makanan pendamping.”
“Apakah rasanya enak? Anak-anak suka?”
“Oh, tentu, mereka sangat menyukainya.”
“Tapi, apakah itu yang benar-benar mereka butuhkan?”
“Percayalah pada kami, Ibu. Kami tak ingin Ibu kuatir. Kami hanya ingin Ibu bahagia.”
Lagi-lagi dialog itu mengambang di atas panggung, meninggalkan pertanyaan yang tak terjawab.

Dokumentasi Festival Teater Jakarta/Yose R.
Seiring berjalannya lakon, alegori yang dibangun kian jelas dan tertata. Setiap karakter tidak lagi tampak sebagai individu biasa, melainkan perwujudan unsur-unsur dalam tubuh negara. Ibu adalah Ibu Pertiwi yang menua, rapuh, sakit-sakitan, dan dipenuhi memori, namun suaranya kerap terabaikan di tengah riuh pandangan anak-anaknya. Tokoh Eko hadir sebagai representasi penguasa atau generasi tua yang gemar dengan proyek mercusuar, gali lubang tutup lubang, dan terobsesi pada kemajuan material instan.
Dewi mengisi peran sebagai birokrat atau pelaku ekonomi yang tampak profesional, namun terjebak dalam siklus utang dan skema pembiayaan yang tak sehat. Sementara Tri, mewakili masyarakat yang penurut dan taat menjalankan peran, namun enggan bersuara. Berbeda dengan mereka, tokoh si bungsu Sulih hadir sebagai suara generasi muda yang kritis, idealis, dan geram pada sistem yang menutup telinga.
Lakon ini kemudian menyibak satu per satu persoalan yang menggerogoti keluarga ini. Tentang utang yang menumpuk akibat kebiasaan Eko meminjam dari Dewi dengan dalih investasi, padahal untuk menutup utang lama. Tentang prioritas yang melenceng saat program “makan untuk anak sekolah” yang mulia justru mengorbankan kondisi keuangan keluarga dan mengabaikan kebutuhan mendasar Ibu.
Komunikasi yang buruk pun kian nyata. Setiap kali Ibu berusaha bicara, anak-anaknya kerap memotong. Mereka hanya ingin Ibu tampak senang menurut ukuran mereka, bukan benar-benar mendengarkan isi hatinya. Konflik antar-anak pun tak terelakkan. Sulih, dengan suara mudanya yang jernih, berusaha membuka mata anggota keluarga ini tentang kesalahan yang berulang. Namun, di mata Eko dan Dewi, ia dianggap sebagai pengacau. Sementara Tri memilih diam, menghindar dari konflik yang ia anggap tak perlu.
Puncak cerita terjadi dalam adegan makan bersama yang seharusnya penuh sukacita, namun justru dipenuhi ketegangan. Pidato-pidato yang disampaikan penuh jargon kosong tentang “kemajuan keluarga” dan “kesejahteraan bersama”. Ibu kembali berusaha menyampaikan isi hatinya, tapi lagi-lagi suaranya ditenggelamkan.
Adegan penutup menghadirkan kesuraman. Anak-anak (kecuali Sulih) melahap hidangan dengan rakus bak binatang, simbol keserakahan yang menggerogoti nilai-nilai keluarga. Kemudian meja makan diangkat bagai peti mati. Lakon berakhir dengan Ibu, didampingi seorang gadis kecil, menyanyikan lagu “Kasih Ibu” dalam nada muram seakan meratapi nasib keluarganya. Ia mengajak penonton untuk ikut menyanyikan lagu itu, mengubah ruang teater menjadi cermin kolektif atau sebuah undangan untuk merenungi bersama ke manakah kita akan membawa Ibu Pertiwi yang renta ini?

Dokumentasi Festival Teater Jakarta/Yose R.
Kutukan Teks Verbal
Naskah “Makan Bersama Garuda” yang ditulis oleh Y.I Wicastra, sejak awal telah menancapkan klaimnya sebagai sebuah alegori politik yang tajam. Seperti disebutkan sebelumnya, “Keluarga” dalam lakon ini adalah miniatur negara, sang “Ibu” yang rentan adalah personifikasi Ibu Pertiwi, sementara para “anak” merepresentasikan para pemimpin dan elemen masyarakat dengan beragam generasi serta kepentingannya.
Di jantung cerita, berdenyut sebuah ironi yang getir tentang pertarungan antara gengsi dan substansi. Konflik antara obsesi untuk tampil “sukses” dan “maju” melalui rumah baru dan pesta mewah, dengan kebutuhan dasar serta kebahagiaan yang nyata, menjadi garis pemisah yang menusuk. Di sini, komunikasi yang rusak dimatangkan menjadi metafora tentang para pemimpin yang tak mau mendengar. Suara Ibu, yang juga dapat dibaca sebagai suara rakyat, terus-menerus dipotong, kebutuhannya diabaikan, dan kebahagiaannya didefinisikan ulang menurut ukuran orang lain.
Kehadiran naskah yang sarat aktualitas ini, sebagai salah satu finalis Festival Teater Jakarta (FTJ) 2025, pun terasa seperti angin segar. Bagi yang telah lama mengikuti ritme FTJ, festival ini kerap diwarnai pengulangan, baik dalam pilihan naskah maupun bentuk pementasan. Maka, kehadiran satu karya yang tidak hanya baru tetapi juga berani menyentuh saraf zaman, menjadi daya pikat tersendiri. Naskah ini tidak terobsesi untuk menjadi sekadar cerita keluarga, melainkan otopsi atas bangsa yang terjebak dalam retorika kemajuan tanpa substansi.
Memang harus diakui, metafora keluarga dalam naskah ini berhasil menyentuh urat nadi Indonesia kontemporer. Eko si visioner tak realistis, Dewi sang pengelola keuangan yang gemar gengsi, Tri yang penurut tanpa daya kritis, dan Sulih si idealis pemberontak, bersama-sama merangkai kompleksitas wajah bangsa ini. Mereka adalah cermin yang memantulkan kita semua, potret generasi dan kepentingan yang saling bersilangan dalam rumah besar bernama Indonesia.
Namun, dalam eksekusi panggungnya, harus juga diakui bahwa lakon ini agak terjebak dalam apa yang disebut sebagai “kutukan teks verbal”. Dialog-dialognya begitu padat dan dominan, seolah sutradara kurang percaya bahwa bahasa panggung (lewat visual, gestur, atau atmosfer) dapat berbicara lebih lantang daripada kata-kata. Padahal, penonton zaman ini sudah cukup cerdas untuk tak perlu terus-menerus diberi tahu bahwa “utang semakin menumpuk” melalui monolog/dialog. Mereka akan lebih terhubung jika bisa ikut merasakannya lewat (mungkin) desahan napas yang tersengal, gerak tubuh yang kian tertekan, atau bunyi gelas yang berdetak bak jam pada bom waktu.
Persoalan lain muncul dalam penokohan. Eko, Dewi, Tri, dan Sulih sering kali hadir sebagai duta ideologi ketimbang manusia berdarah daging. Mereka berbicara laksana manifesto yang berjalan, bertindak bagai tesis yang bernapas. Bukankah manusia pada hakikatnya adalah makhluk penuh kontradiksi? Andai saja momen-momen humanis lebih banyak diselipkan, bukan mustahil alegori yang dibangun tidak hanya terlihat cerdas secara politik, tetapi juga menghunjam dan mengena di relung hati penonton. Sebab, pesan perubahan akan terasa menggugah ketika ia tak hanya sampai di kepala, tetapi meresap sampai ke dalam kalbu.

Dokumentasi Festival Teater Jakarta/Yose R.
Rasanya, inilah dilema terbesar lakon ini. Seperti banyak karya teater sosial-politik Indonesia lainnya, semangat menyampaikan kritik kerap mengalahkan eksplorasi bentuk artistik. Kita memang mendapatkan pesan yang penting, tetapi sering kali kehilangan keajaiban teatrikal yang membedakan panggung dari mimbar orasi. Padahal, justru di situlah letak kekuatan teater kontemporer dalam kemampuannya menyampaikan makna tanpa tergantung pada kata-kata. Bunyi dentang gelas, permainan bayangan yang menegangkan, atau gerak tubuh yang tegang, semua itu bisa menjadi metafora yang lebih kuat daripada seribu kata.
“Makan Bersama Garuda” sesungguhnya tetap bisa mengembangkan pertunjukannya tanpa perlu mengorbankan kekuatan kritik sosialnya. Justru dengan memperkaya bahasa panggung non-verbal, karya ini bisa lebih membebaskan. Penonton tidak hanya diajak berpikir, tetapi juga diajak merasakan. Tidak hanya memahami, tetapi juga mengalami secara emosional.
Dengan mengurangi ketergantungan pada teks verbal, mendalamkan dimensi humanis setiap karakter, dan mempercayai kecerdasan penonton, naskah ini berpotensi naik level dari sekadar kritik yang cerdas menjadi karya seni yang menghunjam. Sebab pada akhirnya, teater yang paling berkesan bukanlah yang menyampaikan pesan paling jelas, melainkan yang terus menggedor kesadaran kita, bahkan lama setelah tirai panggung tertutup. Sebagaimana diingatkan dalam tradisi teater dunia, dari Brecht yang ingin membuat penonton tetap kritis hingga Brook yang menekankan teater sebagai pengalaman hidup, kekuatan panggung terletak pada kemampuannya mengubah yang biasa menjadi luar biasa.
Malam itu, “Makan Bersama Garuda” telah membuat politik Indonesia yang kompleks terasa familiar dan mudah dipahami. Tantangannya kemudian, menjadikan bentuk penyampaiannya bisa setajam pesan yang dibawa dan membuatnya jadi sebuah penjelajahan artistik yang akan membuat kritik sosialnya semakin tak terlupakan. Kelompok ini telah berhasil dengan yang pertama dan kini saatnya untuk menjelajahi yang kedua.
Sudah baca yang ini?:
Trem Bernama Desire, Laki-laki itu Memang Seperti Babi
SERI ONLINE TALK OzASIA FESTIVAL 2020
“Ngeli” : Reinterpretasi Gondang Keli oleh Miftah Alif Pambudi dan Thea
“Jejak-旅 Tabi Exchange: Wandering Asian Contemporary Performance” Yogyakarta 2018
Mother or Earth, Tinjauan dari Kursi Penonton Mother Earth Produksi Mila Art Dance
Catatan dan Ingatan Dramaturgis
- Masyarakat Teater Makan Bersama Garuda dan Alegori Negara Sebagai Keluarga - 27 Oktober 2025
- Perburuan Pramoedya dengan Piranti Brecht - 5 September 2025
- Memungut Pecahan Ingatan, Menyaksikan Luka ‘In(her)ited Silence’ - 9 Agustus 2025

