Minggu, November 23, 2025
ULASANPanggung Teater

Diri, Sosial, Aparatus: Tiga Tatanan Monolog “Alé Lino”

Selama satu dekade terakhir, konsistensi Kala Teater pada pertunjukan, utamanya teater monolog, telah teruji. Tahun ini, mereka kembali hadir dengan Festival Kala Monolog (FKM) yang mengangkat tema “Ale Lino” (Bumi). Festival ini bukanlah semata kompetisi pedagogis yang memanggil seni kembali ke Bumi, melainkan sebuah seruan, mesin, cara kerja untuk mendiagnosa dan membongkar realitas bersama.

FKM adalah program yang fokus pada riset isu kota sebagai bahan dasar penciptaan, penulisan naskah, dan pertunjukan monolog. Riset ini—yang menjadi tulang punggung gagasan kota dalam FKM—dilaksanakan secara independen oleh masing-masing penulis naskah sesuai kebutuhan dan gagasan mereka mengenai tema kota.

Sebagai bentuk ejawantah dari gagasan-gagasan riset ini, optimalisasi ruang menjadi kejutan utama Festival Kala Monolog 2025. Ini adalah “raungan” atas minimnya ruang ekspresi di Makassar yang membuat pertunjukan tak lagi butuh panggung1. Buktinya, Aula Rotterdam, situs pusat kekuasaan kolonial Belanda di masa lalu itu, disulap menjadi arena pertunjukan. Tata letak kursi model U di tiga sisi secara sengaja menghilangkan spasi antara yang ditonton dan menonton, menciptakan arena intim “nyaris tak ada sekat dengan aktor.” Secara politis, penonton bukan lagi pengamat terpisah, bukan lagi si “terjajah” yang menjauhi situs kuasa, melainkan telah menjadi partisipan yang berbagi ruang, udara, dan kebisingan yang sama.

Bagaimana kita menganalisis peristiwa teater dari program berbasis riset naskah monolog ini sebagai sebuah rangkaian peristiwa (assemblage)2 alih-alih ‘drama’ (representasi)3? Bagaimana “suara AC duduk” bisa berfungsi sebagai “teks lain” atau mesin-bising rimpang4?

Dan bagaimana kita memahami kontradiksi antara keintiman dan kontrol di Aula, sebuah smooth space yang di-teritorialisasi oleh kursi bernomor?

Menjawab ini, dan sebagai aktualisasi dari naskah monolog berbasis riset menjadi pertunjukan teater, tulisan ini akan menelaah tiga pertunjukan: Bioskop Sudah Tutup, Makan Siang dengan Tenang, dan Buku Kredit. Ketiganya akan diperlakukan dalam tiga mode pembacaan yang merefleksikan gagasan monolog sebagai penyelidikan. Pertama, Bioskop Sudah Tutup sebagai autobiografi/autologue (penyelidikan diri sebagai teks). Kedua, Makan Siang dengan Tenang sebagai verbatim (penyelidikan sosial sebagai teks). Ketiga, Buku Kredit sebagai performance-lecture (penelitian sebagai teks), yang mentransformasi aktor menjadi fungsionaris aparatus yang menjerat penonton. Melalui tiga mode ini, akan terlihat bagaimana pertunjukan beroperasi sebagai rangkaian peristiwa (assemblage) yang intim namun bising.

Diri sebagai Teks

Aziz Azthar membawakan monolog “Bioskop Sudah Tutup” dengan mode autobiografis5/autologue, di mana hasil riset “diri sebagai teks” dihadirkan bukan semata sebagai “diri” yang mimetik melalui karakter Eri. Azthar justru menyajikan cara radikal dalam memetakan teks diri itu secara langsung, kemudian merakitnya dalam berbagai layer.

Melalui metode inilah kita menemukan penghindaran atas representasi. Aktor di ruang pertunjukan itu bukan lagi Eri, melainkan telah menjadi sebuah rangkaian/tatanan yang hidup. Pada titik ini, tubuh Eri bertransformasi menjadi plateau6 (sebuah medan pertarungan, wilayah atau titik yang terus bergetar dan menghubungkan setiap elemen dari setiap layer) yang mempertemukannya dengan bermacam-macam kekuatan.

Sebagai sebuah plateau7, Eri kemudian terhubung pada segenap elemen heterogen yang bekerja menghasilkan sesuatu. Elemen-elemen itu di antaranya: (1) Tubuh-aktor (Aziz Azthar) yang hadir secara fisik; (2) Objek-properti yang dominan, terutama papan “Bioskop Tutup Permanen”; (3) Cahaya sebagai agen dramaturgis; dan (4) Proyeksi visual (silang media).

Bahkan, tubuh-aktor itu sendiri telah menjadi sebuah tatanan yang rumit. Lihat bagaimana aktor merakit “dirinya” dari kemeja hitam, peci, kacamata, dan sehelai sarung. Ini adalah rangkaian/assemblage dari “anak-yang-berduka” (peci, kemeja hitam), “pria-domestik” (sarung), dan “intelektual-perantau” (kacamata).

Dari tatanan tersebut, dua elemen kunci lain menonjol: papan “Bioskop Tutup Permanen” dan pemilihan sorot cahaya tegas di atasnya. Papan itu diletakkan sendirian di bawah sorotan spotlight putih sehingga memberinya agensi otonom. Ia menjadi clue simbolik yang sengaja di-frame sebagai teritori yang mengekang. Papan ini bisa disebut sebagai stratifikasi8 material—semacam kekuatan yang mengatur, mengunci, bahkan membuat tubuh “menegang” dengan segala dogma, trauma, serta aturan yang dibawanya.

Kemudian, kita menemukan papan menjadi perpanjangan fisik dari “suara Nenek” yang secara otoriter menyatakan bahwa ruang hasrat (bioskop) telah “ditutup” dan “dihakimi”. Penggunaan cahaya secara aktif lantas memetakan pengekangan ini. Cahaya merah yang kuat, misalnya, melapisi panggung dan menciptakan lapisan kekangan kaku yang seakan meng-organ-isasi tubuh aktor, menjebaknya dalam trauma. Secara berkali-kali, kita dapat melihat bagaimana “bayangan siluet menyekap tubuh aktor”, yang memvisualisasikan “Suara Nenek” sebagai hantu yang selalu hadir.

Pertunjukan monolog “Bioskop Sudah Tutup” di aula ini menjadikan tubuh aktor sebagai arena tarung dari beragam layer. Tubuhnya menjadi Tubuh tanpa Organ9 yang terus dibayangi oleh kekangan (stratifikasi) untuk meng-organ-isasi dirinya berdasarkan kekuatan dogma (Nenek).

Pertarungan ini terjadi melalui jeda, tatkala Eri menjadi Nenek dan Eri kembali menjadi Eri. Kondisi ini mengingatkan pada tubuh Margio dalam novel Lelaki Harimau: “Bukan aku,” kata Margio tenang dan tanpa dosa. “Ada harimau di dalam tubuhku… Harimau itu putih serupa angsa, ganas sebengis ajak”10   Berbeda dari Margio, bayang-bayang stratifikasi Eri terselubung melalui pantulan cahaya di lantai dan menjadi siluet di dinding aula.

Dalam pertarungan itu, sebuah garis pelarian (line of flight)11 sempat terbuka saat Eri “menari-nari” mengingat Mama. Momen cair ini meluruhkan tubuh Eri yang lain. Namun, garis itu segera tertutup saat suara Nenek muncul (“Eri menutup telinganya dan berteriak”); tubuhnya kembali terkekang, ter-stratifikasi, menegang, membeku, dan ter-organ-isasi oleh trauma.

Tubuh Eri yang menjadi plateau itu berfungsi sebagai magnet, menyebarkan intensitas dan vibrasi ke seluruh rangkaian pertunjukan. Getarannya menjalar ke lantai, dinding aula, aliran listrik, hingga suara bising kecoa dari plafon dan mahluk-mahluk mungil dari dalam kerangka Air Conditioner yang berdiri kokoh.

Di sinilah afek muncul. Afek12 itu sendiri merupakan kekuatan atau intensitas dari peristiwa pergantian elemen (dari Eri menjadi Nenek, dari satu tubuh ke tubuh berikutnya). Ia menularkan “dampak rasa” – sesuatu yang impersonal dan belum tertafsirkan sebagai emosi atau perasaan pribadi – tertahan agar tak menjadi afeksi.

Afek ini kemudian menjalar kepada penonton. Lihatlah betapa lelahnya (exhausted) penonton dalam remang-remang, sesekali dikikis oleh cahaya, silih berganti timbul tenggelam wajah-wajah letih. Apakah keletihan (lelah, tertidur) ini dihasilkan oleh monolog? Ini menjadi poin penting pertunjukan, di mana tatanan atau assemblage beroperasi melampaui aktor.

Keletihan itu adalah afek; bukan representasi “lelah” yang diproduksi di ruang pertunjukan, melainkan “bocornya” wilayah mapan (sekali lagi tidak menjadi afeksi). Rangkaian dari suhu ruangan yang dingin karena derau AC dan suasana musim penghujan di luar, berkolaborasi dengan pertunjukan itu sendiri.

Itulah afek yang “terjahit” pada kondisi material penonton. Fisik penonton yang telah lelah setelah “aktivitas seharian di dunia kerja” terbawa masuk dan menjadi bagian dari tatanan pertunjukan. Oleh karena itu, “tidur” bukanlah tanda kegagalan (bosan), melainkan keberhasilan produksi “lelah-lesu” (exhaustion)13.

Ya, pertunjukan ini “melelahkan” (exhausting)!14

BACA JUGA:  (PERCAKAPAN) Ingatan Tubuh, Dokumentasi, dan Keberlanjutan dalam Karya Museum I: Waves

Akan tetapi, kelelahan ini muncul bukan sekadar karena penonton gagal menjangkau pemaknaan umum pertunjukan; bukan pula semata-mata karena terhubung oleh afeksi (seperti cahaya, derau AC, atau aula yang dingin). Kelelahan ini lebih fundamental: ia lahir dari penghindaran atas segala kemungkinan representasi (pada makna-makna yang siap santap).

Pada titik inilah, keletihan itu sukses menghubungkan kelelahan eksistensial Eri dengan kelelahan fisik penonton, dan dengan demikian, pertunjukan monolog ini menuntaskan semua kemungkinan afeksi di dalam ruang bersama itu.

Masyarakat sebagai Teks

Kita masuk pada pertunjukan berikutnya. Kejadiannya bukan sore hari, melainkan setelah matahari tenggelam dan petang telah menyelimuti seluruh Makassar. Tentu saja, ada waktu jeda beberapa jam setelah pintu bioskop ditutup oleh Eri. Suasana di Fort Rotterdam ini akan lebih lembab dari sebelumnya, sebab gerimis masih saja bernyanyi.

Berbeda dari autobiografi Eri yang membedah tatanan memori internal, kita akan melihat “Makan Siang dengan Tenang” di waktu makan malam. Aktornya adalah Ismatul Rahmi, monologer dari Aceh. Penulis naskahnya adalah Nurul Inayah, bagian dari Kala Teater yang sejak lama menyorot kota. Maka, tak salah jika sajian ini akan lebih banyak mendemonstrasikan data. Ini kita sebut demonstrasi mode verbatim, sebuah penyelidikan “sosial sebagai teks”

Barangkali, setelah dialih wahana ke dalam pertunjukan monolog, dugaan kita jatuh pada persepsi bahwa pertunjukan ini bakal bercerita tentang diskriminasi gender. Tidak. Justru lebih dari itu, ia membangun mesin sosial (social machine) di dalam aula. Membongkar dan mengacak-acaknya melalui cara Jamila menyantap “makan” siangnya.

Lantas, bagaimana “mesin sosial” itu dibangun? Ia dirakit melalui assemblage (rangkaian atau tatanan) yang berbeda dari pertunjukan bioskop sebelumnya. Tatanan ruang di sini terangkai melalui diagram, bukan set realistis. Diagram15 itu semacam lokasi proyek: kardus yang dicat menyerupai tumpukan bata, karung semen, sekop, dan papan kayu. Ini adalah simulakra dari mesin konstruksi.  Simulakra dari realitas lokasi proyek yang dihapus dari konteks aslinya, lalu ditulis ulang sebagai diagram kekuasaan di dalam tatanan pertunjukan.

Rangkaian elemen atau plateau utama ditemukan melalui tubuh aktor. Dalam tatanan ini, tubuh Jamila menjadi fokus dari pengkodean (coding) dan stratifikasi (stratification) sosial. Mesin sosial (patriarki-kapitalis) ini begitu dominan, sehingga sang aktor memastikan tidak ada ruang yang tidak bising olehnya. Lihatlah bagaimana operasi patriarki-kapitalis beroperasi melalui teks verbatim (suara-suara kontraktor dari naskah) yang meng-kode-kan tubuhnya sebagai “tubuh-perempuan” – diasosiasikan dengan “lemah” dan “kembali ke dapur”.

Meskipun beban pengkodean yang diletakkan mesin sosial di tubuhnya begitu besar, sang aktor tidak sekalipun menunjukkan sikap mundur. Ia telah memutuskan untuk menghubungkan segala rangkaian elemen demi keluar dari vertikalisasi persepsi mengenai tubuh. Ia terus menjalarkan semua elemen tatanan secara horizontal, merimpang, dan menemui elemen lain, sehingga mesin sosial di Aula itu menjadi saksi hancurnya teritori lama atas persepsi mesin sosial itu sendiri.

Saksikan bagaimana Jamila mendemonstrasikan perlawanan terhadap stratifikasi ini melalui tatanan kostumnya. Ia mengenakan T-shirt bertuliskan “UPGRADE YOUR SKILL, GET YOUR DREAMS”. Ini adalah counter-coding yang literal – sebuah garis pelarian16 tekstual yang ia kenakan di tubuhnya. Itu semacam pernyataan sikap, sebuah deklarasi di mana teritori patriarki-kapitalis mulai bocor melalui dirinya.

Lebih lanjut, sistem sosial partiarkis yang mengekang dan ketimpangan akibat kepercayaan mutlak pada kapitalisme tervisualkan secara kuat melalui penggunaan cahaya. Ini merupakan mesin stratifikasi paling menonjol saat cahaya lampu merah dominan menangkap momen peristiwa (event) traumatik: kematian Ci’nong.

Aktor dibanjiri cahaya merah darah yang intens. Cahaya itu menusuk ke dalam mata penonton sehingga melahirkan afek murni, di mana kita mengalami momen “merah bata berganti menjadi merah darah”. Peristiwa ini merobek semua kode sebelumnya; ia membuktikan bahwa risiko (kematian) adalah mesin yang tidak membedakan gender, sekaligus menghancurkan justifikasi stratifikasi upah.

Namun, bukan Jamila namanya jika tak meneruskan upaya penemuan line of flight di atas tatanan yang telah diangkutnya ke dalam Aula Rotterdam itu. Ia tak henti mengelak dari mesin sosial yang terus menusukkan stratifikasi pada tubuhnya, enggan menerima organ- isasi dari mesin tersebut. Sikap ini ia wujudkan dengan terus melompati wilayah kebocoran untuk masuk pada wilayah tanpa struktur, sistem, atau organ-isasi; di sanalah Jamila menemukan “jalan tikus” serta mengukir beberapa garis pelarian (line of flight) yang radikal.

Yang pertama adalah “makan siang dengan tenang” – sebuah Tubuh-tanpa-Organ sesaat – di mana seluruh mekanisme struktur diluruhkannya. Yang kedua adalah counter-coding melalui cinta dan keterampilan. Di sini ia “keluar dari definisi tubuh perempuan”, melalui “tangan kapalan yang romantis”, dan “gerakan mengecat…”. Ini adalah jalan tikus di mana Jamila me-reteritorialisasi tubuh-buruhnya, bukan sebagai “tubuh-lemah”, melainkan sebagai “tubuh-terampil” dan “tubuh-sensual” yang mampu merasakan sensasi.

Pertunjukan ini dengan kuat menolak reteritorialisasi klise. Hal ini terbukti ketika terjadi trauma baru (“suaminya jatuh dan patah”); pertunjukan monolog ini tidak jatuh ke dalam melodrama. Sebaliknya, afek yang muncul adalah “suasana hening, hela nafas,” dan kesadaran politis yang mentah: “memikirkan upah layak”.

Trauma langsung terhubung ke mesin ekonomi, bukan ke narasi. Kehancuran emosional (“teriakan, protes, hanya ada air mata”) atas kematian Ci’nong dan kelelahan fisik (juga pada penonton) adalah afek murni – bukti material dari tubuh yang dihancurkan oleh mesin sosial.

Penelitian sebagai Teks

Puncak dari pemetaan “Kota” hadir dalam Mode Performance-Lecture17, sebuah penyelidikan “penelitian sebagai teks”. Pertunjukan “Buku Kredit”, yang dibawakan oleh Jamaluddin Latif, tidak lagi memetakan memori (autologue) atau mesin sosial (verbatim); ia meng-instalasi-kan mesin abstrak (abstract machine)18 itu sendiri di dalam aula pertunjukan.

Menonton Jamaluddin di panggung serasa berjumpa “Jamal” maupun “Uddin” dalam kehidupan sehari-hari penghuni kota kebanyakan. Mereka yang tinggal di pinggir trotoar, pasar, maupun ruang-ruang urban yang bising. Aktor tidak berperan sebagai “karakter” psikologis; ia adalah fungsionaris atau operator dari sebuah apparatus perangkap19 (peranti sistem strategis yang memiliki jaringan mengontrol dan mengatur).

Kostumnya – kaos lusuh tua berwarna merah, celana kargo, dan topi – adalah tatanan (assemblage) “manusia urban” yang blangsak. Dalam perannya ini, ia persis seperti “Jamal” dan “Uddin” yang diutarakan di muka: operator dari ruang-ruang komunal yang terabaikan, yang disimbolkan oleh properti “WC UMUM” dan “pikulan cuanki” yang diletakkan dekat penonton.

Aktor menggunakan alat ukur canggih yang sering dipakai di forum lokakarya maupun seminar akademik: Mentimeter. Poin presentasinya, “Enam Cara Mengisi Buku Kredit”, ternyata adalah instruksi manual untuk mengoperasikan tatanan interaktif ini. Dengan piawai, ia menjadikan proyektor yang pasif menjadi hidup, bahkan mengubahnya menjadi mesin interogasi yang ia kendalikan melalui smartphone-nya. Sebagai operator, Jamaluddin (aktor) melakukan tugasnya sebagai aparatus dengan sangat brilian – sebuah peran yang paradoks namun ia jalankan secara jujur dan berterus terang saat menggunakan alat ukur canggih.

BACA JUGA:  Meresapi Pertunjukan dan Pameran “Les Bonnes” Ferdy Thaeras

Pertunjukan ini menjerat penonton secara live. Dalam poin presentasi “Kolom Omongan Kalian”, kita menemukan sebuah konsep di mana cara memikirkan sesuatu digerakkan berdasarkan topik yang dilempar oleh aktor. Ini adalah peristiwa yang diaktifkan. Sebagai aparatus, ia benar-benar menjalankan mekanisme wajib rekrut, laiknya wamil bagi setiap warga yang negaranya sedang was-was pada ancaman luar.  Aktor tidak hanya berbicara kepada penonton; ia merekrut mereka, misalnya dengan instruksi: “Bagi anda yang ditunjuk mendekatlah ke Mic… bacalah kramagung berikut…”. Begitulah otoritas bekerja dalam kehidupan sehari-hari.

Mekanisme perekrutan ini memuncak ketika layar meminta, “Tuliskan firman/omonganmu sendiri”, yang menghasilkan respons seperti “IKN mangkrak” dan “Hidup jokowii”. Kemudian, melalui aplikasi Mentimeter di tangan sang aktor, proyektor akan menuntut: “berilah nilai pada firmanmu tadi dengan rupiah”.

Apa yang dialami saat itu? Sembari tertawa melihat beragam respons audiens yang diproyeksikan, kita baru menyadari adanya semacam “tusukan”. Rupanya, kita sedang berada dalam simulasi kekuasaan di mana permainan ini menjalankan mesin abstrak kapitalisme tepat di depan mata kita.

Lebih lanjut, sebagai apparatus penangkap20, tatanan pertunjukan ini secara otomatis memaksa penonton untuk secara sukarela mengubah “omongan” (kritik politik/sosial) mereka menjadi “nominal” (Rupiah/data). Di sini, penonton menjadi kaki tangan dalam aparatus yang mengubah segala sesuatu menjadi nilai tukar.

Akumulasi suara-suara yang divisualisasikan melalui Word Cloud kemudian memetakan rimpang (rhizome) dari kesadaran kolektif yang terjerat. Kita baru terperangah: apa yang menghubungkan “Rp.” dengan “bahlul” dan “kunci-kunci dunia” yang telah ditangkap oleh “Jamal”? Kita terserang oleh afek dari interaksi kita sendiri yang disimulasikan oleh tatanan monolog ini.

Singkatnya, ini adalah performance-lecture yang sangat menarik karena “penelitian” (tentang bagaimana utang dan kuasa bekerja) dilakukan secara live pada penonton, mengubah mereka dari audiens menjadi data yang ter-nominal-kan (Rp. 165,000,-, Minus Rp. 1,000,000,-).

Bagaimana meloloskan diri dari jeratan di atas? Di tengah aparatus digital yang dingin ini, satu-satunya garis pelarian adalah analog: mangkok ayam jago. Ini adalah objek kemanusiaan yang intim, Tubuh-tanpa-Organ milik aktor, di mana ia bisa makan – sebuah tindakan use-value (nilai guna) murni di dalam tatanan yang terobsesi dengan exchange- value (nilai tukar).21

Ruang Aula sebagai Peta Tatanan Kota

Kembali ke Aula Benteng Rotterdam. Ketiga pertunjukan “Alé Lino”, yang dipentaskan dalam satu ruang bersama secara kolektif berhasil mengaktualisasikan pertunjukan teater base on research. Dengan meniadakan sekat panggung dan berbagi kebisingan (“suara AC”) yang sama, penonton tidak lagi “menonton” sebuah drama, melainkan masuk ke dalam diagram dari mesin-mesin yang meng-organ-isasi kehidupan urban.

Pertunjukan autoboigrafi (“Bioskop Sudah Tutup”) menjalankan penyelidikan “diri sebagai teks”, memetakan Kota sebagai Stratifikasi Memori, sebuah medan pertempuran antara dogma (Suara Nenek) dan hasrat (Buku harian Mama) yang “melelahkan” (exhausting) hingga ke bangku penonton.

Lalu, optimalisasi data verbatim (“Makan Siang dengan Tenang”) yang menjalankan penyelidikan “sosial sebagai teks”, berhasil memetakan Kota sebagai Mesin Pengukir Tubuh. Melalui pemetaan ini, kita menyaksikan secara langsung bagaimana mesin sosial patriarki-kapitalis meng-kode-kan tubuh-perempuan (Jamila).

Dan paling menggairahkan adalah performance-lecture (“Buku Kredit”) yang menjalankan penyelidikan “penelitian sebagai teks”. Ia tidak lagi hanya memetakan; ia meng-instalasi-kan aparatus itu di dalam aula melalui Mentimeter, merekrut penonton menjadi partisipan dalam mesin yang mengubah “omongan” (kritik) menjadi “nominal” (data).

Melalui pembacaan ini, “Alé Lino” (Dunia Tengah/Bumi) sebagai tajuk festival bukanlah perayaan yang naif. Ia adalah sebuah pembongkaran yang kritis. Ia merayakan proses-menjadi (becoming)22 manusia secara terus-menerus di tengah mesin-mesin sosial, religius, dan kapitalis yang tanpa henti berusaha meng-organ-isasi serta mengontrol mereka.

Dan, kita semua!


Catatan Kaki

  1. Sekaligus mengingkatkan kembali kepada kita mengenai tradisi pertunjukan di Sulawesi Selatan, yang memang cara berpikirnya melalui ruang (space), bukan stage. ↩︎
  2. Menurut Deleuze, segala sesuatu adalah campuran antara hal-hal material (Isi) dan hal-hal non-material (Ekspresi), yang secara bersamaan ditarik oleh kekuatan untuk tetap stabil (Teritorialisasi) dan kekuatan untuk berubah/kabur (Deterritorialisasi). Itulah Assemblage: entah itu sebuah pesta, buku, atau negara – memiliki dua sumbu utama. Sumbu horizontal adalah isinya, yang merupakan gabungan antara hal-hal fisik (seperti tubuh, bangunan) dan hal-hal non-fisik (seperti aturan, hukum, atau ide). Sumbu vertikal adalah pergerakannya, di mana tatanan tersebut selalu ditarik oleh dua kekuatan: satu kekuatan yang menstabilkan dan membuatnya kaku (teritorialisasi), dan satu lagi kekuatan yang mengacaukan, mengubah, atau membuatnya “kabur” dari aturan (deterritorialisasi). Felix Deleuze, Gilles & Guattari, A Thousand Plateaus: Capitalism and Schizophrenia (London: University of Minnesota Press, 1987). Hlm. 88. ↩︎
  3. Kritik keras Deleuze terhadap Freud adalah Alam bawah sadar versi Oedipus hanyalah panggung teater. Ia tidak lagi memproduksi sesuatu yang baru. Ia hanya mementaskan ulang satu drama yang sama terus-menerus: mitos Oedipus. Ia hanya soal “representasi”. Bagi Deleuze, Alam bawah sadar adalah tempat produksi nyata. Ia membuat sesuatu, ia bekerja, ia terhubung dengan dunia sosial, politik, dan mesin. Ia adalah “unit-unit produksi”. Gilles Deleuze and Felix Guattari, Anti-Oedipus, Capitalism and Schizophrenia (United State of America: University of Minnesota Press, 1983). Hlm. 24. ↩︎
  4. Deleuze and Guattari. “It is at work everywhere, functioning smoothly at times, at other times in fits and starts. It breathes, it heats, it eats. It shits and fucks. … Everywhere it is machines – real ones, not figurative ones: machines driving other machines, machines being driven by other machines, with all the necessary couplings and connections. An organ-machine is plugged into an energy-source-machine: the one produces a flow that the other interrupts. Hlm. 1. ↩︎
  5. Clare Wallace, “Monologue Theatre , Solo Performance and Self as Spectacle,” 1999, 1–16. ↩︎
  6. We call a “plateau” any multiplicity connected to other multiplicities by superficial underground stems in such a way as to form or extend a rhizome. Deleuze, Gilles & Guattari, A Thousand Plateaus: Capitalism and Schizophrenia. Hlm. 2. ↩︎
  7. Lihat juga, “We believe only in totalities that are peripheral. And if we discover such a totality alongside various separate parts, it is a whole of these particular parts but does not totalize them; it is a unity of all of these particular parts but does not unify them; rather, it is added to them as a new part fabricated separately.” Deleuze and Guattari, Anti-Oedipus, Capitalism and Schizophrenia. Hlm. 42. ↩︎
  8. Deleuze, Gilles & Guattari, A Thousand Plateaus: Capitalism and Schizophrenia. Strata are Layers, Belts. They consist of giving form to matters, of imprisoning intensities or locking singularities into systems of resonance and redundancy, of producing upon the body of the earth molecules large and small and organizing them into molar aggregates. Strata are acts of capture… They operate by coding and territorialization upon the earth… Hlm. 40. ↩︎
  9. Deleuze and Guattari, Anti-Oedipus, Capitalism and Schizophrenia. “In order to resist organ-machines, the body without organs presents its smooth, slippery, opaque, taut surface as a barrier. … We are of the opinion that what is ordinarily referred to as ‘primary repression’ means precisely that: … this repulsion of desiring-machines by the body without organs.” Hlm. 9. ↩︎
  10. Eka Kurniawan, Lelaki Harimau (Jakarta, 2004). Hlm. 44-45. ↩︎
  11. Bandingkan dengan Line of Flight dalam Irfan Palippui, “Line of Flight: Membaca Ulang ‘Yang Politis’ Dari Sitti Nurbaya,” mengabari.com, 2025. ↩︎
  12. Deleuze mendefinisikan ulang skizoprenia bukanlah sebuah penyakit, melainkan pengalaman paling dasar terhadap manusia menghadapi realitasnya. Sehingga, afek selalu menjadi pengalaman paling murni karena masih mentah, telanjang. Ia berada di saat intensitas, getaran – terjadi sebelum perasaan diberi nama, bentuk, maupun makna. Deleuze, Gilles & Guattari, A Thousand Plateaus: Capitalism and Schizophrenia. Hlm. 18-19. ↩︎
  13. Gilles Deleuze, “The Exhausted” 24, no. 3 (2011): 3–28. Istilah the exhausted dipinjam Deleuze dari Beckett untuk menjelaskan sosok yang telah kehilangan semua hasrat dan tujuan pribadi. Justru karena kekosongan inilah, ia bisa secara metodis menguras habis segala kemungkinan (kombinatorial), sebuah proses logis yang terikat pada kelelahan fisik, di mana keduanya bertujuan untuk menghancurkan “sang Diri” (Aku). ↩︎
  14. Lihat juga, Paul Ardoin, “Deleuze’s Monstrous Beckett: Movement and Paralysis,” no. 121 (1973). ↩︎
  15. Lihat mengenai diagram di sini. Irfan Palippui, “Seni Rupa Sebagai Mesin Sensasi Yang Melampaui Interpretasi,” mengabari.com, 2025, https://mengabari.com/budaya/2025/09/15/seni-rupa-sebagai-mesin- sensasi-yang-melampaui-interpretasi. ↩︎
  16. But the revolutionary knows that escape is revolutionary – withdrawal, freaks – provided one sweeps away the social cover on leaving, or causes a piece of the system to get lost in the shuffle. What matters is to break through the wall, even if one has to become black like John Brown. George Jackson. ‘I may take flight, but all the while I am fleeing, I will be looking for a weapon!’ Deleuze and Guattari, Anti-Oedipus, Capitalism and Schizophrenia. Hlm. 277. ↩︎
  17. Belén Cerezo, “How to Open My Eyes ? The Performance-Lecture as a Method within Artistic Research” 9, no. 3 (n.d.): 1–12. “Performance-lecture, seperti namanya, berada di antara pertunjukan (performance) dan kuliah (lecture). Mode ini mengambil elemen dari kedua bentuk tersebut,sehingga kita bisa mengatakan bahwa ini adalah bentuk hibrid. ↩︎
  18. This is what we call the abstract machine, which constitutes and conjugates all of the assemblage’s cutting edges of deterritorialization. Deleuze, Gilles & Guattari, A Thousand Plateaus: Capitalism and Schizophrenia. Hlm. 141. ↩︎
  19. “…it is always capable of adding a new axiom to the previous ones. … The capitalist State is the regulator of decoded flows as such, insofar as they are caught up in the axiomatic of capital.” Deleuze and Guattari, Anti- Oedipus, Capitalism and Schizophrenia. Hlm. 252. ↩︎
  20. “To code desire—and the fear, the anguish of decoded flows—is the business of the socius. … capitalism is the only social machine that is constructed on the basis of decoded flows, substituting for intrinsic codes an axiomatic of abstract quantities in the form of money.” Deleuze and Guattari. Hlm. 142. ↩︎
  21. Sebagai bacaan pengantar mengenai nilai guna dan nilau tukar, lihat, Steve Keen, “Use-Value , Exchange Value , and the Demise of Marx ’ s Labor Theory of Value, the Demise of Marx’s Labor Theory of Value,” no. March 1993 (2014), https://doi.org/10.1017/S1053837200005290. ↩︎
  22. Gilles Deleuze, What Is a Dispositif Dalam Michel Foucault Philosopher, ed. Timothy J. Amstrong (New York: Routledge, 1992). In each apparatus we have to untangle the lines of the recent past and those of the near future: that which belongs to the archive and that which belongs to the present; that which belongs to history and that which belongs to the process of becoming; that which belongs to the analytic and that which belongs to the diagnostic.Hlm. 164 ↩︎
BACA JUGA:  Melampaui Pameran : Perjalanan Reflektif dalam “Ariyadhana Gatha”

Daftar Pustaka

Ardoin, Paul. “Deleuze’s Monstrous Beckett: Movement and Paralysis,” no. 121 (1973).

Cerezo, Belén. “How to Open My Eyes ? The Performance-Lecture as a Method within Artistic Research” 9, no. 3 (n.d.): 1–12.

Deleuze, Gilles & Guattari, Felix. A Thousand Plateaus: Capitalism and Schizophrenia. London: University of Minnesota Press, 1987.

Deleuze, Gilles. “The Exhausted” 24, no. 3 (2011): 3–28.

———. What Is a Dispositif Dalam Michel Foucault Philosopher. Edited by Timothy J. Amstrong. New York: Routledge, 1992.

Deleuze, Gilles, and Felix Guattari. Anti-Oedipus, Capitalism and Schizophrenia. United State of America: University of Minnesota Press, 1983.

Kurniawan, Eka. Lelaki Harimau. Jakarta, 2004.

Keen, Steve. “Use-Value , Exchange Value , and the Demise of Marx ’ s Labor Theory of Value, the Demise of Marx’s Labor Theory of Value,” no. March 1993 (2014).

https://doi.org/10.1017/S1053837200005290.

Palippui, Irfan. “Line of Flight: Membaca Ulang ‘Yang Politis’ Dari Sitti Nurbaya.” mengabari.com, 2025.

———. “Seni Rupa Sebagai Mesin Sensasi Yang Melampaui Interpretasi.” mengabari.com, 2025. https://mengabarcom/budaya/2025/09/15/seni-rupa-sebagai-mesin-sensasi- yang-melampaui-interpretasi.

Wallace, Clare. “Monologue Theatre , Solo Performance and Self as Spectacle,” 1999, 1–16

Irfan Palippui
Latest posts by Irfan Palippui (see all)

Irfan Palippui

Irfan Palippui adalah doktor pengkajian seni yang melihat seni melalui perspektif cultural studies dengan menggunakan pisau analisis psikoanalisa, politik, dan estetika. Pengalamannya riset yang ditempa melalui pendidikan hingga jenjang doktoral , telah dipublikasikan secara luas di berbagai jurnal, buku, dan book chapter tingkat nasional maupun internasional. Konfigurasi gagasannya tidak berhenti di ruang akademik. Ide-idenya kerap menjadi pemantik yang memicu lahirnya karya-karya seni pertunjukan dan lintas media. Ia secara aktif menjembatani dunia teori dan praktik melalui perannya sebagai kurator dan dramaturg dalam berbagai perhelatan seni. Kini, selain mengabdi sebagai dosen di Fakultas Ekonomi dan Ilmu-Ilmu Sosial Universitas Fajar, Irfan memegang peran strategis sebagai Ketua Yayasan dan Direktur Makassar Biennale sejak 2025.