Tubuh yang Membaca Sejarah: Pembacaan Reflektif atas “Unjuk Ara” sebagai Aksi Koreografi dan Performatif
Bandung, 6 Juli 2025 — Morgy Coffee, Bandung, menjadi saksi pertunjukan kedua Unjuk Ara: Membaca Sebagai Aksi Performatif yang sebelumnya dipresentasikan dalam rangkaian Makassar International Writers Festival. Jika di Makassar karya ini disajikan sebagai pertunjukan ceramah solo oleh Galuh Pangestri, maka edisi Bandung menghadirkan dinamika berbeda: Galuh tampil bersama lima penari perempuan lainnya—Wanti (Atiw), Meyta, Wening, Utamy, dan Salma—yang turut menjadi perambat dalam proses membaca ulang perjuangan tokoh Larasati.
Keterlibatan lima penari menambahkan lapisan kolektif dalam narasi tubuh yang sebelumnya bersifat personal. Setiap tubuh yang hadir membawa interpretasi dan kekuatan sendiri-sendiri, menciptakan resonansi yang lebih luas dalam ruang pertunjukan. Tubuh tidak lagi hanya menyuarakan Larasati, tetapi juga memperlihatkan perbedaan pengalaman dan afeksi dari setiap penari yang terlibat, menjadikan panggung sebagai ruang temu antara sejarah dan situasi kiwari. Pilihan artistik ini memperluas gagasan bahwa pembacaan tubuh atas sejarah tidak bersifat tunggal. Galuh dan para penari tidak berusaha menjadi Ara, tetapi justru menolak pengkultusan tokoh dan mengajukan kemungkinan lain: bahwa perjuangan bisa lahir dari bentuk-bentuk keberanian yang lebih subtil, lebih personal, dan lebih kontekstual. Mereka menegaskan bahwa menjadi Ara tidak wajib, karena menjadi Galuh, Ways, Udung, Wanti (Atiw), Meyta, Wening, Utamy, atau Salma pun merupakan bentuk perjuangan yang sahih.
Koreografi yang dibawakan Galuh dan para penari tampil tidak dalam kerangka tari konvensional yang mengedepankan struktur teknik dan komposisi estetis formal. Justru, kekuatan koreografi terletak pada gestur tubuh sehari-hari, tubuh yang diam, tubuh yang bertanya, dan tubuh yang bersaksi. Dengan gestur jalan “kepiting” menyamping sambil mengikat rambut, plank maju mundur, split, berdansa dan penggunaan objek seperti sapu tangan merah, koper, serta kursi, tubuh hadir sebagai entitas yang aktif membaca dan menyuarakan keraguan, keberanian, serta ketidaktahuan.
Dramaturgi disusun dengan intensi membuka medan makna, bukan menjawab. Koreografi yang dibangun bersama lima penari tersebut bergerak dalam spektrum pengalaman perempuan masa kini yang mencoba membaca ulang tokoh perempuan masa lalu. Mereka tidak mengambil posisi penutur, tetapi pendengar aktif yang menciptakan dialog antar tubuh. Komposisi pergerakan pun dihadirkan sebagai respon reflektif terhadap teks Pramoedya, bukan sebagai ilustrasi.
Inti penemuan dari pencarian ini terletak pada sebuah gagasan penting: bahwa perempuan tidak harus berjuang dengan cara ekstrem atau heroik. Mereka punya cara sendiri, melalui keheningan, keberlanjutan hidup, keberanian bersuara, atau bahkan melalui proses merawat tubuh dan cerita. Dalam narasi Unjuk Ara, tubuh perempuan tidak didefinisikan oleh sejarah besar, tetapi oleh pilihan-pilihan kecil yang terus dijalani sehari-hari.
Dalam konteks kritik seni pertunjukan, karya Unjuk Ara bisa dibandingkan secara metodologis dengan pendekatan performatif Melati Suryodarmo. Misalnya, dalam Exergie – Butter Dance, Melati mengulang gerakan jatuh dengan sepatu hak tinggi di atas mentega, menunjukkan absurditas dan ketahanan tubuh terhadap sistem yang menindas. Seperti Galuh, Melati memanfaatkan tubuh sebagai ruang ketegangan antara estetika dan ketahanan personal. Namun, Unjuk Ara berbeda secara intensi dan strategi. Jika Melati cenderung menghadirkan tubuh dalam situasi ekstrem yang konfrontatif dan menegangkan, Galuh justru membangun ruang yang reflektif dan naratif. Tubuh dalam Unjuk Ara hadir tidak dalam posisi benturan dengan ruang, melainkan merambat di dalamnya, menjahit makna demi makna dari kenangan, naskah, dan pengalaman kolektif. Koreografinya bersifat lentur dan intim. Kemiripan antara keduanya ada pada penggunaan tubuh sebagai arsip dan ruang tafsir. Tetapi Galuh memilih untuk tidak meradikal-kan tubuh secara fisik, melainkan menempatkannya sebagai organisme aktif yang membaca, mendengar, dan berdialog. Tubuh dalam karya ini bukan alat kejut, tapi alat redam. Ia menyerap dan merefleksikan dunia yang koyak tanpa harus selalu menjatuhkan atau diguncang kekerasan. Dalam Unjuk Ara, tubuh berdaya karena ia bertahan—dan karena ia bisa memilih caranya sendiri.
Dengan demikian, Unjuk Ara bukan hanya lecture performance, tetapi juga koreografi pemikiran. Ini adalah performans yang menyodorkan tubuh-tubuh sebagai ruang tafsir atas sejarah, bukan untuk disimpulkan, melainkan untuk dihidupi terus-menerus. Karya ini tidak mengkultuskan Larasati, tetapi justru memperlihatkan bahwa perjuangan bisa lahir dalam bentuk yang jamak, tidak seragam, dan tidak tunggal. Dan di situlah tubuh—tubuh perempuan, tubuh penari, tubuh pembaca—menjadi agensi sejarah yang terus hidup dan terus bertanya.
Selama hampir satu tahun terakhir, saya terlibat dalam proses Unjuk Ara sebagai koreografer pelatih ketubuhan sekaligus pemberi tawaran artistik gerak. Peran ini membawa saya pada pengalaman yang sangat reflektif, tidak hanya soal bagaimana tubuh bekerja di ruang pertunjukan, tetapi juga bagaimana tubuh menyimpan, membaca, dan mentransformasikan narasi sejarah yang tidak selalu saya alami secara langsung. Proses ini bukan hanya koreografis, tapi juga kuratorial atas pengalaman batin para penari yang datang dari latar yang berbeda-beda. Saya menyaksikan tubuh para penari berevolusi dari sekadar pelaku gerak menjadi pembaca aktif atas teks Larasati—bukan membaca dengan kepala, melainkan dengan lutut, tulang belikat, tulang ekor, dan bahkan jari-jari yang ragu menyentuh lantai. Setiap latihan menjadi ruang temu, bukan hanya antara tubuh dan teks, tetapi juga antar tubuh. Kami mengalami banyak percobaan: dari meniru gestur tokoh hingga menghindarinya sepenuhnya. Tujuan utamanya bukan mengulang sejarah, tetapi menggugah pertanyaan: “Apa yang tubuh kita tahu tentang perjuangan?”
Di akhir proses, saya menyadari bahwa tugas saya bukan menciptakan koreografi yang selesai, tetapi justru membuka ruang kemungkinan. Saya lebih banyak mendengarkan tubuh para penari, membaca ulang intensitas mereka, dan menawarkan struktur tanpa membungkam spontanitas. Dalam dunia yang terbiasa dengan dominasi sutradara atau koreografer, praktik ini mengajarkan saya bahwa seni bisa tumbuh dari demokrasi tubuh. Dan dari sanalah saya belajar bahwa koreografi tidak lagi soal bentuk, tapi tentang keberanian memberi tempat bagi ketakterdugaan dan keberagaman narasi tubuh perempuan masa kini.
Pertunjukan di Morgy Coffee bukan akhir dari perjalanan Unjuk Ara, melainkan bagian dari proses yang terus tumbuh. Kami saat ini tengah menyiapkan pertunjukan lanjutan yang akan digelar di Bandung pada bulan bulan Agustus dan di Jakarta pada bulan bulan September 2025. Kedua momen ini akan menjadi tahap penting dalam pengembangan karya ini secara artistik dan konseptual, seiring bertambahnya kedalaman pembacaan kami terhadap tubuh, sejarah, dan perlawanan perempuan. Proses ini bersifat terbuka dan dinamis. Masukan dari para penonton di Makassar dan Bandung—berupa kritik, saran, dan juga harapan—telah menjadi bahan bakar penting bagi pengembangan kerja artistik kami. Beberapa di antaranya bahkan mendorong kami untuk melihat kembali relasi antara teks dan tubuh, serta memperluas kemungkinan medium yang dapat digunakan dalam penyampaian narasi. Kami terus berupaya mempertajam relasi antara pengalaman tubuh penari masa kini dengan tubuh-tubuh fiktif maupun historis yang mereka baca. Semoga karya ini, saat kembali tampil di hadapan publik, mampu berbicara tidak hanya melalui teks dan narasi, tetapi juga melalui tubuh. Tubuh yang membaca, tubuh yang bertanya, dan tubuh yang menjadi. Karena kami percaya, tubuh adalah ruang hidup yang tak henti-hentinya menggugat dan menawarkan kemungkinan baru atas sejarah, ingatan, dan masa depan.