Senin, Agustus 4, 2025
ULASANLintas Disiplin

Melampaui Pameran : Perjalanan Reflektif dalam “Ariyadhana Gatha”

Sebuah pameran seni seringkali menempatkan pengunjungnya sebagai pengamat, namun pameran transisi “Ariyadhana Gatha” memilih jalan yang berbeda. Diselenggarakan dari 17 Juni hingga 16 Juli 2025 di Galeri Lokananta, Surakarta, dengan tajuk resmi “ ” . Pameran ini mengundang setiap individu yang datang untuk melampaui peran penonton dan menjadi bagian dari sebuah prosesi, menjadikan diri mereka sebagai partisipan aktif dalam sebuah performa.

Pameran ini berawal dari lagu ”Ariyadhana Gatha”. Lagu tersebut berawal dari usulan Gutami Hayu dan Y M Bhante Gunaseno Thera yang memberikan teks Buddha dengan judul yang sama sebagai liriknya. Selanjutnya, ide pokok dan gagasan dari lagu ini kemudian diolah bersama timnya. Tim tersebut termasuk seorang komposer yang mengkomposisi lagu dan seorang penata suara yang mendesain lagu. Pameran ini adalah sebuah upaya meditatif untuk membahasakan tema-tema universal seperti transisi kehidupan, duka, pelepasan, dan penerimaan melalui medium seni yang menyentuh berbagai indra. Pengalaman yang ditawarkan bukanlah sekadar presentasi visual, melainkan sebuah ziarah batin di mana pengunjung adalah pelaku utama.

Pameran “Ariyadhana Gatha” secara efektif mentransformasikan pengunjung dari penonton pasif menjadi partisipan aktif dalam sebuah ritual reflektif. Transformasi ini sejalan dengan gagasan performativitas dalam studi pertunjukan, di mana sebuah peristiwa tidak hanya ditonton tetapi juga dialami secara aktif, menciptakan sebuah “penunjukan suatu perbuatan” atau showing of a doing (Schechner, 2020). Dengan memanfaatkan alur spasial yang terstruktur dan instalasi multi-indrawi, pameran ini berhasil menciptakan sebuah ruang sakral untuk penemuan diri, di mana setiap interaksi pengunjung menjadi bagian dari narasi transformasi personal yang terus berlanjut.

Perjalanan fisik pengunjung sejak awal dirancang sebagai sebuah ritual. Saat memasuki ruang pameran, pengunjung diarahkan untuk bergerak memutar searah jarum jam, sebuah laku yang dikenal sebagai pradaksina dalam tradisi Buddhisme. Gerakan ini seketika menempatkan pengunjung dalam kerangka ritual, menandakan bahwa ini bukanlah sekadar ruang pamer biasa. Perpindahan fisik ini adalah tindakan performatif pertama yang dilakukan oleh pengunjung, sebuah gestur yang secara simbolis memulai “pertunjukan” batin mereka sendiri. Titik awal dari perjalanan ini ditandai oleh sebuah instalasi cermin yang pecah. Fragmen-fragmen cermin tersebut menjadi metafora kuat bagi identitas yang terfragmentasi dan cara pandang yang terbelah; sebuah kondisi di mana seseorang terpaku pada satu identitas atau pola pikir, sehingga dunia terasa penuh pertentangan dan kebingungan.

BACA JUGA:  Jalan Menuju Suwung: Negosiasi dan Transformasi Diri | Ulasan “Ray of Soul”– Komunitas Seni Bajra di Linimasa #5
Gambar1 | Melampaui Pameran : Perjalanan Reflektif dalam “Ariyadhana Gatha”
Gambar: Seorang pemandu wisata sedang menjelaskan karya seni instalasi di sebuah ruang pameran di ruang Rame Dendang, Studio Lokananta, yang dipenuhi dengan elemen visual seperti tirai putih, lampu, dan potongan kayu yang menempel di dinding. Gambar oleh Katresna.

Pengalaman ini terlihat jelas ketika kami memasuki ruangan bersama para hadirin lain dan seorang pemandu wisata. Awalnya, para hadirin berkerumun di berbagai sudut ruangan, namun secara tidak sadar, kami mulai mengikuti alur pradaksina yang terpandu oleh tata letak benda pameran. Pada saat itu, saya menyadari peran saya sebagai seorang performer, sekaligus pengamat terhadap hadirin lain yang juga menjadi performer dalam ruang tersebut. Gerak yang kami lakukan, baik secara sadar maupun tidak, adalah sebuah pertunjukan interaktif yang saling mempengaruhi. Untuk memahami makna performatif ini lebih dalam, saya kembali mengunjungi pameran dan mengundang Gutami Hayu Pangastuti untuk berdiskusi. Refleksi ini memperdalam pemahaman saya, sehingga saya dapat mempertanyakan dan mengikuti kembali gerak pradaksina dengan kesadaran penuh, mengukuhkan peran saya sebagai hadirin sekaligus performer.

Dari kesadaran akan perpecahan diri, pameran kemudian menuntun pengunjung untuk merajut kembali kompleksitas diri. Sebuah instalasi altar dengan gantungan-gantungan pakaian yang terhubung oleh untaian benang merah menjadi simbol visual yang menyentuh. Ia melambangkan bagaimana berbagai identitas dan jejak karma, baik dan buruk, saling terajut dan membentuk siapa diri kita. Di sini, pengunjung tidak hanya melihat instalasi, tetapi diajak untuk “melakukan” sebuah aksi mental dan spiritual untuk merajut kembali pemahaman tentang diri mereka. Di jantung pameran, sebuah cuplikan video musik diputar berulang (https://www.youtube.com/watch?v=L5SSqf-Bxkw), berfungsi sebagai pengingat konstan akan tema utama: proses seorang penari yang perlahan keluar dari selubung tirai, sebuah alegori tentang keberanian menyingkap ilusi (dukkha) untuk memahami realitas yang sesungguhnya, betapa pun menyakitkannya.

Transformasi ini mencapai puncaknya pada momen pelepasan dan persepsi keutuhan. Instalasi “kertas-kertas harapan” menjadi ruang partisipatif di mana refleksi pribadi pengunjung, yang ditulis di secarik kertas, bergabung dengan harapan-harapan orang lain, mengubah renungan individu menjadi sebuah doa kolektif. Tindakan menulis dan meletakkan kertas adalah sebuah performa personal, sebuah ritual pelepasan dan penyerahan yang dilakukan oleh setiap individu. Perjalanan kemudian diakhiri dengan perjumpaan kembali dengan cermin, namun kali ini cermin yang utuh. Berdiri di hadapannya, pengunjung diajak untuk melihat sebuah persepsi diri yang baru, yang tidak lagi terpecah-belah. Ini adalah simbol tercapainya keutuhan, sebuah bentuk pembebasan dari penderitaan yang lahir dari keterikatan pada identitas yang sempit.

BACA JUGA:  (Percakapan) Pendekatan Matematis dalam Another Body - Another Space - Another Time

Kekuatan pameran ini tidak hanya terletak pada konsep filosofisnya, tetapi juga pada kemampuannya melibatkan seluruh indra. Aroma dupa yang menenangkan, kesempatan untuk mendengarkan alunan lagu “Ariyadhana Gatha” secara bertahap, dan sensasi meraba teks-teks reflektif yang dibentangkan pada kain, semuanya bekerja serentak. Pendekatan multi-indrawi ini membuat pengalaman menjadi lebih mendalam (immersive) dan personal, berhasil menerjemahkan konsep-konsep abstrak menjadi sesuatu yang dapat “dirasakan” secara langsung oleh tubuh dan jiwa. Setiap indra yang disentuh adalah bagian dari performa yang menggerakkan kesadaran pengunjung.

Pada akhirnya, “Ariyadhana Gatha” berhasil melampaui fungsi sebuah pameran konvensional. Ia menciptakan sebuah ruang performatif di mana pengunjung tidak hanya melihat karya, tetapi “melakukan” sebuah perjalanan penemuan diri. Pameran ini pada hakikatnya adalah sebuah “bekal”, sesuai dengan makna judul teks aslinya. Ia menjadi pengingat yang lembut bahwa proses mengenali, menerima, dan merajut kembali diri adalah sebuah laku spiritual yang berkelanjutan. Sebagaimana diungkapkan oleh kurator Leica Kartika (2025), “penciptaan sebuah karya layaknya sebuah proses ibadah,” dan pameran ini berhasil mengajak pengunjung untuk turut serta dalam ibadah personal tersebut.

Daftar Pustaka

Kartika, L. (2025). Membahasakan yang Tak Terkatakan [Teks Kuratorial]. Pameran Ariyadhana Gatha, Galeri Lokananta, Surakarta.

Schechner, R. (2020). Performance studies: An introduction (4th ed.). Routledge.

BACA JUGA:  Napas Pantomim Jemek Supardi
M Rhaka Katresna
Latest posts by M Rhaka Katresna (see all)

M Rhaka Katresna

Mahasiswa Studi Agama dan Lintas Budaya, Universitas Gadjah Mada. Menyukai seni pertunjukan.