Elemen, E dari Eksperimen, dan Catatan dalam Bentuk Fragmen dari “Sinsigus in 4#”
1.
Siang, sebuah pesan masuk ke telepon genggam: mengingatkanmu tentang pertunjukan nanti malam. Setelah makan, barulah kau baca pesan itu, pesan yang berisi semacam panduan dan aturan main di ruang pertunjukan. Di situ, ada serangkaian saran dan imbauan, juga wejangan agar datang lebih awal. Tentu, kau senang, sebab mendapat arahan tentang apa yang mesti disiap kala menonton, kala menyimak-menyaksikan. Setidaknnya, kau dapat menyiapkan sesuatu, menyiapkan tubuh dan indra; perkara tepat atau tidak, atau di sana akan bagaimana, bagimu, agak lain timbangan.
2.
Setelah makan malam, kau berganti pakaian; dan lekas berangkat dengan kendaraan. Jalanan begitu padat, dan mendefinisi malam akhir pekan. Ah, sudah sekian malam, aplikasi cuaca di telepon genggam tunjukkan suhu di kotamu dingin. Dan, dalam perjalanan, kau bayangkan, mestinya ada hangat suatu dekapan… Sesampainya di sana, sudah kau dapati riuh dan ramai penonton yang tengah menunggu, menanti dan melakukan registrasi. Dan dirimu mengambil amplop, seperti penonton lain; mengambil amplop yang indah. Di dalamnya, ada nomor duduk: potongan kaset DVD dengan angka; begitu apik. Nomor 45—di bunga mawar ungu.
Betapa, kau memilih menyaksikan di hari kedua, dibandingkan di hari pertama; dan jika ada orang, kawan atau kenalan, yang iseng bertanya padamu tentang alasan kenapa, kau akan menjawab, kau hendak menyaksikan pertunjukan yang sudah dipentaskan sehari sebelumnya dengan pijakan naskah yang sama. Tak lain, sebab kepalamu dilimpahi tanya dan juga rasa penasaran: Seperti apa aktor-pemain dan kru pentas di hari kedua, apa pertunjukan di hari pertama jadi momok dan hantu, apa ada perbaikan atau lain kemungkinan…? Tentu, kau tak bisa menimbang kedua hari itu; sebab kau hanya menyaksi hari kedua. Akan tetapi, kau ingin menerka-nerka dari pertunjukan di kala mata dan telingamu, dan tubuhmu, menyaksikan…
Seruan terdengar, seruan bahwa pertunjukan akan dimulai; dan suara itu pun menyampaikan, bahwa nomor urut sekian hingga sekian diminta masuk lebih dulu; lantas disusul dengan nomor sekian hingga sekian, lalu sekian hingga sekian. Hanya 70 kursi untuk satu sesi pertunjukan. Dan kau pun masuk, melepas sepatu, mencari posisi duduk, lantas bersila dan menyaksi apa-apa yang ada dan bisa tertangkap mata dan telinga, juga sesuatu yang ada di dalam kepala dan dada.
3.
Setelah gelap, lampu pun kembali menyala; dan kau menyaksikan seorang pemain masuk, berpakaian putih seperti atlet, seperti orang yang berolah raga, seperti instruktur atau lainnya. Ia mulai bernyanyi; membaca partitur dengan sepenuh seluruh. Dan, sesuatu di kepalamu lekas iseng berucap: Apa tepat disebut membaca? Seriosa; dan kau berharap tak salah sebut nama. Antara suara dan bahasa berkisar di kepala, dan kau lebih memilih untuk percaya pada telinga: Itu lagu… Lantas, didorong keisengan lain, kau pun mencoba menutup mata, lantas menyerahkan semua pada telinga, tapi tak bisa. Matamu seperti berkata: Ada sesuatu yang mesti dilihat dengan sepasang mata.

Sepasang telingamu memberi tahu itu bahasa, tapi sulit bagimu menerka itu bahasa apa dan apa artinya; dan kau, sebab asuhan ibu-ayahmu, yang dulu punya grup orkes melayu, lebihlah memilih menikmati tempo, tingi-rendah suara, ritme, dan bebunyian yang keluar-terdengar—meski tetap tergoda kepada bahasa, lantas iseng menerka. Dan, lagu itu pun rampung; lampu padam, tampak pemain itu membawa tempat partitur ke tepi, merapikan panggung, lantas kembali ke tengah. Lampu menyala; dan kau lihat tubuh itu berkeringat; basah oleh keringat. Ia minum air dari botol. Ia mengeluarkan peluit dan mengambil laser pointer; lantas menyapa penonton—
4.
Ia menyapa penonton, dengan hanya berbunyi e, dengan variasi bunyi e, dengan nada-nada kalimat yang karib itu. Dan kau teringat pada buku pengantar bahasamu itu: nada datar kala diakhiri titik, nada naik kala diakhiri tanda seru, dan nada turun kala diakhiri dengan tanda tanya. Dan penonton, tentu kau berada di dalamnya pula, seperti bisa mengerti, seperti tahu, walau tak genap pasti memahami, tentang apa yang sebenarnya tengah dikata. Dan kau hanya bisa menerka… Ia menyapa tiap sisi penonton dengan bunyi variasi e; dan berbicara dengan beberapa penonton dengan variasi itu. Penonton pun seolah tahu, dan lekas masuk ke dalam dramaturgi e itu; lalu berbincang-bincang. Dan tanpa lupa menikmati, kau bertanya pada diri sendiri: Apa itu bisa disebut komunikasi? Lalu, setelah genap berbincang-menyapa, ia pun meniup peluit; dan layar di dinding menunjukkan not-not, notasi atas variasi bunyi.
Pemain lain yang ada di antara penonton pun diminta untuk berdiri oleh pemain berpeluit itu, guna membaca not-not tadi. Berbagai variasi bunyi muncul, bukan hanya jenis dari bunyi e, tapi bagaimana bunyi e itu dihadirkan: panjang, pendek, patah-patah, bergelombang, kian naik, kian turun, dan serangkaian kemungkinan. Kepalamu, juga sepasang mata dan telinga, terbiasa dibesarkan bahasa, sebab bangku sekolah tinggi; dan jadi betah bertanya: Apakah itu membaca atau malah bernyanyi atau malah lainnya, apa huruf-aksara dan not itu sama?

Lalu, pemain berpeluit itu kembali meminta penonton untuk turut serta membaca, penonton yang kena sorot lampu. Dan penonton itu pun membaca, membunyikan suara e mencoba. Tak seperti pemain; tetapi tetap sah-sah saja. Sekalian yang lain, penonton yang menonton dan menyimak, ikut tertawa; dan cemas, apabila kena todong juga. Hal itu bergantian, pemain dan penonton, dalam sekian putaran. Lalu, pemain berpeluit itu, yang mana di sepasang matamu genaplah menjelma instruktur, berucap sendiri; mencontohkan dan membaca dengan sesuatu yang bagimu adalah posisi dan cara baca yang benar. Setelah genap semua terbaca, lampu pun padam; berganti ke warna merah-ungu, mungkin pula merah jambu—
5.
Ia, pemain berpeluit itu, menuju ke level; berada di atas matras; melaku yoga atau sejenisnya. Para pemain lain, yang ada di antara penonton, berbisik, menyampaikan sesuatu yang bagimu adalah komentar atas apa yang dilaku si pemain berpeluit itu. Dan kau, yang dibesarkan studi bahasa, merasa sebal sebab amat penasaran tentang apa yang mereka bicarakan dengan hanya bunyi e itu? Di saat itu, kau tiba-tiba merasa seperti turis, seperti seorang jauh yang masuk ke dunia dengan bahasa yang bisa kau raba tapi begitu sulit kau terka.
Dok. Foto: Bijaksana Creative – Razania
Suatu yoga itu kelar; lampu kembali menyala biasa, tak lagi merah-ungu atau merah jambu. Ia, pemain berpeluit itu, kian genap menjadi instruktur; meniup peluit dan meminta seluruh pemain, 6 orang itu, bangkit dan melepas jaket. Lantas, 6 pemain itu mulai pemanasan—untuk suatu kerjaan. Kembali dan kembali, hanya bunyi e yang muncul dan terdengar. Dan setelah kekocakan pada adegan pemanasan, dengan hitungan dari variasi e, mereka pun mulai menatap layar yang menyala: membaca rumus dengan variasi bentuk huruf e. Ada rumus, ada simbol, dan tentu pula ada kata; dan di satu bagian, kau terpukau, sebab mendapati tulisan Error 404. Suatu paduan suara terdengar; memunculkan paduan suara variasi e. Sepasang telingamu mulai merasa suara itu seperti suara sekumpulan katak yang memanggil hujan.

Lalu, tempo makin lekas, makin cepat, makin cepat; ucapan berpijak pada tiga kata dari jenis makanan dengan variasi bunyi e di dalam kata itu. Makin cepat dan makin cepat; makin cepat dan makin cepat. Dan, di suatu titik, ketika kau kira akan sampai pada puncak, ternyata, kau keliru: kau makin terjaga, makin menerka kapan semua ini akan berhenti? Lalu, turun, kian turun, terbata-terengah, mencoba naik tetapi kian menurun, lalu lirih, dan lirih, lantas senyap. Lampu padam! Dan riuh tepuk tangan terdengar di antara ruangan yang gelap: pertunjukan yang terasa lucu, tapi makin horor itu, akhirnya selesai—
6.
Setelah memberi selamat, sejenak berbincang, lalu berpindah ke angkringan, dan berbincang lagi dengan kawan-kenalan, kau pulang ke kecil sebuah kontrakan. Setelah berganti pakaian, memasukkan kendaraan, dan menyelesaikan beberapa soal, kau ambil sekian lembar kertas buram; dan mulai membuat catatan, menuliskan serangkaian kesan setelah dirimu menyaksi pertunjukkan…
7.
Saat melihat poster dan menyaksi pertunjukan berjudul Sinsigus in 4#, garapan Fioretti Vera, kau lekas terbawa pada sebuah novel berjudul CAD*L: Sebuah Novel Tanpa Huruf E, karya Triskaidekaman. Novel itu masuk dalam naskah pilihan Sayambera Novel DKJ 2019; dan terbit jadi genap buku pada 2020. Dan kau, meski terkagum dengan tawaran novel itu, masih belum genap membacanya. Meski begitu, pada suatu kurun waktu, kala datang ke toko buku, dan mendapati novel itu terbuka, kau pun membaca beberapa lembar; dan bergumam lugu: Sial, nggak ada huruf e-nya beneran. Dan, soalan yang membuatmu sebal, kala membaca sekian lembar itu, adalah pernyataan di muka, bahwa ia menulis cerita tanda huruf e itu sebab tantangan kawannya untuk membuat cerpen tanpa huruf e, tapi malah keterusan jadi novel. Ya, model cerita demikian, menurut beberapa yang kau tahu, sudah jamak di luaran; tapi tetap saja memberi asik tawaran. Dan sebab kau di kurun kuliah agak rajin belajar sintaksis, kau paham, ada siasat mengubah semua jadi bentuk pasif: awalan “me(n)—” jadi “di—”. Dan kau iseng saja bergurau: Apa huruf e itu pindah ke semesta pertunjukkan Sinsigus in 4#?
8.
Sepanjang menonton, biografimu terasa terusik. Betapa, kenyataan bahwa kau adalah lulusan jurusan bahasa dan sastra seperti diminta bocor, bahkan tumpah. Saat semester awal, dan amat kau ingat benar, dosenmu memberi suatu parabel sederhana untuk menjelaskan tentang beda antara bahasa dan komunikasi. “Jadi begini,” ucap dosenmu kala itu, dan sering kau pinjam kala mesti menjelaskan bahasa pada siswa, kala kau masih mengajar di SMK, “setiap makhluk, hewan atau tumbuhan, itu berkomunikasi; tetapi hanya manusia yang berbahasa…” Tentu, amat kau amini, pernyataan itu begitu antroposentris; tapi, pernyataan itu sudah dapat membuatmu paham, bahasa dan komunikasi itu berbeda, (menjadi) alat komunikasi hanyalah salah satu fungsi bahasa di antara sekian fungsi lainnya—dan bukan definisi dari bahasa.
Ketika menonton, dan sesudahnya, kau betah bertanya pada dirimu sendiri: Apa yang diucap para pemain itu bahasa, apa mereka berkomunikasi, atau malah tengah bernyanyi, atau… apa yang sebenarnya mereka kerja? Dan sebab itu, kau membalik posisi: Apa yang sebenarnya aku laku; menonton, menyimak, membaca, atau malah semurni merasa? Ah, belum pula, kala kau iseng menimbang posisi kerja bunyi itu dengan ruangan, dengan bunyi dari luar ruangan: lagu dengan bahasa yang kau tahu dengan bahasa yang mengajak bercakap…
Namun, serentetan tanya itu membawamu pada satu pertanyaan lugu: Kenapa hanya e? Dan, kala berupaya mencari tahu, kau malah terbawa sejenak pada biografimu sendiri: Adegan di mana ibumu yang baik, yang penyanyi itu, mengajarimu dengan lembut perihal membaca-mengeja, juga olahsuara. AIUEO… AIUEO… Dan saat menimbang pertunjukan itu, kau merasa, bunyi yang keluar tak seluruhnya e; betapa kau tetap bisa dengar vokal lain dari para pemain—seperti a, i, dan o. Ah, di mana pula u itu? Dan kau menerka, meski ada banyak variasi e dimunculkan, rongga mulut itu seperti tergoda pada a, i,, dan o. Ya, tentu, kau juga siapa pun amat layak ragu pada telingamu itu…
Dan saat menimbang e, kau terbawa pada gurau dosen bahasamu yang lain; meski ia memberi contoh kasus dengan bahasa Jawa: a dan o untuk suatu yang besar, sedang i untuk suatu yang kecil. Ah, ya, krikil dan krakal… Atau, untuk suatu yang dekat dan jauh: di sini dan di sana. Dan, bagimu, e ada di posisi tengah, tengah yang janggal pula sebenarnya. Dan, kau pun menduga, posisi tengah itulah yang menyebab e itu dipilih; dan sebab tengah pula, ia memiliki variasi yang banyak, bisa bergeser ke banyak arah…
8.
Di angkringan, seorang kawan bertanya pendapatmu atas pertunjukan itu, pertunjukan yang disutradara dan dikomposeri Fioretti Vera; dan setelah menyeruput kopi, kau berkata, bahwa kau seperti menonton musik dan mendengar teater. Ah, untung kawanmu kala itu tidaklah meminta penjelasan lebih… Namun, dengan cukup mantap, kau bisa berkata, Sinsigus in 4# bisa menunjukkan, bahwa hanya sebuah bunyi, bunyi e, bisa mencipta narasi dan dramaturgi. Namun, kau tetaplah betah bertanya: Apa tubuh para pemain sungguh benar membunyi e, apa bunyi e telah genap merasuk ke dalam tubuh? Apa tubuh pertunjukkan itu sebenarnya butuh huruf-bunyi lain, butuh huruf vokal lain, butuh konsonan? Ah, betapa kau cukup bisa berkata, ada huruf semi-vokal, seperti h dan y, yang muncul dan terasa. Bukankah huruf-huruf bilabial juga muncul kala menyebut e dengan tak membuka bibir?
Bagimu, bila timbangannya adalah hendak menunjukkan pengaruh salah satu elemen terkecil kehidupan, seperti elemen bunyi e, Sinsigus in 4# dapat dikata berhasil. Namun, bagimu, ada PR terbuka: Sejauh apa bunyi e itu bisa membawa tubuh, ruang, dan juga benda; membawa pemain dan penontonnya; dan akan ke mana e itu membawa?—Apa e pada Sinsigus in 4# akan membawa pemain-penontonnya ke sebuah semesta yang sudah kehilangan huruf e, dan memaksa penguasa di semesta itu untuk turun tahta dan kembali memasukan e ke alfabet dan bebunyian?
9.
“Jika aku rindu padamu, bagaimana aku sampaikan itu hanya dengan huruf dan bunyi e?” []