Menggali “Akar yang Terputus” : Eksperimen Bunyi Sahrul ‘Kepek’ Yuliyanto
Bebunyian berkerumun mengisi celah-celah kosong ruang-sadar kehadiran malam itu. Penonton diarahkan tidak menonton sebagaimana aktivitas yang dialami oleh indera mata. Malam itu cara menonton adalah dengan mendengar. Mendengarkan komposisi eksperimen dengan media saji teknologi spatial sound. Malam itu, menjadi asupan segar sekaligus penanda kesan bagi indera-dengar.
Momen malam itu menjadi kesan pertama mengunjungi Studio Sakatoya Collective. Pada pertengahan tahun ini, Komunitas Sakatoya menggelar beberapa progam workshop dan presentasi karya di studio barunya. Salah satunya adalah Progam Relasi Bunyi 2025 dengan kurator progam Jenar Kidjing. Pada progam ini menampilkan delapan presentasi karya dari praktisi musik terpilih, yang telah mengikuti rangkaian workhshop hingga mempresentasikan karyanya.
Salah satu praktisi musik tersebut adalah Sahrul ‘kepek’ Yulianto. Kepek, sapaan akrabnya bertanah-lahir di Bantul, Yogyakarta. Musik tradisi jawa menjadi identitas bagi keterampilannya dalam menggarap dan membuat komposisi musik. Mulai dari komposisi karawitan hingga komposisi musik untuk pertunjukan kethoprak.

Kepek yang mendapat kesempatan mengikuti Progam Relasi Bunyi memilih untuk menyelami lebih dalam, ekosistem lingkungannya dalam membentuk tradisi yang sedang dan terus ia pelajari. Secara khusus Kepek mengambil sudut pandang pada alam pedesaan dan persawahan. Kepek menyebutkan satu lokasi yang berada di Sewon, dekat kampus ISI Yogyakarta. Yang saat ini mulai menjalar, persawahan menjadi perumahan. Selain itu Kepek juga menyampaikan kegelisahannya terhadap perkembangan teknologi pertanian yang baginya tidak seluruhnya menguntungkan bagi ekosistem pertanian itu sendiri.
Keterikatan sekaligus ketertarikan Kepek menangkap perubahan yang terjadi di sekitar lingkungannya menjadi awal kegelisahan yang dibangun. Mendapati proses untuk melihat lebih dalam. Kepek menjelajahi tangkapan audial yang secara holistik membentuk ekosistem persawahan dan pedesaan tersebut.
Satu menit pertama tidak banyak intensi bunyi yang terdengar, samar-samar seperti suara daun berserakan dan bebunyian hewan-hewan serangga. Suara yang repetitif seperti akan menyiapkan kejutan suara yang akan datang. Apa yang akan terdengar setelahnya, apakah akan mengagetkan, mencengangkan, dan sampai kapan suara-suara ini terus bergulir.
Dengungan suara sapi membuka percakapan komposisi bunyi malam itu. Dilanjut dengan percakapan orang-orang, yang kemudian kembali pada pola repetisi. Ditambah beberapa desakan suara bebunyian mesin yang sedang dioperasikan.
Memasuki durasi delapan semakin bercampur-berserakan suara mesin yang beroperasi, dedaunan yang bergesekan, gaung bunyi melengking, sampai pada beberapa bunyi hasil dari percampuran yang diramu Kepek. Meninggalkan jejak kesan bagi indera-dengar.
Pada pertengahan durasi, bebunyian lonceng sapi (lonceng yang dikalungkan pada leher sapi) turut mengiringi dari serangkaian garis komposisi yang tengah berlangsung. Ditambah dengan dengungan sapi, menjadi sebuah penanda akan dimulainya sesuatu yang baru. Setidaknya garis alur komposisi yang dirancang oleh Kepek.
Suara-suara percakapan kembali muncul. Seiring durasi terus berjalan, percakapan terjadi bukan komunikasi dua orang atau lebih. Seseorang perempuan tua mendengungkan doa mantra, diantara bebunyian yang sebelumnya telah berlangsung.
Komposisi bunyi yang dimainkan Kepek menggiring kedalaman suara dengan pengalaman mendengar yang lebih nyata. Barangkali hal ini menjadi satu artian dalam Relasi Bunyi, komposisi eksperimen yang saling berkawin-erat dengan teknologi spatial sound. Teknologi yang menawarkan pengalaman dengar yang mendalam dan menyeluruh.
Penemuan rancang-bangun teknologi ini berawal dari eksperimen para praktisi sound yang berfokus pada eksperimen pembuatan perangkat sekaligus pengoperasiaan dari sebuah sistem suara. Teknologi spatial sound diaplikasikan melalui ruang studio Sakatoya Collective dengan rangkaian presentasi 8 karya selama 4 hari. Tim kreatif penata suara yang digawangi Mas Gatot dari Rekam Bergerak menggelar sound berjumlah 16 titik. Formasi tersebut dikemas dengan peletakan 8 titik di garis bawah, setinggi kepala orang bersila. 8 titik lainnya digantung di atas. Ditambah perangkat subwoofer berjumlah 2 yang diletakkan di masing-masing sudut ruang.
Sistem yang dijalankan dalam spatial sound 16 titik bersifat tidak pararel. Dalam artian sistem bersifat multi-kanal dengan sistem kerja sound masing-masing beroperasi secara mandiri. Sistem multi-kanal tersebut dioperasikan lewat aplikasi digital yang dapat dimainkan secara langsung. Pada sistem digital tersebut telah dirancang desain tata-letak sound sesuai petetakan titik di dalam ruangan. Desain tata-letak yang berbentuk mandala-melingkar dengan penempatan atas dan bawah menjadikan keluaran suara terkesan lebih nyata. Bersifat imersif.
Spasial Sound tidak berhenti pada tahap ekesperimen ini. Teknologi ini juga dapat diaplikasikan pada rekayasa akustik suara yang mereplika gedung tertentu. Misalnya pada gelaran konser klasik orchestra yang membutuhkan hasil keluaran bunyi yang spesifik, dengan meniru akustik gedung yang lebih representatif. Dan beberapa fungsi lainnya yang terhubung pada presentasi suara.
Kembali pada Kepek. Mendengar “Akar yang Terputus”, dari garis komposisi yang tersaji, dari gelap ruang yang hadir, dari pengalaman dengar indera telinga, rupanya begitu lekat tercium aroma agraria yang kental. Sihir bunyi menggiring pada rangsang indera lainnnya. Hingga mendapati kesan diluar bunyi itu sendiri.
Menjelang bagian akhir durasi, beranjak pada kesan bahwa ada yang diharapakan dari kejadian-kejadian sebelumnya. Suara mesin yang berdesakan, dengungan suara sapi, suara perempuan tua merapal mantra, dan sisa-sisa tenaga dari perempuan tua tersebut. Ekosistem alam pertanian dan pedesaan terus bergejolak. Seperti yang menjadi kegelisahan Kepek. Seperti harapan atas mantra doa perempuan tua. Seperti dengungan sapi yang terus berbahasa. Seperti manusia yang terus menangkap pesan-pesan suara.
Sudah baca yang ini?:
(Un)becoming: Zoom In dan Zoom Out Relasi Ibu dan Anak Perempuannya
Setelah “Pantomim dan Api Gagasan” : Percakapan Dua Penonton
Menyaksikan Dilema Para “Orang Benar” melalui Les Justes
Menghapus Garis Antara “Yang Realis” dan “Yang Mistis” | Catatan Atas Pertunjukan “Kapai-Kapai” Teat...
Menonton Senyap: Mewarisi Tubuh Pantomim Marcel Marceau — Catatan untuk “Urun Tumurun...
Distorsi, Realisme dan Surealisme dalam Monolog "Prita Istri Kita" oleh Teater Nasional Medan
- Menggali “Akar yang Terputus” : Eksperimen Bunyi Sahrul ‘Kepek’ Yuliyanto - 20 Juli 2025
- Menyerap “Dompeng No.2” : Eksperimen Bunyi Muhamad Erdifadilah - 19 Juli 2025
- Ibu Pertiwi, dan Anak-Anak yang Mencintainya - 20 November 2019