Sabtu, Oktober 25, 2025
ULASANPanggung Teater

Kerakusan, Tipis Rembulan, dan Pertunjukan yang Masih Bisa Dimaksimalkan

1.

Setelah serangkaian sederhana seremonial formal, Jade membacakan pengantar, membacakan pembuka puitik pertunjukan berjudul Sindikat Tuak Perempuan: Geragas. Kemudian, lampu genap padam; dan sejenak hening—dan gema pembacaan puitik-dramatik itu masih terasa, masih bergema. Tirai genap dibuka, lampu teduh dinyala, panggung pun menyuguh instalasi yang memukau mata: kain-kain putih yang membentang dari atas—yang menurut dugamu berkisar 4-5 meter. Di sana, sepasang matamu mendapati juga, ada beberapa level yang juga ditutupi kain putih. Musik pun mengalun masuk: mencipta dan mempertebal puitik yang ada. Kemudian, masuk sekelompok aktor: mencipta komposisi, tenggelam dalam koreografi. Sekalian aktor itu berucap: membunyikan larik-larik bergema, bergema. Dan, jarik yang jadi kostum itu, juga riasan di tiap aktor, lekas saja mencuri sepasang matamu, mencuri pandang-tontonmu: memukau, terlebih bila disandingkan dengan kain putih menjuntai itu. Jarik batik itu digerakkan; bergerak dari properti-performatik ke suatu yang metaforik. Dan, puncaknya, tarikan pada penutup kepala. Kata-kata yang diucap bersama-sama itu bergema; dan sampai ke telingamu, kepalamu, dan dadamu, sebagai tanya, sebagai kumpulan tanya tentang seperti apa dan bagaimana jadi perempuan itu; dan bayan hantu dari ungkapan “Perempuan kok gini, perempuan kok begitu…” Kemudian, selesailah komposisi koreografi itu; lantas, adegan pun bergulir kembali.

image001 | Kerakusan, Tipis Rembulan, dan Pertunjukan yang Masih Bisa Dimaksimalkan
Foto Arsip Rumah Sastra Evi Idawati

Musik yang sendu mengalun; dan kau dibuat tenggelam olehnya. Lalu, masuk seorang aktor dengan memainkan jarik kembali, seorang aktor yang menjelma narator. Ia, aktor perempuan itu, mulai bermonolog—dengan begitu dramatik, dengan begitu performatik. Ah, citarasa dari sutradara dan penulis naskah, Evi Idawati, dalam keaktoran amat begitu terasa, amat begitu kentara. Ia pun menyoal tentang bagaimana kesalehan yang hanya dijadikan kedok, tentang agama yang hanya dijadikan topeng, dan tentang apa-apa yang bermuatan batin malah jadi digunakan untuk memuluskan keduniawian. Panggung itu dieksplorasi sambil berdeklamasi: bergema, bergema. Dan kepalamu, yang belakangan dihantui tugas akhir, saat itu dihinggapi iseng tanya: Sejauh mana stamina aktor itu bisa terus menjaga intensitas puitik-dramatik, ya? Lalu, ia menepi; mengambil posisi di sebelah kiri. Adegan bergeser ke sepasang suami-istri; si suami berlari-kabur, sebab dimarahi, dan situasi komikal muncul. Namun, dialog menegas-garis kegetiran: perkara uang dan hubungan, juga kepercayaan. Dan kepalamu, yang dihantui teori-teori asing, teringat pada lintasan pagi-siang tadi, di mana kau lihat story instagram dari salah seorang kawan-kenalan yang ditipu oleh si suami. Ah, hidup lebih fiksi dari fiksi, lebih drama dari drama. Kemudian, adegan pun diakhiri dengan berlari lagi; mengisi pengertian tergesa, kejar-kejaran, dan terengah-engah kembali—

 

Adegan berganti pada citra juragan dan bawahan. Dua bawahan itu diminta memotret oleh si juragan. Dan, kepalamu menjaring kata-kata seperti tubuh, kamera, pose, kontras citra, juga persona. Di sana, kau dapati pula kritik, juga autokritik, terhadap kerja seni itu sendiri; dan, di antara lucu dan getir, sebab merasa tak asing, pada gelisah pilihan kerja seni macam itu, kau tertawa kecil. Kemudian, panggung sepi. Lalu, narator itu kembali bersuara dan beradegan; kembali bermonolog dengan puitik dan dramatik. Ia menyoal tentang tubuh, cantik, memikat, mempesona—dengan diiringi musik yang sendu, musik yang lembut tetapi mengusik pilu. Adegan pun kembali terjalin; kembali muncul narasi dari si juragan dengan si istri di adegan sebelumnya; dan, di sana, kau pun mengetahui relasi ketokohan keduanya: ketua-bendahara. Dan, di sana, soalan politik pun coba dipertebal. Serangkaian naratif terjalin… Lalu, muncul tokoh lelaki, narator lelaki. Ia beradegan, bermonolog dengan puitik-dramatik seperti narator perempuan di muka. Dan, melalui suara itu, tokoh-tokoh lain digarisbawahi perihal tubuh, citra, dan persona—juga benda-benda dan media.

image002 | Kerakusan, Tipis Rembulan, dan Pertunjukan yang Masih Bisa Dimaksimalkan
Foto Arsip Rumah Sastra Evi Idawati

Kemudian adegan-adegan berkisar pada komposisi-koreografi dan monolog puitik-dramatik; adegan yang silih berganti. Serangkaian jalinan naratif dipertebal kembali—memintal narasi yang lebih rapi, berupaya rapi. Setelah adegan penghakiman tokoh suami, kau merasa adegan kembali puitik, kembali bermuat dramatik-performatik. Dua narator tadi saling bermonolog; dan terasa begitu saling melengkapi. Ah, kau ingat tanyamu sewindu lalu: Apa dua monolog dapat disebut dialog? Kedua narator itu menari dari suatu komposisi; dan kau begitu betah menyaksi pada hal semacam itu. Kemudian, komposisi-koreografi massal! Dan kau merasa itu lebih rapi—bila dibanding dengan pembuka. Ada energi yang lebih kokoh di sana! Lantas, sebuah lagu mengalun dengan tempo cepat: sebagai penutup. Di kain putih tengah, tampaklah siluet; dan kau membayang, bila siluet itu jadi spaktakel di awal atau tengah: mungkin dapat mengantisipasi patahan dan kehilangan atmosfer puitik. Dan, pertunjukan pun selesai—

BACA JUGA:  Itu Perputaran Siklus, Bukan Rotasi : Catatan atas “Tatengghun Nemor” — Kamateatra di BWCF ke-12

 

            2.

Setelah pertunjukan, setelah mengucap selamat pada sekalian, juga memberi seikat kembang, dan mendapat gurauan tentang menulis ulasan, kau pun bergeser jalan. Di sebuah kedai kecil, kau memesan kopi panas; dan perempuan itu, perempuan yang kau ajak melihat pertunjukan itu, memesan segelas Milo panas. Di sana, sambil menikmati minuman, ia bertanya tentang bagaimana pendapatmu tentang pertunjukan tadi. Dan kau berkata, begitu menikmati, begitu terpukau menyaksi. Namun…, ucapnya mengejar. Ya, sahutmu lekas, ada beberapa soal dan catatan tentunya. Dan padanya, kau menyampaikan serangkaian soal dan catatan itu. Secara sederhana, kau berkata padanya, jika ada beberapa hal yang sebenarnya, menurut timbangmu, sebagai penonton, masih dapat dimaksimalkan—baik secara presentasi atau gagasan sendiri. Sebagai seorang penyair, dengan segala soalannya, kau jelas kagum pada bagaimana puisi dipentaskan; dikerjakan dengan cara yang demikian oleh Evi, selaku sutradara, dan sekalian aktornya. Dan kau cukup berani berkata, pertunjukan itu bukan hanya memijak pada puisi, tapi mencoba betah berupaya menjadi puisi. Dan, bagimu, itu adalah salah satu soalannya! Ia pun menyimak; meminta lanjutan… Di hadapannya, kau tak pernah bosan berkata, apa yang jadi kekuatan adalah juga yang jadi kelemahan. Dan, bagimu, dalam kasus pertunjukan itu, intensitas puitik itulah yang menjebak. Salah satu jebakannya, ucapmu pada perempuan itu, adalah menjaga atmosfer dan bobot puitik-dramatiknya… Kepadanya, kau sampaikan pula, bila patah, maka membangun lagi nuansa, atmosfer, atau apalah dinama, akanlah sulit sekali; terlebih bila aktor yang membawa belum genap memiliki serangkaian siasat antisipasi. Dan, kau dapati wajahnya yang sedikit kebingungan. Ah, kau pun sadar; dan memulai menjelaskan dari hal-hal yang tampak lebih dulu: dari yang material—

image003 | Kerakusan, Tipis Rembulan, dan Pertunjukan yang Masih Bisa Dimaksimalkan
Foto Arsip Rumah Sastra Evi Idawati 

Kepadanya, setelah menyeruput kopi, dan bergurau bahwa siang tadi kau mencoba citarasa lain dari kopi saset kegemaranmu, kau berkata padanya bahwa instalasi kain putih dan hal-hal yang bersamanya begitu mempesona. Amat kau sayangkan, ketika instalasi itu hanya menjadi instalasi; dan belum menjadi bagian yang solid dari pertunjukan. Dan kau berkata kepadanya, relasi antarbenda, pun antartubuh, memberi relasi magisnya tersendiri di pertunjukan: baik disengaja atau tak benar disengaja. Ia pun meminta penjelasan lebih; dan kau sampaikan, kain putih yang jadi latar dan kain jarik yang jadi properti badan dapat digerakkan dari properti-performatik ke suatu yang simbolik-metaforik. Kepadanya, kau jelaskan, di beberapa adegan, hal tersebut bisa dan mampu; tapi intensitas yang dibawa tak betah—dan seringkali malah mengembalikan kain-kain tadi hanya sebagai benda-properti, sebagai kostum pelengkap diri. Dan, supaya tak dikira terlampau mengarang, kau ceritakan tentang teks dan tekstil… Saat menilik sejarah-budaya, terangmu, akanlah dijumpai, bahasa dan busana, kata-kata dan kain adanya, dibuat-dirawat perempuan. Bukankah ada bahasa Ibu, ucapmu di akhir meyakinkan. Dan ia pun mengiyakan segera…

 

Dan kau menjelaskan pula kepadanya, seringkali, bahasa dan busanalah yang jadi suatu magi pembatas perempuan: bahkan dari perempuan kepada perempuan itu sendiri. Amat ironi, kan, ucapmu padanya, sesuatu yang dibuat perempuan malah jadi jerat bagi dirinya sendiri. Dan ia pun menyampaikan pendapatnya; dan kau mengamini apa yang disampaikannya berkait kata, busana, dan kerja-kerja lainnya. Tentu, sambungmu padanya, kebebasan yang dimaksud itu adalah kebebasan yang bertanggung jawab pula. Dan ia pun paham apa maksudmu itu. Ia pun memintamu kembali menjelaskan tentang yang dimaksud relasi antarbenda dan tubuh tadi… Dan kau sampaikan padanya, bahwa pergerakan dari kain putih yang polos dan bersih ke kain batik yang berproses lama dan telah bermotif, bahkan simbolis, mestinya bisa hadir dan juga tampil dengan lebih. Dengan amat lugu, ia bertanya tentang bagaimana caranya; dan kau pun menyoal tentang komposisi dan koreografi. Penghadiran siluet di kain putih, gerakan dengan kain jarik yang berkisar antara yang tari dan yang sehari-hari, juga pengadeganan kala dua kain tadi tepat berdekatan, bagimu bisa mempertebal bahwa kain tadi bukanlah hanya kain, bahwa gerakan bukanlah hanya gerakan; dan akan amat menuntut penafsiran…

BACA JUGA:  Trem Bernama Desire, Laki-laki itu Memang Seperti Babi
image004 | Kerakusan, Tipis Rembulan, dan Pertunjukan yang Masih Bisa Dimaksimalkan
foto arsip Rumah Sastra Evi Idawati

Saat menyoal tentang gerak, perempuan itu menyampaikan, begitu terpukau pada koreografi yang dimunculkan, pada komposisi gerak yang dihadirkan; dan kau pun mengamini. Ia lantas bertanya padamu, bagaimana tentang tubuh dan gerak tadi… Secara pengamatanmu, dengan mata yang di hadapan perempuan itu disebut kurang tidur, kau dapati, ada tubuh-tubuh yang canggung, tubuh-tubuh yang belum lepas—masih ragu menjadi sebuah tubuh pertunjukan. Di satu sisi, kau bisa beralasan, beberapa aktor yang bermain adalah aktor berusia belasan akhir, atau likuran awal; tapi bagimu, sebab pada beberapa adegan kau lihat mampu, kau cukup bisa bercuriga, bahwa secara keseluruhan pun bisa; sebab itu pula, kau bisa berkata: Masihlah bisa dimaksimalkan! Adapun, secara wacana dan gagasan ketubuhan, kau dapati keberlimpahan hal yang benar bisa digarisbawahi dan dipertebal; terlebih ketika melihat pijakan naskah dan penyutradaraan. Betapa, sebagai pertunjukan yang mencoba berupaya menyoal perempuan, kau membayangkan, bahwa soalan ketubuhan bisa selaras dengan soalan bobot kepuitikan. Serangkaian kata kunci seperti riasan, ponsel, media, citraan, cantik, iman, tingkah laku, kau dapati berkelindan; dan masihlah bisa diperluas-diperdalam—dengan relasi benda dan tubuh tadi, juga bahasa puisi. Amatlah menarik, lanjutmu pada perempuan itu, serangkaian kata dan konsep tadi menjadi medan untuk menguji dan performatik dari tanya bagaimana menjadi perempuan, bagaimana menjadi perempuan yang baik. “Apa perempuan harus cantik, apa perempuan harus ini, harus itu…”

 

Di bagian itu, perempuan itu pun teringat pada ucapanmu saat perjalanan balik dari gedung auditorium Rendra, ISI Yogyakarta; dan kau menggenapinya. Ada satu hal menarik, ucapmu padanya, yang amat mungkin sangat tafsiran bebas sekali… Kepadanya, kau katakan, bahwa subjudul geragas adalah kunci. Kepada perempuan itu, pada suatu waktu, kau pernah cerita, bahwa kau kagum pula pada tubuh perempuan—dalam arti puitik. Tubuh perempuan adalah tubuh yang memungkinkan tubuh lain; sebab di dalam tubuh tersebut ada organ rahim. Dan, kau dapati, tepatnya ketika dan melalui pertunjukan itu, bahwa relasi antara rahim dan perut, tepatnya lambung, adalah sesuatu yang unik, sekaligus pelik. Dan kau dapati wajah terpukau perempuan itu, wajah yang minta kau lanjutkan ucapa setelah menyeruput kopi yang hampir habis. Dan kau ceritakan, di suatu waktu, kau pernah lihat akun yang menunjukkan anatomi tubuh dalam dari perempuan sebelum dan sesudah mengandung: perubahan sebab rahim yang telah berisi janin. Itulah hal unik, dan peliknya, ucapmu lekas. Kau pun lekas menyambung, bahwa perempuan yang mengandung membutuhkan makan dua kali lipat, tapi, sebab perut—yang erat dengan term geragas—yang mengalami perubahan posisi, sebab rahim yang terisi oleh janin bayi,  maka rasa lapar pun tertekan. Bagimu, pergerakan antara bisa menahan lapar dan mesti makan dua kali lipat, dalam kasus perempuan, memiliki puitiknya sendiri; dan bila itu dimunculkan lebih dalam pertunjukan, kau membayang akan sangat apik: pertunjukan itu akan benar-benar menjelma puisi. Namun, kau lekas menyambung penjelasanmu sendiri… Ya, aku paham, ucapmu lekas ke perempuan di hadapanmu, kau pasti menyimpan pertanyaan itu, kan, pertanyaan tentang apa seorang perempuan harus jadi ibu, harus mengandung dan menyusui, agar bisa disebut sebagai perempuan? Dan, ia pun mengangguk; terpukau kecil pada ingatan dan pemahamanmu.

BACA JUGA:  Sebuah Tur dalam Blur, Leu Wijee dan Telusur Tekstur

 

Dan kau lihat tangannya, tangan yang terampil merangkai bunga-bunga, bunga-bunga yang dihadiahkan pada Evi dan Jade; tangan yang juga betah dihinggapi luka sebab merangkai bunga-bunga itu pula: Apa keindahan memang menyakitkan, dan apakah yang menyakitkan memang betah tampak indah? Ia menyalakan ponsel: mengecek jam. Ia berkata padamu, kau mesti lekas balik, mesti lekas membuat ulasan, dan juga beristirahat, sebab esok pagi mesti menggenapi undangan nikahan kawan. Dan, setelah membayar segelas kopi dan Milo, kalian pun genap balik. Dalam perjalanan mengembalikan ia ke kontrakannya, kau berkata padanya, kau menonton sebagai seorang laki-laki; dan tentu akanlah lain, akanlah memiliki suatu beda, dengan seorang yang menonton sebagai perempuan. Ia pun mengiyakan; dan menggenapi pendapatnya tentang pertunjukan itu. Dan, di sebuah belokan, kau dapati tipis rembulan; dan, iseng bertanya padanya: Apa rembulan bisa menambal lubang di dada manusia? Ia lembut berkata: Mungkin, mungkin saja… []

 

(Yogyakarta, September 2025)

Polanco S Achri

Polanco S Achri

Polanco S. Achri lahir di Yogyakarta, Juli 1998; dan menetap pula di kota tersebut. Seorang pengajar bahasa di sebuah SMK di Sleman. Menulis puisi, prosa-fiksi, dan esai-esai pendek; serta sesekali menulis naskah pertunjukan dan memproduksi film. Mengelola Pendjadjaboekoe dan juga Majalah Astro. Bergiat di Komunitas Utusan Negeri Dongeng, sebagai penulis naskah dan pemusik; dan memimpin Sindikat Muda Liar Ngantukan. Sempat menjadi penulis untuk pameran Black Symptoms #2: Aksi/Re/Aksi (2023) dan pameran Jogja Ceramic Fest: Clayboration (2023). Beberapa tulisannya tersiar di beberapa media, baik cetak maupun daring. Dapat dihubungi di FB: Polanco Surya Achri dan/atau Instagram: polanco_achri.