Sabtu, Oktober 25, 2025
ULASANRESENSI BUKU

Roda Kehidupan God Bless: Usaha yang Epik Mengawetkan Rock Indonesia

Tahun ini God Bless berusia setengah abad. Para personilnya pun tentu mempunyai usia yang dibilang uzur: Ahmad Syech Albar (77 tahun), Jusuf Antono Djojo atau Ian Antono (73 tahun), Donny Fattah Gagola (74 tahun), Abadi Soesman (74 tahun), dan Fajar Satriatama (53 tahun). Membahas God Bless tentu saja seperti sebagaimana membaca buku ini, tidak cukup untuk dibahas dalam satu malam. Jadi menuliskannya dalam resensi seperti ini tentu saja tidak cukup dalam satu tarikan nafas saja.

Saya menemukan buku Roda Kehidupan God Bless tulisan Theodore KS dalam barisan buku-buku diskonan di Bentara Budaya Yogjakarta pada 17 November 2023. Tanpa berpikir panjang, saya langsung membelinya. Terlebih saya telah menonton pertunjukan 50 Tahun God Bless pada perhelatan Syncronize Fest 2023 beberapa waktu lalu. Sebagai pecinta musik, terlebih musik rock, buku ini bagi saya merupakan buku wajib.

25908520 2a1e833d 9151 46fa 9b70 6d479b955148 1000 1000 | Roda Kehidupan God Bless: Usaha yang Epik Mengawetkan Rock Indonesia

Buku ini diterbitkan oleh Penerbit Buku Kompas pada 2020. Cover buku yang ikonik yakni rambut kribo Ahmad Albar tentu menohok siapa pun yang hendak membelinya. Wajah pria keturunan Arab keturunan Nabi dengan rambut kribonya yang bulat. Perlu diketahui, gambar tersebut menjadi cover di album pertama God Bless pada 1975 lalu. Selain itu, sosok Ahmad Albar dengan kribonya tersebut pun juga cukup terkenal dengan menjadi cover majalah Tempo, Aktuil, Rolling Stones Indonesia, hingga film-film yang dibintangi Ahmad Albar. Bagi kami yang mencintai musik rock, sosok Ahmad Albar dengan rambut kribonya tersebut sangat menjadi obrolan yang cukup menarik di tongkrongan.

Saya sebagai pembaca buku ini merasa sangat berterimakasih kepada Tuhan dan terbekati olehNya dengan adanya buku ini. Buku ini cukup merangkum perjalanan panjang musik God Bless dari lahir hingga sekarang. Penulis yang merupakan jurnalis, diceritakan dalam buku ini mendapati kisah God Bless sedari 1974 membersamai God Bless hingga ikut mereka tour ke mana-mana. Terceritakan ia yang datang ke rumah Iye di Tebet pada siang yang cerah 1974, selama seminggu dengan gigih dan ngeyel berkunjung meski dihadang penjaga rumahnya. Sebelumnya, ia sudah 3 kali gagal menemui Rockstar itu. “Menemui orang terkenal memang perlu ekstra sabar. Ada yang datang berkali-kali seperti kamu belum juga ketemu, eh… begitu ketemu tidak bisa meladeni wawancara karena harus ke bandara, mengejar pesawat. Atau dengan alasan lain yang sering mengecewakan kita.” keluhnya.

Membicarakan God Bless memang tentu tidak bisa lepas berbicara tentang Achmad Syech Albar yang akrab dipanggil Iye. Diantara personilnya yang kerap bergonta ganti, sang vokalis awet berada di depan. Tercatat hanya Iye dan sang bassis Donny Fatah Gagola yang belum pernah posisinya tergantikan. Iye diantara projectnya yang bermacam-macam memang lebih dikenal sebagai vokalis God Bless daripada pemain film maupun penyanyi solo. God Bless, barangkali memang rasanya lebih besar dari karya-karya Iye lainnya.

Dalam buku ini terangkum bagaimana Iye memang dari kecil selalu mendapat sorotan kamera. Sejak berusia 12 tahun, Iye telah membintangi film Djendral Kantjil dirilis pada 1958. Pada tahun tersebut, Kakek kelahiran Surabaya pada 1946 silam ini juga telah membuat grup musik bocah bersama rekan-rekannya yakni Bintang Remaja. Karir Iye berlanjut dengan pergi ke Belanda pada 1960 dengan modus melanjutkan studi. Dalam proses studinya yang berakhir pada 1972 itu, Iye juga sempat membuat band di Belanda yakni Take Five dan Clover Leaf.

God Bless adalah media darling. Wajah-wajah God Bless menghiasi cover-cover majalah musik yang ngetren waktu itu, Aktuil. Ditulis oleh Theodore bahwa Aktuil seperti menganaktirikan God Bless ketimbang band-band yang lahir pada era itu. Namun, God Bless memang seperti protagonis dalam dunia rock Indonesia. Meski mereka tentu mempunyai cacat karena perseteruan dengan musik dangdut hingga membuat banyak konser berakhir ricuh, kematian personel karena kecelakaan, masalah pergantian personel, dan tentu saja narkoba. Supergrup Deddy Dores, Deddy Stanzah, dan Jelly Tobing yaitu Superkid pun sengaja dibentuk untuk mengalahkan popularitas God Bless. Namun tentu saja usaha itu gagal terlampaui.

BACA JUGA:  Ibu Pertiwi, dan Anak-Anak yang Mencintainya

Sebagai jurnalis, saya merasakan problem penulis barangkali adalah karena terlalu dekat dengan para personel God Bless. Ia terkurung tidak bisa menceritakannya secara faktual dan gamblang mengenai apa yang terjadi. Sungkan barangkali. Namun hal tersebut bisa dimaklumi. Setidaknya Penulis telah membuka sedikit celah untuk generasi ke depan yang melanjutkan kerja selanjutnya.

Sebagaimana panjangnya perjalanan God Bless, saya sebetulnya menjadi mengirit-ngirit membaca buku ini. Saya ingin masuk dalam ke dalam era keemasan rock Indonesia itu. Di mana hingar bingarnya panggung berpadu dengan suasana Kota yang masih belum banyak lampu seperti sekarang ini. Kondisi masyarakat juga barangkali belum sebaik sekarang, meski sekarang juga belum bisa dibilang baik-baik saja. Hal tersebutlah yang barangkali mengilhami God Bless dalam menciptakan karya-karyanya yang syarat dengan kritik sosial. Kehidupan, Balada Sejuta Wajah, Bla… Bla… Bla…, Cermin, dan banyak lainnya. Musiknya yang sangat gagah dan megah berpadu dengan lirik yang puitis menjadikan God Bless seperti susah ada duanya. Iye, Ian, Donny, dan Abadi yang sudah hidup di setiap pergantian Presiden Indonesia telah menjadi personifikasi tentang apa itu bijaksana.

Membicarakan God Bless tentu pasti terkendala akan memilah dan memilih repertoar Iye dan juga Ian Antono. God Bless menjadi rancu oleh beberapa entitas. Yakni God Bless sendiri, Gong 2000, Duo Kribo, dan solo Ahmad Albar. Hal tersebut seperti serancu seperti apa kita menulis God Bless, haruskah ada spasi di tengah 2 kata itu atau tidak. Meski begitu semua orang seperti memaklumi hal yang sebetulnya meribetkan penulis atau jurnalis ini. Setiap orang seperti cukup mengiyakan bahwa yang penting ada Ahmad Albar dan Ian Antono itu adalah God Bless. Dalam buku ini juga terasa seperti itu, bagaimana buku yang jelas tentang God Bless namun di dalamnya ada album dangdut Ahmad Albar dan juga perjalanan Gong 2000 dan Duo Kribo. Namun, tidak apa-apa, seperti dibahas di atas, yang penting ada Ahmad Albar dan Ian Antono, itu adalah God Bless.

Kecaman antara lain dari Ucok AKA, “Sebagai rocker kelas atas, mestinya Albar tidak perlu melacurkan diri dengan menyanyikan lagu dangdut. Gua dibayar berapa banyak pun, tetap gak mau. Karena seorang rocker harus punya prinsip, supaya kita gak jadi sapi-perah cukong kaset.” Halaman 178.

Penulis menghadirkan polemik dalam buku ini bagaimana album God Bless yang secara musikalitas terbaik yaitu Cermin “1980“ menjadi ditenggelamkan sendiri oleh satu lagu dangdut milik Ahmad Albar yaitu Zakia. Album dangdut Iye yang dirilis pada 1979 oleh Sky Records itu menjadi album yang ngetop hingga ke Malaysia. Produksi album tersebut pun mempunyai nilai yang fantastis untuk tahun segitu. Meski begitu, Ucok Harahap, kompatriot Iye dan Ian di Duo Kribo, justru ngomel-ngomel ihwal keputusan Iye untuk mendangdut itu. Sebagaimana judul bab pertama buku ini “Dahsyat dan Spektakuler”, apa yang dibuat Ahmad Albar dan Ian Antono memang seperti itu adanya.

Membaca kata pengantarnya, saya sebetulnya tidak mempunyai ekspektasi berlebih soal buku ini. Saya merasa buku ini toh sama seperti sebagaimana God Bless diceritakan lewat tulisan di media-media konvensional. Namun, setelah dibolak-balik dan dibaca perlahan ternyata banyak hal-hal yang mengejutkan. Cerita pribadi masing-masing personel sungguh ditulis dengan apik dan menyentuh. Dalam alkisahnya, saya seperti melihat sejuta wajah. Mantan-mantan personel terceritakan semua, karena mereka tentu mewarnai perjalanan God Bless. Mantan personel ini diantaranya adalah Ludwig Lemans, Yockie Suryo Prayogo, Fuad Hassan, Soman Lubis, Deddy Dores, Deddy Stanzah, Keenan Nasution, Odink Nasution, Debby Nasution (Nasution Bersaudara), Teddy Sujaya Syah, Eet Sjahranie, Gilang Ramadhan, dan Yaya Muktio.

Kepulangan Iye dari Belanda yang membawa gitaris dari Ludwig Lemans, kecelakaan motor tragis Fuad Hassan dan Soman Lubis di Pancoran, kisah Donny Fatah yang sempat bekerja di staf KBRI, hingga cerita sentimentil Yockie Suryo Prayogo ihwal masa kecilnya hingga kecanduan boat. Masuknya Abadi menggantikan Yockie yang seperti memberi warna tersendiri pada God Bless juga diuliknya dengan ciamik. Proses berkarya God Bless juga dengan menarik ditulisnya. Penulis yang meninggal Mei tahun ini itu telah mewariskan gambaran detil proses setiap rekaman tiap album God Bless. Bahkan detil gear apa yang dipakai oleh para personel.

BACA JUGA:  "Blendrang" Poem Bengsing: Dari Belakang Layar ke Panggung Rasa

Dalam proses penciptaan lagu, God Bless mengajak banyak seniman dan wartawan untuk berkolaborasi. Sjumandjaja (Huma di Atas Bukit, Sesat), Theodore KS (Balada Sejuta Wajah, Selamat Pagi Indonesia, Rumah Kita), Iwan Fals (Trauma, Damai yang Hilang, Orang-orang Kaca), Remy Soetansyah (Bla…, Bla…, Blaaa, Ogut Suping) Sawung Jabo (Sang Jagoan, Anak Kehidupan, Apa Kabar?, Srigala Jalanan, Pengamen Kecil), Ali Akbar (Diskriminasi, Roda Kehidupan, Nurani, Semesta), Hans Miller Banureah (Jalan Pulang), Yudhi F. Oktaviadhi (Syair Untuk Sahabat), Teguh Esha (Damailah Saudaraku, Bukan Mimpi Bukan Ilusi), dan banyak lagi. Penulis mengungkapkan bahwa tidak tahu bagaimana cara God Bless menemukan ramuan seperti itu. “Hanya berdasar feeling saja,” kata Theodore yang dalam buku ini juga pernah ditolak untuk menulis lirik dalam beberapa lagu.

Berbicara mengenai album God Bless, saya merasa yang paling menarik tentu saja album Cermin (1980). Ketidak lakuan album tersebut di masa lalu, hingga dibuat ulang pada 2017 dengan nama album Cermin 7. Log Zhelebour dari JC Records juga pernah merilis 35 Tahun Cermin dengan Log Music-nya pada 2015. Beberapa lagu direkam ulang setelah file masternya rusak. Meski menurut beberapa personel album remake ini lebih bagus, namun album tahun 1980 tetap paling disukai oleh para kolektor.

Cermin bernuansa progressif-rock yang memang sedang berkembang tahun 1970-an, dengan memadukan berbagai unsur musik seperti rock, blues hingga tradisional yang dengan fasih dimainkan Abadi Soesman. Beberapa lagu Cermin memang terkesan rumit dengan menonjolkan kemhiran tiap anggota memainkan instrument musiknya, sehingga durasi lagunya menjadi sangat panjang melampaui lagu rata-rata, misalnya “Anak Adam” 11 menit 58 detik, tapi tetap sangat mengasyikkan terutama di atas panggung, begitu juga “Musisi”. Akibatnya album ini dianggap melawan arus, mendahului zamannya dan konsumen belum siap. Cermin merupakan album God Bless yang paling jeblok penjualannya, tetapi pencapaian estetika adalah salah satu album God Bless yang terbaik.

Halaman 181.

Penulis cukup asyik menuliskan perjalanan di tiap album God Bless di Bab 6 (7+4). 7 Album God Bless yakni God Bless (Pramaqua – 1976), Cermin (JC Records – 1980), Semut Hitam (Billboard – 1988), Raksasa (Logiss – 1989), Apa Kabar (Logiss – 1997), 36th (Nagaswara – 2009), Cermin 7 (Aquarius Musikindo – 2016) dan 4 album Gong 2000 yaitu Gong 2000 (Megapro – 1991), Gong 2000 Live in Jakarta (Ariesta/A Private Collection 1992), Laskar (Megapro – 1993), Prahara (Blackboard – 2000). Buku ini ditulis secara naratif dengan alur yang maju mundur hingga kita harus menebak-nebak periodisasinya.

Membaca penulis bertutur, kita mendapati banyak suasana-suasana yang tak tertebak. Seperti bagaimana Yockie yang keluar dari God Bless karena ngambek Iye dan Ian yang fokus dengan Gong 2000 atau Log Zhelebour yang pusing tujuh keliling ketika God Bless minta tambahan personel gitaris dari Filipina setelah Ian cabut dari God Bless. Teknik menulis seperti ini menurut saya tentu cukup berhasil membuat pembaca menjadi ingin membaca buku ini hingga purna.

Buku ini juga menjadi catatan sejarah bagaimana industri musik di Indonesia berlangsung. Berapa harga produksi sebuah album ini sempat tertulis jumlah nominalnya. Kondisi sosial politik yang terjadi pun juga sedikit tergambarkan dalam tulisan-tulisan di buku setebal 273 halaman ini. Konser Summer 28 yang berakhir ricuh setelah mendatangkan puluhan ribu orang di Tahun 1973 dan God Bless yang bermain membuka Deep Purple juga Suzi Quatro diceritakan berulang karena romantismenya. Hal tersebut barangkali yang menjadi buku ini menarik. Buku ini adalah jawaban God Bless ketika manusia-manusia yang tak mampu bicara dan menyuruh dunia menyimpan tangis dan duka seperti dalam lirik lagu Menjilat Matahari.

BACA JUGA:  Tubuh Kota, Tubuh Kita : Selepas Festival Kala Monolog 2024

Kalau dikatakan mumpuni memang tidak salah karena ketika memulai bisnisnya semua dilakukan sendiri. Memilih lagu, merekam, mencatata judul dengan mesin tik, sampai mengirim sendiri ke toko kaset. Setelah Aquarius berkembang pun Soerjoko tetap bekerja sendiri seperti membeli piringan-piringan hitam (vynil) di Eropa dan Amerika. Aquarius mengarungi tiga fase industry musik kaset: merekam lagu Barat tanpa lisensi (1969-1988), dan dengan lisensi (1988-1997) baru memproduksi lagu Indonesia.

Masa keemasan dialami Aquarius dan industry musik Indonesia decade 1980-an, waktu itu penjualan kaset sekitar tujuh juta keeping per bulan atau 80 juta kaset lebih dalam setahun, decade berikutnya sempat naik tetapi lagi-lagi menurun dilanda krisis moneter dan tumbangnya Prde Baru. Megastore (gerai kaset, CD, PH) di Pondok Indah impian Soerjoko seperti Tower Record atau HMV (His Master Voice) di mancanegara, luluh lantak akibat kerusuhan Mei 1998.

Halaman 243

Saya selalu memberikan hormat setinggi-tingginya untuk God Bless dan penulis yang dengan sukses menceritakannya. Meskipun selama 50 tahun karirnya, God Bless hanya mencatatkan sejumlah 9 album, 3 album kompilasi, dan 3 single. Saat ini God Bless masih terus eksis. Lagu-lagu mereka awet kita dengarkan di antara ratusan lagu yang dirilis tiap tahunnya. Lirik-lirik musik rock yang berbahasa Indonesia memang bisa terasa lebih mengena daripada harus menafsirkan lagu-lagu berbahasa asing. Kesuksesan God Bless menafsirkan ulang musik rock itulah yang telah memberi warisan sangat berharga bagi Indonesia.

Proses dokumentasi via buku seperti ini dinilai penting. Keterbatasan foto atau video di era lalu sehingga kerja-kerja kepenulisan ini mesti dilakukan. Pertunjukan Ucok Harahap dari grup AKA yang terkenal dengan menggantung diri dan membawa peti mati pun hanya terceritakan lewat tulisan. Padahal legenda tersebut masih sangat terkenal di kalangan pecinta musik rock tapi sampai saat ini meski belum tertemukan footagenya. Kerja-kerja seperti ini dinilai penting sebagai bentuk penghormatan kepada seniman panggung yang memberi warisan berharga bagi kita sampai saat ini.

Membaca proses pengkaryaan God Bless yang terangkum dalam buku ini, kita seperti akan memaklumi bahwa seniman tidak perlu terlalu produktif, asal diberkahi Tuhan maka karirnya akan panjang. Bagi saya God Bless adalah band yang selalu menarik dan sangat tinggi. Saking tingginya bahkan bisa sampai Menjilat Matahari. God Bless telah memberi kebanggaan kepada orang Indonesia mengenai bagaimana mencintai musik rock dengan caranya sendiri.

Ismail Noer Surendra
Latest posts by Ismail Noer Surendra (see all)

Ismail Noer Surendra

Penulis lepas asal Lamongan. Bisa disapa di akun instagram @mailboxx_