Rabu, Agustus 27, 2025
ULASANPanggung Teater

Menjelajah Antah Berantah : Distorsi — Dystopia, Utopia dalam “Unknown Territory”

Pernahkah Anda membayangkan sebuah pertunjukan boneka bukan sebagai tontonan untuk menyenangkan hati — melainkan sebagai sebuah perjalanan intens yang menyelami lorong-lorong gelap kesadaran kita? Itulah yang saya alami saat menyaksikan “Unknown Territory” karya Flying Balloons Puppet. Pertunjukan dibawa oleh tokoh Orangutan bernama Pongo, berada di tengah panggung lalu pelan-pelan muncul dari belakang seorang live actor berjalan menghampiri Pongo yang terduduk sepi. Kepala Pongo perlahan bergerak seolah memperhatikan sekelilingnya. Kiri dan kanannya tergantung kain-kain yang tidak beraturan dengan warna yang berbeda-beda. Lalu Pongo seolah ingin beranjak dari tempatnya namun terlihat kesulitan, selanjutnya 2 live actors muncul dari sisi kiri dan kanan panggung saling melengkapi dan akhirnya bergeraklah Pongo. “Unknown Territory” adalah sebuah ruang yang kami jelajahi untuk memahami bagaimana boneka dan pertunjukan memproyeksikan realitas serta menghadirkan situasi tempat kita berada. Bagaimana satu karakter dapat melampaui dirinya dan terhubung dengan relasi yang lebih besar serta jauh lebih kompleks. Kurang lebih seperti itu kutipan tentang Pongo dari Flying Balloons Puppet tentang karya mereka.

Pertunjukan ini bukan sekadar hiburan; ia adalah sebuah eksperimen seni yang santai dan berani. Bayangan umum tentang teater boneka—yang penuh warna, ceria, dan menghibur—harus dibuang jauh-jauh sejak awal. Karena tepat saat memasuki ruang pertunjukan yang remang dan hanya menyisakan satu titik sorot di atas panggung, kita langsung disergap oleh sebuah atmosfer yang suram dan mencekam. Yang ditawarkan di sini adalah semacam “teror” yang lain sama sekali. Bukan teror yang membuat kita menjerit ketakutan, melainkan sebuah kecemasan eksistensial yang merayap pelan, menyentuh sisi paling rawan dalam diri kita tentang apa artinya menjadi manusia di tengah dunia yang kacau balau ini.

MG 2559 | Menjelajah Antah Berantah : Distorsi — Dystopia, Utopia dalam “Unknown Territory”
Unknown Territory oleh Flying Balloons Puppet di Sakatoya Art Space

Sebuah Dunia yang Retak: Latar dan Narasi yang Mengusik

Malam itu — pertunjukan ini menyodorkan sebuah pertanyaan besar yang terus berseliwer setidaknya di dalam kepala saya. Sepanjang peristiwanya berlangsung: “Apa yang tersisa dari kita hari ini?” Di tengah hiruk-pikuk berita tentang perang, krisis iklim, ketimpangan sosial, dan kerusakan ekologi yang tiada henti, pertanyaan itu terasa seperti pukulan telak. Flying Balloons Puppet tidak mencoba menjawabnya, melainkan mengajak kita untuk bersama-sama merenungkannya melalui mata Pongo, seekor orangutan yang menjadi simbol korban dari ambisi dan keserakahan manusia. Dunia yang dibangun di panggung bukanlah dunia literal. Ini adalah sebuah ruang mental, sebuah alam “antah berantah” di mana waktu dan tempat kehilangan batasannya. Kita diajak terombang-ambing antara masa lalu, sekarang, dan masa depan yang suram dalam alur adegan yang terus berganti. Ketidakpastian ini pada awalnya membingungkan, tetapi justru di situlah letak kekuatannya. Kita dibuat merasakan langsung kebingungan dan ketakutan yang pasti dirasakan oleh makhluk-makhluk yang terusir dari habitatnya.

BACA JUGA:  Rasa Dalam Karya Koreografi Pasca Pandemi : Catatan atas Paradance #28

Salah satu aspek favorit saya dari “Unknown Territory” adalah kolaborasi yang nyaris tanpa cacat antara para live actors dan objek boneka yang mereka gerakkan. Biasanya — dalam pertunjukan boneka, ada upaya untuk menyembunyikan atau menyamarkan kehadiran live actor untuk menciptakan ilusi bahwa boneka itu hidup sendiri. Meski begitu, Flying Balloons Puppet mengambil pendekatan yang berbeda dan cukup radikal. Para dalang hadir secara kasat mata, menjadi bagian integral dari pertunjukan. Mereka bukanlah sekadar “penggerak”; mereka adalah jiwa dari boneka. Setiap gerakan tangan dan aliran nafas seakan menyalurkan energi langsung ke dalam boneka yang dimainkan. Boneka memberikan bentuk metafora, sementara live actor memberikan emosi dan nyawa. Ini adalah sebuah tarian chaos yang teratur, sebuah simfoni visual dimana manusia dan objek bergerak dalam harmoni yang sempurna untuk menciptakan sebuah narasi yang menyentil-nyentil hati dan pikiran penontonnya. Flying Balloons Puppet jelas tidak tertarik untuk bercerita dengan cara yang biasa. Mereka meninggalkan struktur narasi linear dan memilih untuk bercerita melalui serpihan-serpihan — suara, cahaya, set dan gerak tanpa dialog. Pilihan gaya ungkap ini mungkin menantang bagi sebagian penonton yang terbiasa dengan alur cerita yang jelas. Meski begitu — justru di situlah letak keunikannya. Dengan tidak adanya “cerita yang dipaksakan”, penonton menerima kebebasan penuh tanpa abolisi untuk menginterpretasikan setiap adegan berdasarkan pengalaman dan perasaan mereka sendiri.

Sebuah adegan lain yang membuat saya termenung adalah  ketika Pongo memandangi proyeksi bayangan dalam frame-frame besi berisi susunan kawat yang menggambarkan bermacam hal dan tergantung pada rantai besi bisa ditafsirkan sebagai keputusasaan, kemarahan, atau mungkin sebuah penerimaan yang pahit. Setiap orang akan merasakan hal yang berbeda, dan itu membuat pengalaman menonton menjadi sangat personal dan intim. Pertunjukan ini memperlakukan penontonnya sebagai peserta aktif, bukan konsumen pasif. Kita dipaksa untuk menyelam ke dalam diri sendiri, menghubungkan titik-titik yang disodorkan di panggung dengan realitas yang kita jalani sehari-hari. Ini adalah sebuah undangan untuk berdialog dengan diri sendiri, sebuah proses introspeksi.

BACA JUGA:  Batas Ruang dan Identitas (Catatan atas pertunjukan Identity Project - FAY)

Judul “Unknown Territory” bukan hanya menggambarkan tema — tetapi juga proses kreatifnya. Terasa betul bahwa Flying Balloons Puppet berada dalam mode eksplorasi yang terus-menerus, baik secara teknis maupun tematik. Mereka terus mendorong batas-batas yang seringkali dianggap “keramat”. eksplorasi mereka terhadap kondisi manusia modern terasa tanpa ampun. Mereka tidak takut untuk menelanjangi kenyataan pahit yang sering kita tutup-tutupi. Pertunjukan ini dengan berani menyoroti “kemunafikan” kita sebagai manusia modern: yang mengaku mencintai alam tetapi terus mengonsumsi sumber dayanya secara berlebihan, yang terhubung secara digital tetapi semakin terisolasi secara emosional, yang mendambakan utopia tetapi justru aktif menciptakan dystopia. Pongo adalah representasi dari segala sesuatu yang kita injak — kita abaikan, dan kita korbankan demi kemajuan yang semu. Melalui matanya, kita dipaksa untuk melihat kembali konsekuensi dari setiap tindakan kita. Eksplorasi ini tidak berhenti pada permukaan; ia menyelam hingga ke akar-akarnya, mempertanyakan nilai-nilai fundamental yang kita pegang selama ini.

“Teror” yang Membuat Kita Melihat Diri Sendiri

Ujungnya — “teror” yang dihadirkan oleh “Unknown Territory” adalah teror reflektif. Ia adalah sebuah cermin raksasa yang diletakkan di depan wajah kita secara kolektif sebagai masyarakat. Ia terasa menakutkan karena yang kita lihat adalah diri kita sendiri—dengan semua kelemahan, keserakahan, dan kontradiksi yang kita miliki. Malam itu — pertunjukan ini berhasil menciptakan distorsi realitas yang justru membuat kebenaran menjadi lebih jelas. Ia menunjukkan dystopia yang bukan datang dari masa depan, melainkan yang sedang kita jalani saat ini. Dan ia mempertanyakan kemungkinan utopia yang masih tersisa: apakah masih ada harapan, atau sudah terlambat? Ini bukan sekadar pertunjukan teater boneka. Ini adalah sebuah pengalaman transformatif, sebuah wejangan visual tentang keadaan kita yang paling getir. Flying Balloons Puppet tidak hanya menghibur; mereka mengajak kita untuk bangun dari tidur panjang dan melihat dunia dengan mata yang benar-benar terbuka. Kehadiran “Unknown Territory” adalah sebuah keberanian. Sebuah karya yang gelap, memukau, dan  sayang untuk dilewatkan, karena pada akhirnya, pertanyaannya bukan lagi “apa yang tersisa dari kita?” tetapi “apa yang akan kita perbuat sekarang?”. Dan jawabannya, ada di tangan kita masing-masing.

BACA JUGA:  Li Tu Tu: Peristiwa Estetis?

 

Indra Jay

Indra Jay

Indra adalah perantau amatir dari Makassar, yang dengan bekal pengetahuan dasar tentang teater dan sedikit pengalaman sebagai tukang kopi ia memantapkan hatinya meninggalkan kampung halaman demi menimba ilmu, membina koneksi, dan jabatan komisaris BUNM. Saat ini tercatat sebagai pelajar aktif di perguruan tinggi seni yang berada di Solo, Jawa Tengah. Ia aktif terlibat dalam beberapa kegiatan kesenian lintas daerah dan lintas provinsi sejak tahun 2018 hingga saat ini. Sedang mengerjakan penelitian tentang teater boneka sebagai pertanggung jawaban akademik atas jenjang yang sedang ia tempuh.