“Blendrang” Poem Bengsing: Dari Belakang Layar ke Panggung Rasa
Selasa malam, 30 September 2025, hujan rintik-rintik turun membasahi Jogja. Namun itu tidak menyurutkan semangat penonton yang datang ke Amphiteater Taman Budaya Yogyakarta untuk menyaksikan peluncuran album perdana kelompok musik Poem Bengsing, yang berjudul Blendrang.
Di bawah langit yang masih berembun hujan, panggung TBY malam itu terasa seperti dapur besar tempat bunyi, kata, dan warna dimasak menjadi satu. Acara ini sekaligus menjadi perayaan tiga tahun berdirinya Poem Bengsing sejak pertama kali terbentuk pada tahun 2022.
Skena Kreatif
Poem Bengsing adalah kelompok musik yang unik—para personilnya justru bukan berasal dari skena musik, melainkan dari dunia teater dan seni pertunjukan. Beberapa di antara mereka dikenal aktif sebagai sutradara, pemain teater, direktur artistik, awak media, penulis, hingga pekerja kreatif di balik berbagai acara.
Panggung memang bukan tempat asing bagi mereka. Namun malam itu, mereka tampil bukan lagi sebagai kru atau sutradara, melainkan sebagai aktor utama: memainkan musik mereka sendiri.
Setidaknya enam orang berdiri di barisan depan, masing-masing dengan mikrofon di tangan—mereka inilah para vokalis: Agung Prakoso, Dwi Jayanti (DJ), Andre Tikus, Brily, Risky Kapong, dan Ramdose. Di barisan tengah, dua keyboardis, Madha Soentoro dan Alandaru, mengapit Hans Prab sang gitaris. Bassis Danijul berdiri di sisi kiri, bersebelahan dengan Alandaru, sementara di sisi kanan tampak Paman Kelik dengan gitar kencrungnya. Di lapis paling belakang, Beni Luluk mengisi kendang dan perkusi, ditemani Kristanto “Ciu” di drum. Total ada tiga belas personil memenuhi panggung—ramai, hidup, dan saling menyokong.

Kostum dan Penampilan
Penataan panggung dibuat layaknya konser band pada umumnya, lengkap dengan tata cahaya, efek asap, dan layar LED besar di belakang. Selain menampilkan logo Poem Bengsing, layar itu juga memunculkan lirik setiap lagu dalam bentuk video bergaya pop art, lengkap dengan simbol-simbol yang memperkuat pesan tiap karya—strategi cerdas untuk mengenalkan lagu-lagu mereka melalui kombinasi tiga elemen: audio, teks, dan visual.
Namun yang membuat malam itu berbeda adalah cara mereka menghidupkan konsep pertunjukan. Di sisi kiri panggung, berdiri instalasi kompor kayu tradisional dengan seorang aktor yang setia menjaganya: Mbah Patub. Sesekali ia berjalan, mengecek nyala api, membenahi kayu bakar, lalu kembali duduk santai sambil merokok. Kehadirannya bukan sekadar ornamen, tetapi bagian dari narasi pertunjukan.
Seluruh personil mengenakan celemek dan riasan wajah warna-warni, menciptakan kesan nyentrik sekaligus teatrikal. Nuansa pawon (dapur) terasa kental di sini. Pesan tersiratnya jelas: mereka sedang memasak. Ya, malam itu Poem Bengsing benar-benar “memasak” pertunjukan mereka sendiri, dan hidangan yang disajikan kepada penonton bernama Blendrang.
Blendrang adalah masakan sederhana yang berisi campuran berbagai sayuran—tiap bahan memberi rasa berbeda, tapi berpadu jadi satu kelezatan. Simbol itu tampak dalam tata warna kostum dan karakter tiap personil. Begitulah album ini hadir: campuran lintas genre, lintas latar, namun berpadu menjadi rasa yang khas.
Repertoar dan Format Pertunjukan
Pertunjukan dibuka dengan dua lagu dari album kedua mereka, Berbagi dan Bersih Diri, disusul kolaborasi dengan penyair difabel netra Yudha Wirajaya, yang membacakan puisinya berjudul Balada Sang Buta. Sesi pertama ditutup dengan lagu Ibadah Malam.
Memasuki paruh kedua, lagu-lagu dari album Blendrang mulai dimainkan. Penonton diajak menelusuri berbagai suasana—dari riang hingga melankolis, dari jenaka hingga reflektif.
Lagu Keluarga Pinus menjadi pembuka sesi utama, memperkenalkan nama-nama personil dengan lirik jenaka dan aransemen ceria. Gerimisi, Batu & Pamanku menyusul dengan nuansa melankolis absurd yang dibawakan secara fun. Ada pula pembacaan puisi karya Fahru Uddin oleh Elyandra, yang disambut improvisasi jenaka dari Mbah Patub di panggung depan.
Kehebohan meningkat saat lagu Kangslupan Sencaki dimainkan dengan irama reggae. Dua penari kontemporer, Danu dan Hanif, muncul dari balik panggung dan menari lincah, diiringi rap spontan dari Risky Kapong—menciptakan momen penuh energi.
Lagu Mengetuk Hati Ikan, dibawakan bersama Kukuh Prasetya Kudamai, menurunkan tempo dengan balada liris yang manis. Sementara lagu utama Blendrang, dibawakan dalam nuansa campursari oleh Agung dan DJ—sederhana tapi hangat, seperti menyantap sayur buatan simbah di desa.
Setelah itu, Tak Hingga Awalnya dibawakan oleh Sedeng Saja, disusul Kencangkan Tali Sepatumu yang bergaya pop punk, menggugah semangat penonton untuk ikut bergoyang. Lagu SIR mengajak penonton bernostalgia dengan nuansa rock ballad, sebelum DJ tampil membacakan prosa Coba Cari sebagai pengantar menuju Sepasang Tanya. Konser ditutup dengan Selayang Rindu Pandang, berirama keroncong lembut, menghadirkan kembali duet Danu & Hanif dalam tarian manis penutup yang menghangatkan malam.

Analisis Pertunjukan
Pertunjukan Blendrang bukan sekadar peluncuran album, melainkan pernyataan estetika tentang bagaimana musik, teater, dan puisi bisa melebur menjadi satu hidangan rasa. Panggung dihadirkan sebagai dapur besar—ruang tempat ide, bunyi, dan tubuh diolah bersama. Instalasi kompor kayu dan kehadiran Mbah Patub menjadi metafora visual yang kuat: seni adalah proses memasak, bukan hasil instan. Penonton seakan diajak masuk ke pawon tempat kreativitas bekerja dengan api kecil—hangat, lambat, tapi mengikat rasa.
Secara dramaturgis, Blendrang bergerak dengan ritme yang cair namun terstruktur. Setiap lagu, puisi, dan improvisasi menjadi bahan masakan yang saling melengkapi. Dari reggae hingga campursari, dari rap spontan hingga prosa puitik, Poem Bengsing menolak batas genre sekaligus menegaskan bahwa keberagaman rasa adalah inti dari harmoni. Spontanitas yang lahir di atas panggung bukan kelemahan, melainkan bentuk kejujuran artistik yang langka di tengah industri hiburan yang serba terencana.
Relasi antara penonton dan penampil menjadi bagian penting dari dramaturgi. Tidak ada jarak; yang ada hanyalah percakapan hangat seperti di dapur keluarga. Setiap tawa, tepuk tangan, bahkan kekeliruan teknis berubah menjadi bagian dari naskah hidup yang ditulis bersama. Dalam kerangka teori performativitas, Blendrang menciptakan apa yang disebut Victor Turner sebagai communitas—momen kebersamaan spontan yang melampaui batas peran sosial.

Pertunjukan Rasa
Pada akhirnya, Blendrang bukan pertunjukan yang berusaha menjual kesempurnaan, melainkan kejujuran. Dengan celemek di tubuh dan rias wajah warna-warni, para personil Poem Bengsing tampil sebagai “koki rasa” yang menolak pemisahan antara kerja kreatif dan hidup sehari-hari. Mereka menunjukkan bahwa seni bukan soal hasil, melainkan tentang bagaimana kita “memasak” pengalaman menjadi makna. Dalam suasana hujan malam itu, Blendrang menjelma menjadi perjamuan hangat—sajian sederhana yang menegaskan bahwa dari pawon kesederhanaan, justru lahir rasa yang paling dalam.
Malam itu, Poem Bengsing tidak hanya menampilkan sebuah konser musik, melainkan pertunjukan rasa. Mereka mengolah bunyi, kata, dan rupa menjadi sajian yang padu—seperti sepiring blendrang yang sederhana namun kaya makna.
Di tengah hujan yang belum reda, penonton meninggalkan amphiteater dengan langkah pelan dan senyum hangat, seolah baru saja keluar dari dapur tempat sebuah jamuan disajikan—jamuan yang sederhana, jujur, dan mengingatkan bahwa kreativitas tumbuh dari kebersamaan.
Sudah baca yang ini?:
Bunyi dari Benda Domestik: Kekeosan dan Harmonisasi : Catatan atas Pertunjukan “Miss-Uo”...
Sandilara dan Bagaimana Manifestasi Hari Rayanya: Catatan Atas “Ana sing Ra Ana” — Teate...
Memungut Pecahan Ingatan, Menyaksikan Luka ‘In(her)ited Silence’
Situs Pasar dan Beban Urban-Domestik Di Gendongan Buruh Perempuan : Membaca “Ganda” karya Valentina ...
Kompleksitas Ambang dalam NoSheHeOrIt
Napas Pantomim Jemek Supardi
- “Blendrang” Poem Bengsing: Dari Belakang Layar ke Panggung Rasa - 16 Oktober 2025

