fbpx
Jumat, April 26, 2024
Panggung TeaterULASAN

Setelah Thanksgiving Ada Apa?

Analisis konten dramatik dari pertunjukan Sehari Setelah Thanksgiving karya Ozzy Yunanda, dipentaskan di Galeri Pasca Sarjana ISI Yogyakarta, 25 Mei 2018.

Oleh : Maulana Mas

Topik tentang “hiperrealitas” merupakan pembahasan yang cukup menarik hari ini, karena bisa dibilang merupakan persoalan yang terus terjadi setiap saat di setiap tempat dan persoalan namun jarang diusung menjadi sebuah pembahasan. Bukan karena tidak penting sifatnya, namun membedah persoalan seperti ini akan melibatkan berbagai sengkarut penilaian yang tiap perspektifnya sama-sama memiliki pembenarannya sendiri-sendiri. Sebagai pengantar mari terlebih dahulu kita intip sedikit apa sebenarnya hiperrealitas itu.

Istilah ini diperkenalkan oleh Jean Baudrillard, seorang pemikir dalam bidang filsafat, komunikasi, dan cultural studies yang mengkaji fenomena sosial dalam era post-modernitas. Beliau menyebutkan bahwa “hiperrealitas” ini merupakan realitas baru / realitas palsu yang dibangun dari tumpukan-tumpukan citra sehingga keberadaannya melampaui “realitas” itu sendiri. Atau juga bisa dijabarkan bahwa dunia yang kita tinggali sekarang hanyalah simulacra: simulasi dari ide-ide yang direncanakan menurut wacana tertentu sehingga menginterupsi kenyataan sebenarnya. Ini mengakibatkan suatu objek dalam kenyataan dapat bergeser takaran nilainya tergantung dari citra yang melekat padanya.

WhatsApp Image 2018 05 29 at 00.16.25 | Setelah Thanksgiving Ada Apa?
Pertunjukan “Sehari Setelah Thanksgiving” karya Ozzy Yunanda. foto: Maulana Mas.

Contoh kasus sederhana, kita menilai sebuah sepatu dari kualitas bahan dan penggunaannya untuk memenuhi kebutuhan tertentu (aktivitas sehari-hari, mendaki, olahraga dan sebagainya). Namun, munculnya kecenderungan fashion mengakibatkan penilaian akan daya guna ini jadi bergeser. Nilai yang ada dalam sepasang sepatu itu tidak lagi dipandang dari kemampuannya untuk memenuhi fungsi, melainkan dari seberapa besar nilai citra yang ada padanya. Sebut saja, sederhananya merk.

Tentu ini bukan lagi persoalan yang asing bagi kita. Namun, bagaimana seandainya atau memang pergeseran nilai yang diilustrasikan ini terjadi pada hal-hal atau objek yang lebih besar skala dan pengaruhnya? Perubahan seperti apa yang terjadi dalam sendi-sendi kehidupan manusia? Misal dalam pertentangan antara pemenuhan kebutuhan dan keinginannya?

Sehari Setelah Thanksgiving mencoba mendekati persoalan ini dari segi konsumeris (kecenderungan belanja) yang meloncat drastis ketika dihadapkan dengan momentum khusus yaitu Thanksgiving (hari bertukar hadiah setelah paskah). Yang mana, karena peringatan itu, gairah belanja orang-orang berlipat ganda lalu membuatnya membabi buta.

Hal ini diperkenalkan melalui narasi pembuka yang berupa suguhan visual dan narasi seorang penutur cerita. Kemudian tingkah menggila akan belanja itu digambarkan dengan ilustrasi performatif seperti adu lomba untuk belanja. Sekelompok manusia di panggung yang berlomba itu belanja dengan begitu buas seakan tidak pernah puas. Gairahnya selalu meledak kembali begitu muncul tokoh yang menawarkan objek-objek baru untuk dikonsumsi. Begitu terus-menerus. Lama-kelamaan dengan semakin berulang dan menumpuknya peristiwa ini, penutur kita semakin bingung harus menjelaskan dengan kata apa kepada penonton tentang yang sedang terjadi. Ia yang mulanya mencoba menjelaskan dengan membacakan kutipan-kutipan konsepsi Boudrillard menjadi semakin bingung seakan kehabisan kata. Di puncak kebingungannya itu,  muncullah seorang bidadari penjelmaan sosok “deux ex Machina”, yaitu tokoh dewa-dewi yang kerap muncul di drama klasik Yunani di puncak peliknya masalah untuk memberikan solusi secara ajaib. Ada dua keadaan yang ditabrakkan di sini: absurditas yang muncul dari fanatisme Thanksgiving dengan “deux ex Machina” sebagai shortcut dari drama yang buntu/angan akan datangnya keajaiban. Hal itu membuat penutur cerita semakin buntu, ia menjadi malas untuk melanjutkan cerita. Dan pada akhirnya menutup drama dengan rasa putus asanya.

BACA JUGA:  Mantra-Mantra Yang Bergerak : Catatan atas “Magic of Women” oleh Studio Taksu

Ada tiga sub bab persoalan yang menarik untuk dibahas di sini: absurditas  fanatisme Thanksgiving, deux ex Machina dan putus asanya penutur cerita sebagai pengembangan dari dasar persoalan yaitu dunia hiperrealitas dan simulacra. Tiga sub bab ini akan saya ulas terlebih dahulu untuk menemukan jalannya menuju muara, tentang hiperrealitas.

WhatsApp Image 2018 05 29 at 00.22.02 | Setelah Thanksgiving Ada Apa?
Koor/orang-orang yang sedang belanja. Foto: Maulana Mas.
Absurditas Thanksgiving

Pertama-tama terkait judul, “Sehari Setelah Thanksgiving” memberikan gambaran tentang kondisi setelah Thanksgiving. Sekilas, apabila Thanksgiving dipahami sebagai ritual belanja yang gila maka konsekuensi logis yang paling mungkin terjadi adalah kehabisan uang. Selain itu berarti pula ritual ini hanya mungkin dijalani oleh oleh orang-orang yang mencapai tingkat kemapanan tertentu sehingga punya modal untuk menjalaninya. Keadaan seperti ini mungkin bisa kita sepadankan dengan berbagai perayaan yang memiliki sifat yang sama walau konteks budayanya berbeda. Suasana Thanksgiving ini pada dunia nyata secara sederhana dapat kita intip lewat salah satu film populer yang dibintangi oleh Arnold Schwarzenegger, yang berjudul Jingle All The Way (1996). Walaupun pada film itu momentum nya adalah Natal, namun ada perjalanan euforia yang juga terjadi dalam Thanksgiving. Di sana diceritakan perjuangan Howard (Arnold S) yang berjuang mati-matian untuk mendapatkan boneka Turbo Man yang telah ia janjikan pada anaknya sebagai hadiah pada saat seluruh orang juga tengah memburunya, karena boneka itu tenar sekali. Di sini dapat terlihat bahwa euforia yang dialami Howard memiliki motif yang khusus, yaitu memenuhi janji pada anaknya. Ada suatu sudut pandang yang lain, secara personal, diantara masifnya euforia belanja yang melanda.

Pada Sehari Setelah Thanksgiving, aktivitas belanja itu digambarkan sebagai laku yang absurd (gila, terjadi berulang-ulang) yang dialami oleh beberapa orang secara general sehingga seolah terjadi tanpa sebab. Seakan belanja adalah salah satu bagian dari naluri kebinatangan yang melekat sejati pada diri manusia dan tidak dapat dihindarkan. Menyaksikan ini membuat saya merasa asing dan bertanya-tanya: “apa sebabnya mereka begitu?”. Bagi saya, wacana hiperrealitas ini diperkenalkan oleh Boudrillard untuk mengkaji secara rinci bagaimana sebuah tanda yang tersemat dalam objek dapat sampai dan berpengaruh pada manusia. Tapi bukan berarti dapat menerjemahkan kecenderungan itu secara general, karena ada banyak faktor pula yang dapat mempengaruhi kecenderungan keinginan pada diri manusia. Pemahaman tentang hiperrealitas ini merupakan jembatan untuk memahami tentang perjalanan bagaimana suatu individu dapat terdampar dalam sebuah simulacra yang tanpa kepastian benar salahnya. Ia menjelaskan bagaimana sebuah tanda dapat memiliki fungsi yang dinamis dan progresif dalam menentukan berbagai macam realitas yang saling tumpang tindih. Maka dari itu, penggambaran secara general akan manusia-manusia yang gila belanja mengesankan tiadanya motif. Sehingga seolah manusia-manusia yang hadir di panggung itu adalah “objek” dari perayaan Thanksgiving, bukan sebagai individu atau “subjek” hidup yang merayakan Thanksgiving. Absurditas yang muncul di sini pun seperti kehilangan titik nolnya. Akan lebih kuat apabila ragam motif yang mungkin terjadi dapat ditelusuri sebagai penajaman belenggu absurditas seperti apa yang terjadi. Sehingga pada akhirnya muncul tegangan dari dunia yang seolah serba benar itu.

BACA JUGA:  Repertoar Pūkheā di Bingkai Balada, Sebuah Catatan Tentang Gunung Dalam Perjalanan Bersepeda Lombok – Jakarta
Deux ex Machina

Ide kemunculan Deux ex Machina merupakan bumbu yang unik. Karena terjadi tumpukan mitos yang lain. Seperti suatu sikap optimis yang terwariskan bahwa ketika situasi sudah sangat pelik maka suatu solusi ajaib pasti akan muncul sebagai penyelamat. Namun ternyata yang terjadi malah sebaliknya, kemunculan Deux ex Machina yang sempat menjadi kabar baik bagi penutur cerita ternyata tidak dapat memberikan perubahan apa-apa bagi para tokoh yang terjebak euforia. Saya membayangkan ini akan menjadi titik balik yang lebih Dramatik apabila memang situasi sebelumnya memiliki kepelikan yang kokoh. Sehingga sebab kemunculan Deux ex Machina bisa menjadi lebih kuat sehubungan dengan kepelikan sebab-euforia belanja sebagai jembatan agar lahir kembalinya, tanpa terkesan seperti ibu peri yang  tiba-tiba muncul menyulap Cinderella agar bisa pergi pesta.

WhatsApp Image 2018 05 29 at 00.20.39 | Setelah Thanksgiving Ada Apa?
Kemunculan deux ex Machina. Foto: Maulana Mas.
Kebimbangan Penutur Cerita

Perwujudan penutur cerita yang tampil sebagai seorang laki-laki bersetelan jas lengkap bagi saya mengesankan representasi dari masyarakat publik atau penonton yang bergaya hidup modern di tengah budaya konsumtif. Ia saat itu merasa tercerahkan karena memahami penjelasan Boudrillard tentang dunia hiperrealitas yang ditinggalkannya, namun pada saat yang sama pun bingung karena tidak dapat melepaskan diri dari jeratannya. Berulang kali ia mencoba melawan namun tiap kali itu juga ia dibunuh oleh sebuah suara tembakan yang datang entah dari mana. Berkali-kali ia mencoba bangkit dan meneruskan penjelasan dan pembelaannya tentang sengkarut hiperrealita namun tetap saja gagal. Pada akhir cerita, dalam keputusasaannya ia mengubur teman-temannya yang telah mati dalam keadaan gila belanja. Tragedi kematian di ending ini dibuka dengan alienasi penutur cerita yang memilih untuk keluar dari drama karena jengah. Sikap putus asa penutur cerita ini, menunjukkan tidak adanya sikap atas persoalan yang diperkenalkan dalam drama ini. Sehingga seolah mau tidak mau harus ditutup. Tanpa titik kunci apakah pro, kontra atau membuka sebuah ruang antara.

BACA JUGA:  Menonton Senyap: Mewarisi Tubuh Pantomim Marcel Marceau — Catatan untuk “Urun Tumurun” Laboratorium Obah
WhatsApp Image 2018 05 29 at 00.17.05 | Setelah Thanksgiving Ada Apa?
Kematian Penutur Cerita. Foto: Maulana Mas.

Simpulan

Wacana post-modern adalah diskursus yang sangat menarik untuk didalami hari ini karena ia dapat memberikan keterbukaan untuk perspektif subjektif yang dapat menjadi kekayaan pengetahuan baru. Sebab dalam diskursus yang sebelumnya, yang dikritik oleh ilmuwan-ilmuwan post-modernist yaitu “modernisme”, segala pengetahuan atau teori yang tercipta cenderung menyamaratakan sesuatu yang ada atau menjadi bagian dari diri manusia. Itulah kesenjangan yang saya rasakan ketika menonton Sehari Setelah Thanksgiving ini. Saya tidak mendapatkan perspektif baru dari pengaruh kecenderungan konsumtif yang marak terjadi kini. Kesan yang terbias pada saya sebagai penonton adalah pengkarya sedang mengkutip argumen yang ada dalam buku lalu menerjemahkannya menjadi bahasa visual. Tapi belum terjadi kedalaman pendekatan secara subyektif dari pengkarya dengan persoalan, khususnya diskursus hiperrealita. Dampak yang muncul adalah adegan-adegan yang tersaji cantik/photogenic seperti tidak memiliki keterkaitan yang bisa diterjemahkan secara utuh dan terangkai menjadi suatu sajian situasi Dramatik. Argumentasi yang muncul dari pertunjukan adalah penjelasan-penjelasan atau kutipan tokoh besar yang instruktif, tidak menjadi pengalaman estetik yang dapat membuka ruang dialektika baru bagi penonton untuk melanjutkannya dengan pencarian kebenaran dari persoalan yang tersaji. Wacana post-modern baru dipilih sebagai objek material drama namun belum bulat lahir sebagai argumentasi subyektif yang dapat dijadikan petunjuk untuk membangun kesadaran diri akan persoalan hiperrealitas yang ada di sekitar kita.

Demikian kiranya, setitik pengetahuan yang dapat saya pandang. Semoga dapat bermanfaat, menjadi sumbangsih ilmu pengetahuan dan dapat membuka kembali pandangan untuk menjajaki dunia dengan cara yang lebih luas lagi kedepannya. Kurang lebihnya saya mohon maaf. Salam.

Maulana Mas

Maulana Mas

Aktor dan musisi. Sedang menempuh pendidikan di Jurusan Teater ISI Yogyakarta.

One thought on “Setelah Thanksgiving Ada Apa?