fbpx
Jumat, April 19, 2024
Panggung TeaterULASAN

Teater Tanpa Pagar: Imaji-intelektual, Keterjajahan Mental

Oleh: Mathori Brilyan.

Tulisan ini bisa jadi hanya akan menyesakkan pikiran pembaca. Apalagi tentang teater, duh adakah yang akan menanggapinya? Tapi saya hanya bercita-cita untuk menjadikan apa yang telah saya tonton menjadi sesuatu yang tidak sia-sia. Karena setiap peristiwa kehidupan menjadi modal pengetahuan, tak terkecuali teater yang menjadi bagian dari peristiwa pengetahuan. Teater yang saya saksikan malam itu dibuat oleh mahasiswa, kaum intelektual aset negara. Mahasiswa yang telah membuat sajian teater malam itu, mungkin menjadi tidak sia-sia dengan apa yang telah dibuat, mereka sajikan dan mereka kabarkan pada publik tentang pengetahuan melalui teater. Teater hadir pada ruang publik intelektual, dibuat oleh mahasiswa, disajikan di kampus-taman pendidikan mereka.

Ketika teater ditempatkan sebagai peristiwa publik, tentu ia akan menjadi bagian dari kelangsungan hidup masyarakatnya. Apalagi ketika teater malam itu dihadirkan di tempat terbuka, di tengah keramaian kampus dengan hilir mudik para mahasiswa lintas intelektual. Ada yang datang sekedar mampir tidak sengaja karena melihat ada sedikit keramaian yang tidak biasanya mereka lihat. Ada pula yang datang dengan niat untuk menonton, menjadi penonton, termasuk saya. Saya meniatkan diri untuk menonton. Dan karenanya saya yang dari luar, apa yang saya tonton berbekal rasa penasaran mengenai ruang di mana teater hadir di sana. Menonton masyarakat kampus, arsitektur bangunan kampus, sedikit tentang kultur dari mahasiswa kampus tersebut, dan menonton teater yang tanpa pagar, peristiwa publik malam itu.

Menjadi penonton yang penasaran tentu akan memasang indera dengan baik, dan mencoba ingin mengerti tujuan dari teater itu dibuat. Teater dengan proses jerit payah, menggerogoti pikiran hingga batin, menggoda keimanan dalam diri dan seterusnya, mungkin, jika hal itu memang terjadi. Teater malam itu dibuat dengan sebuah narasi yang berangkat dari ide. Ide yang dapat kita pahami sebagai pondasi berpikir, bekerja, dan mencipta. Tentang imajinasi, ide yang akan dikabarkan pada publik malam itu, jika apa yang dipahami tentang imajinasi menjadi sebuah jalan untuk menemukan diri. Manusia yang penuh daya cipta. Kira-kira seperti itu, sependek yang saya pahami.

1. Teater tanpa pagar Mathori Brilyan2366 | Teater Tanpa Pagar: Imaji-intelektual, Keterjajahan Mental
Poster publikasi, judul pertunjukan : Sekianter-imajinasi.
Sumber : Pesan WhatsApp dari Moksha Iman.

Imajinasi akan dapat tercipta atas dasar produksi setiap manusia. Manusia dengan fasilitas akal, jiwa, batin, nafsu, dan yang lainnya akan sangat produktif untuk menciptakan imajinasi. Dan karena merupakan produksi pribadi, tentu akan bersifat sangat privasi. Menerjemahkan imajinasi yang privasi ke dalam teater yang publik, bagaimana akan bertemu. Salah satu kebutuhan teater memang menciptakan imajinasi, benar. Seni membutuhkan imajiansi, siapa yang akan menyangkal. Lalu teater yang adalah peristiwa publik, merupakan sekumpulan tanda-tanda sebagai upaya untuk menerjemahkan gagasan, menyajikan imajinasi pembuatnya. Artinya, hanya akan menegaskan kembali, teater yang peristiwa publik tetaplah sesuatu peristiwa yang disengaja untuk hadir pada ruang publik. Teater merupakan peristiwa yang disengaja, ada niat yang tertanam, ada gagasan yang membekali, ada semangat kehadiran sebagai sebuah seni publik. Tidak tanpa gagasan lalu hadir begitu saja, tanpa tanggung jawab. Ya, sebagai peristiwa publik, tentu teater mendapat tanggung jawab sebagai bagian dari peristiwa kebudayaan suatu masyarakat. Terlebih malam itu, publiknya adalah sebuah masyarakat intelektual kampus yang hilir mudik membawa cita-cita intelektualnya. Apa yang menjadi imajinasi mahasiswa pembuat teater, imajinasi seperti apa yang lahir dari masyarakat intelektual kita, apakah ruang publik intelektual memiliki peran dalam memantik imajinasi masyarakatnya?

BACA JUGA:  Teater Mandiri Menyentak Untuk Mandi Sendiri di ISI Yogyakarta

Saya sedikit bingung, bagaimana saya harus menceritakan teater malam itu. Hmm kira-kira seperti ini. Saya datang, memasuki sebuah kampus, lampu remang-remang dan sekelompok orang yang berkerumun menandai peristiwa teater. Di samping keramaian itu, bisa kita lihat bangunan megah yang menjadi fasilitas pendidikan untuk mahasiswa, tidak kalah mentereng dengan bangunan hotel di kota ini. Teater dimulai, bagaimana saya harus bercerita, hmm, ya kira-kira seperti ini. Yang saya ingat, malam itu saya melihat :

  1. Sepasang perempuan dan laki-laki menaiki gerobak. Perempuan tersebut mengenakan kebaya serta jarik. Gerobak ditarik oleh laki-laki menggunakan helm tanpa kaca.
  2. Sepasang perempuan dan laki-laki seperti sedang melakukan bulan madu.
  3. Perempuan dengan pakaian kebaya dan jarik mengecup bibir laki-laki diatas gerobak. Perempuan naik birahi, mengecup bibir, leher, wajah laki-laki. Perempuan dan laki-laki melakukan aksi, selayaknya berhubungan seksual, diatas gerobak. Laki-laki terlentang, perempuan diatasnya, hanya tubuh perempuan yang terlihat, dengan pakaian kebaya.
  4. Perempuan mengeluarkan pedang, entah dari mana, untuk maksud apa. Perempuan dengan pedangnya berteriak. Turun dari gerobak, teriak, berjalan memutari gedung. Perempuan mengumpat, seperti mencari seseorang yang akan ia bunuh, seperti perempuan yang butuh keadilan, atau hanya perempuan yang labil akibat hubungan seksual sembarangan, kurang tau.
  5. Laki-laki yang lain, hanya mengenakan celana berwarna kulit. Tubuh tengkurap, disorot lampu, seperti pembuka dari film Bean. Laki-laki itu menjadi bayi, merengek-rengek. Kemudian ada laki-laki menyodorkan sebuah surat, laki-laki yang menjadi bayi membaca surat itu. Saya kurang jelas mendengarnya.
  6. Perempuan melepas pakaian kebaya dan jariknya di bawah pohon. Lampu meneranginya. Pakaian dalamnya; celana pendek jeans dan tanktop warna hitam. Saya tidak tahu apakah ada pertimbangan atau tidak, beberapa pakaian yang dikenakan.
  7. Perempuan mengumpulkan kayu, hendak membuat api unggun. Sempat menyalakan korek, tapi api unggun tidak nyala, entah gagal atau apa. Perempuan itu menenggak air minum yang wadahnya adalah botol gepengan khas botol miras. Ceritanya dia mabuk. Tapi waktu itu mungkin efeknya cuma kembung.
  8. Laki-laki yang dikecup oleh perempuan tadi, memeluk pohon di sekitar tempat pentas diselenggarakan. Dia seperti menyetubuhi pohon itu. Tidak cuma itu, ia juga menyetubuhi tangga, pondasi semen dekat penonton duduk, tiang besi, serta menara besi yang sudah kusam. Laki-laki itu mengucapkan sange satu, sange dua, dan seterusnya.
  9. Seorang laki-laki seperti melakukan sholat, tapi memang benar, persis dengan gerakan sholat. Ia menggunakan pakaian kolor pendek seperti mau futsal, tanpa baju, badannya lusuh, mencoba khusu, mengucap Allahuakbar.
  10. Laki-laki yang sholat mengenakan celana pendek tadi, ketika sampai pada gerakan sujud, setelahnya ia justru menjunkirbalikkan badannya. Maunya apa? Lucu juga enggak, atraksi tubuh? Kayaknya juga enggak. Oh, tanda? Saya belum paham.
  11. Laki-laki dengan ucapan sange bertemu dengan laki-laki. Mereka berpelukan, salah satu laki-laki mengecup pipi laki-laki lainnya. Kedua laki-laki membangun imajinasi seperti memasuki rumah orang pintar, ya semacam dukun. Ternyata kedua laki-laki tadi adalah Bapak-Anak, duh saya gagal memahami.
  12. Laki-laki yang seakan bertindak sebagai dukun mengenakan penutup kepala hingga muka berwarna hitam. Ada tiga laki-laki di sana. Di dekatnya, perempuan tadi tergeletak lemas karena mabok,
  13. Tiga laki-laki memberikan sambutan kepada penonton. Ketiganya mengatakan jika malam ini akan menemui peristiwa monumental. Laki-laki yang mengatakan sange tadi menginjak gundukan kuburan, penuh keceriaan, terpancar dari wajahnya yang
  14. Tiga laki-laki menutupi perempuan yang tergeletak lemas dengan kain hitam panjang. Tiga laki-laki berebut untuk masuk ke balik kain hitam itu, seperti memasuki goa gelap. Goa yang berisi perempuan lemas.
BACA JUGA:  Catatan Seorang Penonton "Sulamin Bibir Saya Dong"
1. Teater tanpa pagar Mathori Brilyan7842 | Teater Tanpa Pagar: Imaji-intelektual, Keterjajahan Mental
Laki-laki dan Perempuan di atas gerobak, akan melakukan hubungan seksual. Foto oleh : Ahmad Vaida

Sebagai sebuah peristiwa publik yang sengaja dihadirkan, sudah seharusnya memiliki kesadaran terhadap cara penyampaiannya. Hal ini yang akan memberi pemahaman jika sebuah seni, termasuk teater, memiliki cara khusus ketika berhadapan dengan publiknya. Cara khusus yang menentukan bagaimana seni tersebut dapat diterima sebagai sebuah gagasan ke ruang publik. Apakah ketika akan menghadirkan sebuah cerita kelahiran anak, akan memperlihatkan bagaimana tubuh perempuan bekerja untuk mengeluarkan jabang bayi dari tubuhnya. Cara khusus yang dimiliki seni, hmm teater, adalah bagaimana melakukan sebuah proses kreatif, merumuskan imajinasi, serta penghadiran segala tanda yang akan diterima sebagai sebuah peristiwa bersama. Antara penyampai gagasan dengan penerima, pembuat teater dengan penonton, dan yang privat sekalipun dengan publik.

1. Teater tanpa pagar Mathori Brilyan8788 | Teater Tanpa Pagar: Imaji-intelektual, Keterjajahan Mental
Laki-laki naik birahi, menciumi pohon. Foto oleh : Ahmad Vaida

Setiap kabar mempunyai cara untuk sampai pada penerimanya. Begitu juga teater, memiliki cara kreatif untuk sampai pada penontonnya. Membahas hal ini akan sedikit mengusik mengenai apa yang terjadi di balik layar sebelum teater itu sah untuk terjadi. Apa yang dilakukan pembuat teater tentu mengalami negosiasi publik, sebagai sebuah kabar yang akan disampaikan. Tapi saya tidak melihatnya pada seni publik teater malam itu. Teater sebagai suatu perayaan imajinasi hanya mendekap dalam lorong hitam diri yang terpuruk. Sesuatu yang privasi, gagal untuk menjadi sebuah konsumsi publik, ingat, konsumsi yang akan dikunyah adalah sebuah seni. Seni yang dipahami sebagai produk kebudayaan masyarakat.

Tugas dari pembuat teater bisa dipahami sebagai produsen tanda. Dari abstraksi ide yang tumbuh, dibahasakan menjadi sekumpulan tanda. Dimulai dari sebuah titik, bergerak menuju garis, membentuk sebuah ruang konsep. Ruang dengan penyajian bingkai teater. Dapat kita pahami bersama, teater merupakan sebuah bingkai, produksi framing yang dibentuk dengan sebuah komposisi gagasan. Sebagai sebuah bingkai, tentu memiliki pagar, menciptakan sebuah batas, karena teater sebagai peristiwa yang khusus. Teater yang tanpa pagar merupakan kenyataan imajinasi masyarakat intelektual kita, beserta ruang publik yang memayungi. Tanpa pagar, tanpa batas, tidak sekedar dipahami sebagai pemilihan tempat pertunjukan yang mendesak ruang publik untuk di luar ruangan yang tanpa batas, siapapun bisa menonton. Namun lebih dilihat sebagai kenyataan terpuruk masyarakat intelektual kita. Kenyataan imajinasi yang pribadi disampaikan kepada yang umum, tanpa saring, tanpa pemeliharaan etika.

BACA JUGA:  Bagaimana Plastik Berbicara Melalui Pertunjukan : Catatan untuk “MetaTeater”—Institut Seni Budaya Indonesia Bandung

Namun, imajinasi pun dapat dituntun dengan memelihara konsumsi jiwa, tentu akan memantik imaji-jiwa yang tumbuh. Dari sini, sedikit kita pahami, yang imaji dengan yang nyata, yang privasi dengan yang publik, yang pribadi dengan yang umum, merupakan kesatuan dari diri individu yang akan membentuk karakter sebuah masyarakat. Namun sayang, apa yang terjadi dengan ide imajinasi pada teater itu hanya bersarang pada imaji-imaji kebebasan sekaligus keterpurukan. Kenyataan imajinasi yang sedemikan adanya saya kira terpantik oleh keadaan ruang publik yang memayunginya. Lalu apakah harus dikatakan kenyataan ruang publik inelektual-taman pendidikan, mendukung lahirnya imaji-imaji masyarakatnya yang demikian. Perayaan aksi seksual sembarangan, peragaan ibadah yang tidak selayaknya, adegan menginjak gundukan kuburan dengan perasaan ceria, dan yang lain lain-lainnya. Semoga apa yang tersampaikan dalam tulisan ini menggugah peristiwa pengetahuan setelahnya.

Jujur saya begitu sulit untuk mengakhiri tulisan ini. Saya tidak menemukan titik temu dari apa yang tersampaikan dalam sekejap teks ini. Namun, setidaknya saya berterimakasih atas undangan dari seorang kawan yang telah membuat teater malam itu. Saya telah mendapat kabar tentang daya cipta seni yang tumbuh dari semangat mahasiswa. Tahun ini adalah tahun 2018. Hadir sebuah daya cipta seni seperti apa yang dilakukan teater malam itu. Penjelasan yang kurang jelas merupakan kekurangan saya. Tahun ini adalah tahun 2018. Bagaimana dengan teater kita, daya hidup masyarakat kita pada tahun 2029? Mari kita mulai perjalanan imajiansi ini. Imaji masa depan masyarakat kontemporer kita.*

Mathori Brilyan

Mathori Brilyan

Alumnus Jurusan Teater ISI Yogyakarta. Aktor dan penulis, aktif di Kalanari Theatre Movement dan Teater Kali Opak Yogyakarta.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *