fbpx
Jumat, Maret 29, 2024
Panggung TeaterULASAN

Catatan Seorang Penonton “Sulamin Bibir Saya Dong”

Oleh : Ficky Tri Sanjaya*
Sulamin Bibir Saya Dong e1498119303601 | Catatan Seorang Penonton "Sulamin Bibir Saya Dong"
Sulamin Bibir Saya Dong. Foto : minigeka.com

Sulamin Bibir Saya, Donk adalah sebuah pertunjukan dari Forum Aktor Yogyakarta mengangkat tema ‘cantik’ dengan berbasis riset. Harapannya menemukan pemakanaan dan pengertian lain mengenai tema, terlepas dari benar atau salah, dalam rangka menyambut hari Kartini. Tema dalam pertunjukan ini nampaknya menjadi titik pijak bagaimana kerangka dramaturgi pertunjukan dibangun menjadi pementasan teater pada 21-22 April 2017, di Institut Francais Indonesia (IFI). Dengan Tim Artistik  Nesia P. Amarsthi (Sutradara), Bintang K.Emzita (Penulis naskah), Robby Ramadhan (Manajer Panggung), Parcal Caboet (Penata set, artistik& properti), Roghip M.R (Asisten Penata Cahaya),  Desvandi (Operator Musik), Ita Yunita (Pimpinan Produksi). Forum yang lahir tahun 2013 lalu, pada berawal dari pementasan Dramatic Reading, kemudian merambah pula pada pertunjukan teater  seperti seperti Bertiga Bukan Dara; Menghias Kenyataan Hidup, IFI 2016, dan  Bank Pasar Rakyat di pentaskan di Pasar Bringhardjo dan Taman Budaya dalam acara Festival Teater Jogja 2016.

Sejak 2013 Forum Aktor yang disepakati bersama sebagai wadah organik dan organis ini, telah meramaikan jagat pertunjukan di Yogykarta dengan karya-karyanya. Berisikan anggota aktor dan aktris dari berbagai kelompok teater, kemudian secara sukarela megabungkan diri menjadi satu dalam forum ini. Sebagai wadah dan forum yang organis dan organik, Forum Aktor nampaknya cukup cair serta bergerak dengan banyak kemungkinan ekploratif, selalu mencari media yang ‘tepat’ menjadi sajian dalam pertunjukan-pertunjukannya di era ‘kekinian’. Beberapa karya-karya sebelumnya seperti Bertiga Bukan Dara merupakan karya eksperimental yang menyajikan tiga naskah dari penulis berbeda yang coba dijahit dan disatukan dalam satu jalinan peristiwa dalam pertunjukan. Karya lain seperti Bang Pasar Rakyat mencoba mengajak pedagang pasar dan aktor untuk bermain bersama dalam panggung pertunjukan. Hal tersebut merupakan suatu usaha kreatif dan ekploratif forum aktor, melihat perkembangan teater menggunakan dramaturgi secara dinamis untuk membaca perubahan sosial dan perkembangan zaman saat ini.

BACA JUGA:  Lengger Sebagai Arsip: Sebuah Usaha “Escape from Identity”

Pementasan Sulamin Bibir Saya, Donk yang disajikan Forum Aktor minggu lalu secara bentuk berbeda dengan pertunjukan sebelum-sebelumnya. Sebagai Forum kelompok ini nampak cukup intens mengangkat dan mengolah isu, tema dan bentuk pertunjukan yang sedang hangat terjadi di masyarakat. Pertunjukan Sulamin Bibir Saya, Donk  tidak menyediakan pembelian tiket, tetapi donasi melalui paket sovenir, berisi buku tulis Catatan seorang Penonton, tote bag, T-shirt, dan atau paket ketiganya dalam berbagai variasi, dengan harga kisaran 40-80 ribu donasi per-paket. Sebagai sebuah strategi produksi, cara tersebut menarik sebagai sarana meciptakan inovasi dalam strategi produksi dalam pertunjukannya. Paling tidak dengan strategi tersebut Tim Produksi mampu menolong ongkos gelaran bagi karya yang biasanya tidak sedikit. Dalam produksi pementasan teater Sulamin Bibir Saya, Dong tidak terlihat kesan seram dan angker. Justru karena dikemas dengan dramaturgi tersebut, pertunjukan tersebut dapat membawa nuansa reflektif bagi yang menonton.

Pada awal penonton bersesakan masuk kami seperti diajak tamasya. Dari sana regulasi perusahaan televisi bekerja, menyaksikan secara langsung peristiwa demi peristiwa program Variety show dikerjakan. Mengikuti aturan-aturan yang telah disiapkan oleh kru dan tim kreatif televisi. Penonton teater diajak menyaksikan secara langsung kerja televisi dalam mengerjakan sebuah Isu. Malam itu isu tersaji layaknya permen kembang gula sebagai pemanis di bibir. Isu tidak berbeda seperti gincu memepercantik program televisi sebagai kepentingan dagang, untuk mengunggahkan rating sebagi strategi dagang dalam kerangka pasar industri. Manusia disamakan tidak lebih dari sekedar produk, atau halnya barang dagang.

Nampak terasa malam itu teater memiliki dramaturgi ‘ruang’ industri, atau paling tidak terasa gagasan berlaku seperti mekanisme dalam dunia Industri. Kerja televisi menciptakan wacana ‘ruang’ industri, yang nampak dalam pertunjukan. ‘Ruang’ tersebut memperlakukan isu, tema, serta manusia, tak ubahnya seperti barang dagang. Sebagai barang dagang, apa yang disajikan tidak ubahnya sebagai objek yang harus menarik bagi penonton. Isu, tema dan manusia dalam ‘ruang’ industri, selalu wajib dikemas sebaik mungkin menyakinkan, menarik serta memiliki nilai jual bagi pemodal dan masyarakatnya. ‘Ruang’ televisi sebagai dramaturgi sepeti halnya teater yang diproduksi semenarik mungkin bagi penontonnya. Meski dengan kepentingan dan tujuan yang berbeda. Teater dan televisi sebagai gelaran pertunjuakn nampak memilki kebenaran yang belum tentu sesuai dengan kenyataan. Di sanalah dramatugi televisi sebagai ‘ruang’ dalam pertunjukan teater memberikan wacana reflektif bagaimana nilai-nilai kemanusian diperlakukan dalam kehidupan kini.

BACA JUGA:  Mahabarata 3 : Kurusetra War

Munculnya pembawa acara (Host) yang menarik, kocak, dan pintar Gracie Moecthar (Sulistyawati), Adrian Huta Galung ( Co-Host ), yang mengundang narasumber-narasumber tamu dari berbagai bidang yang berlainan seperti penyayi yang naik daun lantran vlog-vlognya di sosial media (Adelia Anindya), penulis Bloger viral Avi Destriana (Elisabeth Lespirita V.) yang muda dan kristis, mantan peragawati dan penulis buku mengenai perempuan Katrina Sulistyawati (Siti Fauziah Saekhoni), manajer pemasaran produk kecantikan terkenal Sarah Medina (Y. Prajna Wastu) dan yang terakhir dr. Pratama Sp. BP-RE (M. Yudha Pratama) Muncul dalam pementasan mehidupkan ‘ruang’ industri dalam teater mengakat isu ‘cantik’ di hari Kartini. Isu yang dibicarakan dalam ‘ruang’ tersebut menjadi tidak ubahnya bergulir sebagaimana televisi menjejali keseharian dengan kepentingan-kepentingan industri perberdagangan.

Justru pada adegan pendek terakhir nilai-nilai kemanusiaan nyata lahir. Adegan terakhir yang dimainkan oleh Sarah Medika (Y. Prajna Wastu) dan Ibunya (Tita D. Wulansari), ketika setting kemudian berubah menjadi ruang tamu rumah. Sarah muncul tidak seperti sosok yang dicitrakan dalam televisi, Sarah seperti dilahirkan berbeda dengan sifat-sifatnya sebagai manusia, penuh dengan rasa cinta kasih pada sesama. Sarah Medika mengucapakan selamat ‘Kartini’, pada ibunya, serta berterimakasi atas segala yang telah diberikan selama ini dalam kehidupannya. Baginya ibunya adalah ‘Kartini’ yang sesungguhnya, bukan seperti dirinya atau wanita-wanita yang hebat lain dalam televisi.

Sedayu, 25 April 2017

BACA JUGA:  Mother Earth, Ekspresi Keluhuran Ibu

Ficky Tri Sanjaya

Penulis dan Aktor mime teater. Aktif bersama Bengkel Mime Theatre Yogyakarta.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *