fbpx
Jumat, April 19, 2024
ARTIKEL & ESAITeater

Teks, Aktor dan Sutradara : Catatan Mengenai Proses Transformasi Teks

Oleh Eko Santosa*.

Teater modern memiliki 4 (empat) aspek penting yang tidak boleh diabaikan; teks (lakon), sutradara, aktor, dan penonton. Dalam kaitannya dengan komunikasi maka ketiga aspek pertama merupakan penyampai komunikasi dan penonton adalah komunikan. Bahan komunikasi berasal dari teks lakon. Seorang seniman teater tidak mungkin menampilkan sebuah pertunjukan tanpa sebuah lakon. Sesederhana apapun lakon itu sangat dibutuhkan, bahkan ketika ia hanya sebuah ide atau sebaris kalimat, yang jelas lakon harus ada. Dengan berdasar pada lakon ini pekerja teater mewujudkan kreasinya di atas panggung.

Proses perwujudan teks (lakon) ke atas panggung membutuhkan kreatifitas dan teknik tersendiri. Metode yang diterapkan bisa dan boleh saja berbeda tetapi tujuannya adalah sama; menghadirkan teater (mengaktualisasikan cerita) di atas panggung. Tahapan-tahapan transformasi ini dapat ditinjau dari tiga aspek, yaitu; teks, aktor, dan sutradara.  Ketiga aspek tersebut saling berkaitan dan mempengaruhi antara satu dengan yang lainnya. Pendekatan dan tahapan proses transformasi teks yang akan dibahas di bawah ini pernah dilakukan oleh Teater Pas Abang Yogyakarta dalam pementasan “Yitma Sucyaku” (bahasa Jawa) terjemahan bebas dari naskah “Arwah-arwah” karya W.B. Yeats.  Pentas tersebut diselenggarakan di Gedung Panti Wiloso Muda-Mudi Purworejo Jawa Tengah, pada tanggal 22 Desember 2001. Pendukung pementasan adalah; alih bahasa: Jaka Sarwana, sutradara: Puthut Buchori dan Eko Ompong, pemain: Tafsir Huda dan Setya Prayoga.

KONSEP DASAR

Sebelum membahas lebih jauh tentang proses pemindahan teks ke atas pentas, perlu kiranya ditentukan konsep artistik pementasan yang akan dilakukan. Dalam kaitannya dengan hal tersebut, sutradara atau produser (yang memiliki ide pementasan) mempelajari keseluruhan isi naskah dan kemudian menentukan interpretasi dasar  dari naskah. Interpretasi dasar (global) inilah yang selanjutnya dijadikan patokan (guide line) dari keseluruhan proses artsitik yang dikerjakan.

Dalam penggarapan “Yitma Sucyaku”, sutradara tidak memiliki versi interpretasi lain selain dari apa yang ada di dalam teks. Artinya, konsep dasar pementasan benar-benar bermula dari teks yang digali secara tampak luar untuk menampilkan sisi persoalan dalam cerita dan bukan mencari simbol makna atau keterkaitan makna dengan keadaan kekinian (tekstual). Hal ini dimaksudkan untuk menampilkan cerita apa adanya dari awal sampai akhir. Makna dari cerita atau inti pesan cerita diharapkan muncul atau dimunculkan oleh aksi para aktor di atas pentas. Dengan demikian maka wilayah artistik aktor yang ditekankan untuk diolah.

Guna mendukung tujuan konsep dasar tersebut, tata artistik digarap secara minimalis. Latar cerita “Yitma Sucyaku” yang menggambarkan rumah tingkat habis terbakar dan pohon yang terbelah karena disambar petir dihadirkan secara suggestive. Artinya, keadaan tersebut ditampilkan di atas pentas dengan sederhana tapi representatif. Intinya, para aktor harus menganggap bahwa bentuk tata dekorasi yang ada adalah rumah tingkat terbakar dan pohon terbelah petir. Tata lampu juga hanya tampil sebagai penerang agar permainan aktor dapat ditangkap oleh mata penonton. Untuk meyakini keadaan ini para aktor harus menggunakan kekuatan imajinasinya sehingga benar-benar merasa berada dalam situasi yang dikehendaki oleh cerita. Kondisi ini dipertegas dengan tanpa hadirnya musik ilustrasi yang biasanya digunakan untuk mendukung situasi cerita atau menghadirkan efek-efek suara khusus sehingga cerita yang ditampilkan seolah-olah benar-benar terjadi. Absennya tata musik juga merupakan tantangan tersendiri bagi aktor untuk mengimajinasikan dan menghadirkan peristiwa lakon di atas pentas. Tapi, inilah inti dari proses penggarapan lakon “Yitma Sucyaku”.  Jika seandainya di atas panggung hanya ada aktor dan teks, apakah pertunjukan tidak jadi diadakan? Tentu saja tidak.

Dalam pementasan teater, aktorlah yang berhadapan langsung dengan penonton, ialah yang menyampaikan cerita tersebut secara langsung, ialah yang menghadirkan cerita, menghadirkan peristiwa di atas pentas. Atas dasar pikiran seperti inilah maka pentas lakon “Yitma Sucyaku” lebih menitikberatkan pada seni peran. Sebagai dasar pijak eksplorasi akting, gaya realisme dipilih sebagai pendekatan. Realisme dipilih karena gaya ini mencoba menampilkan potongan peristiwa kehidupan ketimbang menyajikan sebuah pertunjukan teater di atas pentas. Dengan demikian kekuatan aktor benar-benar ditantang untuk menarik empati, menyedot perhatian, dan membangun imajinasi penonton  terhadap lakon yang disuguhkan. Untuk itu “the fourth wall” atau dinding keempat yang ada dalam konvensi realisme harus benar-benar diciptakan (secara imajiner) sehingga aktor benar-benar bisa main dengan dirinya sendiri dan lawan mainnya tanpa mempedulikan adanya (keterlibatan/kehadiran) penonton. Realisme sengaja membangun dinding keempat untuk memisahkan dunia penonton dan dunia pemain. Selanjutnya proses penghadiran peristiwa di atas pentas terjadi di dalam dinding keempat tersebut. Sebuah dunia (kehidupan) yang menjadi milik aktor secara mutlak selama pertunjukan berlangsung.

TEKS
1. Teks dan Verbalisasi Teks

Tahap ini merupakan tahap awal atau tahap pengenalan aktor kepada teks lakon. Pada pelaksanaan tahap ini, latihan yang diselenggarakan lebih merupakan proses menghapal teks dengan cara membaca teks sebagai teks dan mengabaikan (sementara) interpretasi. Kata harus dianggap sebagai kata dan kalimat harus dianggap sebagai kalimat. Kejelasan pelafalan dari setiap kata dan kalimat merupakan tugas yang harus dilakukan dalam sesi latihan ini. Tujuan latihan tersebut adalah; aktor menghapal setiap kata dan kalimat yang ada dalam teks. Dengan membaca teks sebagai teks maka aktor tidak akan terjebak pada penentuan pola dramatik dialog. Latihan membaca teks di atas – secara mendalam – lebih ditujukan (selain untuk mengahapal dan pelafalan) untuk menangkap “apa” makna teks.

Pengenalan naskah kepada para pemain biasanya dilakukan dengan cara membaca teks bersama sesuai dengan perannya. Pada proses ini kebanyakan aktor membaca teks-teks dialog (sudah) dengan nada atau berirama, yang diucapkan secara langsung, seolah-olah ia telah mengerti apa maksud baris-baris teks dialog tersebut. Dan seperti yang biasa terjadi, keadaan ini dimaklumi serta diteruskan (dilanjutkan) begitu adanya, sehingga dalam tahap reading pertama kali seolah-olah para pemain telah bermain dramatic reading. Bagaimana seorang pemain dapat membaca naskah secara dramatik dan bagaimana dramatika naskah dapat ditangkap sementara mereka baru pertama kali menerima naskah tersebut? Ini kejadian aneh yang sering dialami selama proses latihan peran. Herannya, sutradara justru membiarkan hal tersebut berlanjut. Dampaknya ketika aktor sudah menghapal teksnya, ia juga telah menentukan dramatika dialognya karena memang sejak awal ia membacanya seperti itu (biasanya hal ini dimaklumi karena sedang dalam tahap menghapal). Ketika pada tahap latihan berikut sang sutradara menemukan adanya kejanggalan dalam dramatika dialog tersebut dan meminta sang aktor untuk mengubahnya (atau mencari bentuk lain) maka sang aktor akan merasa kesulitan karena ia telah terbiasa dengan dramatika dialognya yang telah dilakukan berulang-ulang sejak proses reading pertama kali.

BACA JUGA:  Tubuh Estetik Disabilitas: Menuju Subjek

Persoalan seperti tersebut di atas hampir selalu dialami dalam setiap latihan teater yang berbasiskan teks. Bagaimana hal itu terjadi? Aktor yang membaca naskah pertama kali tentu saja belum mengetahui makna teks dialog yang dibacanya serta hubungan teks dialog tersebut dengan teks-teks dialog yang lain. Dengan demikian dramatika dialog belum tertemukan (tertentukan). Tetapi aktor sering bertanya “bagaimana  saya akan mengucapkan dialog ini?” tanpa lebih dulu mengerti “apa makna dialog tersebut”. Pertanyaan “bagaimana” inilah yang mendorong aktor untuk melakukan pembacaan secara dramatik. Seringkali juga, pencarian makna dialog dilakukan sambil mengerjakan proses “reading”.  Hal inilah yang sering menjadi batu ganjalan proses pemahaman teks secara menyeluruh. Alangkah lebih baiknya jika mengetahui dulu “apa” maknanya baru kemudian “bagaimana” mengerjakannya. Untuk itu proses awal pembacaan teks adalah untuk mencari “apa” makna teks tersebut baik secara global ataupun detil. Penemuan makna teks menciptakan gambaran peristiwa lakon yang dapat menjadi petunjuk laku (aksi) bagi aktor. 

2. Teks dan Imajinasi Aktor

Setelah aktor hapal setiap kalimat dalam teks, proses selanjutnya adalah penginterpretasian setiap kalimat, kata, hubungan antarkata, dan antarkalimat dalam teks tersebut. Proses latihan ini harus dilakukan pelan-pelan dan diskusi lebih sering dilakukan. Hal ini bertujuan untuk menemukan interpretasi yang tepat sesuai dengan nada dasar yang telah ditentukan oleh sutradara.

Untuk mendapatkan satu interpretasi yang disepakati maka aktor harus menggunakan kemampuannya untuk mengimajinasikan peristiwa dalam teks. Imajinasi yang dihasilkan aktor ini kemudian didiskusikan bersama dan dicari korelasinya dengan makna keseluruhan kalimat dan hubungan antarkalimat dalam teks. Aktor tidak boleh mengimajinasikan peristiwa itu terjadi di atas panggung, akan tetapi ia harus mengimajinasikan peristiwa itu sebagai sebuah peristiwa yang benar-benar terjadi.

Proses imajinasi seperti tersebut di atas memiliki tujuan agar aktor tidak terjebak untuk mengimajinasikan blocking dan atau langkah (aksi) yang akan dilakukan di atas panggung. Aktor harus mampu memahami dan menganggap bahwa cerita yang ada dalam teks lakon tersebut merupakan cerita nyata. Anggapan ini akan membawa pikiran dan perasaan aktor  sebagai pelaku peristiwa sesungguhnya. Pada sesi latihan ini juga setiap detil informasi yang mendukung karakter dan peristiwa lakon dikumpulkan serta dikonstruksikan oleh aktor melalui imajinasi kreatif.

Pertanyaan-pertannyaan diajukan untuk membangun imajinasi kreatif ini, baik pertanyaan tentang peristiwa lakon ataupun pertanyaan mengenai karakter tokoh. Semua pertanyaan diungkapkan baik yang memiliki korelasi langsung dengan peristiwa seperti; dimana peristiwa terjadi, mengapa terjadi, apa sebabnya,  dan lain-lain sampai dengan yang tidak memiliki korelasi langsung seperti; bagaimana kondisi masyarakat di sekitar kejadian itu, waktu peristiwa terjadi apa pengaruhnya terhadap kehidupan masyarakat, dan lain sebagainya. Pertanyaan seperti tersebut di atas juga ditanyakan terhadap karakter tokoh yang diperankan. Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut merupakan informasi penting untuk direkonstruksi oleh aktor baik secara fisik ataupun psikologis melalui imajinasinya dan kemudian dialirkan ke dalam dirinya.

Dengan demikian, imajinasi aktor – yang pada mulanya diinspirasikan dari teks lakon – berkembang sedemikian rupa hingga menjelajah wilayah-wilayah terdalam dimana peristiwa berlangsung dan bagaimana tokoh melakoni peristiwa tersebut. Imajinasi kreatif yang dibangkitkan dalam pikiran aktor ini kemudian secara khusus ditujukan untuk membangun karakter tokoh. Segala macam jawaban dari pertanyaan yang diajukan mengenai karakter tokoh merupakan medium untuk merekonstruksi karakter dalam wajah aktor. Wajah aktor adalah wajah sang tokoh, kondisi fisik aktor adalah kondisi fisik sang tokoh, situasi kejiwaan sang aktor adalah situasi kejiwaan sang tokoh. Dengan tujuan pencapaian semacam ini maka aktor harus benar-benar memiliki imajinasi mendetil tentang karakter tokoh yang diperankan.

3. Aktualisasi Teks

Dalam tahap ini aktor mulai bekerja dengan tubuhnya untuk menghadirkan cerita (nyata) di atas panggung. Pemahaman yang didapatkan dalam dua tahap latihan sebelumnya merupakan bahan dasar yang harus dicobakan oleh aktor dalam sesi latihan ini. Karena aktor sudah memiliki imajinasi peristiwa dalam dirinya maka ia harus mampu mengaktualisasikan imajinasi itu secara nyata.

Apa yang ada dalam imajinasi dan kenyataan pastilah berbeda. Menemukan dan mengatasi perbedaan antara imajinasi dan kenyataan merupakan tujuan inti dari latihan ini. Misalnya, dalam sebuah adegan pembunuhan aktor memiliki imajinasi bahwa peristiwa itu berjalan dengan sangat cepat. Ketika imajinasi ini di-nyata-kan, aktor akan berhadapan dengan realita bahwa kecepatan yang ia bayangkan harus sesuai dengan kecepatan yang mampu ia kerjakan. Hal ini mempengaruhi reaksi aktor yang bertindak sebagai korban pembunuhan. Kecepatan aksi aktor yang melakukan tindak pembunuhan akan mempengaruhi ekspresi  korban. Bentuk kematian yang dihasilkan pun akan bergantung pada hal tersebut.

Contoh di atas menunjukkan bahwa imaji aktor terhadap teks harus menyesuaikan keadaan sesungguhnya. Meskipun latihan bisa dilakukan untuk mencapai hasil seperti dalam imajinasi akan tetapi perlu dipertimbangkan kemampuan dan batas kekuatan yang dimiliki oleh aktor untuk melakukan adegan tersebut secara riil. Dengan memperhatikan aspek realita ini maka imajinasi aktor mendapat pantulan pengalaman. Selanjutnya pantulan pengalaman ini akan menjadi arahan yang sangat berguna dalam proses perwujudan imajinasi teks.

AKTOR
1. Wilayah Pribadi Aktor

Setiap aktor memiliki wilayah pribadi. Artinya, dalam sebuah percakapan seseorang memiliki sendiri latar atau background dari apa yang diucapkan tersebut. Hal inilah yang disebut dengan wilayah pribadi aktor. Apa yang diucapkan atau diceritakan sepenuhnya merupakan hak miliknya secara personal. Berikutnya adalah reaksi aktor  lain terhadap cerita (ucapan) yang dilakukan lawan mainnya menjadi wilayah pribadinya.

Masing-masing wilayah pribadi aktor itu selanjutnya akan mengalami proses persinggungan (crashing). Misalnya; dua orang (A dan B) melakukan percakapan, maka wilayah pribadi kedua orang tersebut akan mengalami persinggungan. Hasil dari persinggungan ini dapat dipandang melalui kekuatan (power) yang dimiliki oleh masing-masing pelaku.

Sebagai contoh; A menceritakan masa kecilnya kepada B dan B memberikan reaksi pada cerita itu. Hasil dari persinggungan tersebut ada 4 (macam) kadaan yang ditentukan bedasar kekuatan yang dimiliki oleh A dan B. Pertama, A akan terlihat lebih kuat daripada B jika B mempercayai kesungguhan cerita A. Kedua, kedudukan A dan B akan sama kuat jika B menyangsikan cerita itu dan mengungkapkan alasannya. Ketiga, B akan lebih kuat daripada A jika ia tidak mempedulikan cerita A. Keempat, A dan B akan berada dalam satu wlayah jika B ikut memberikan tanggapan dan kemudian membangun kelanjutan cerita A.

Dengan menyadari wilayah pribadi masing-masing dan proses persinggungan tersebut aktor akan mendapatkan semacam petunjuk laku aksi (acting guide). Petunjuk laku ini tidak bisa menjadi landasan tunggal bagi aktor dalam berperan. Masih banyak hal-hal lain yang harus diperhatikan, tetapi dengan memahami wilayah pribadi tersebut aktor akan lebih mudah memberikan makna pada kalimat dan peran yang ia lakukan.

BACA JUGA:  Seni Kebangru'an; Seni dari Alam Gaib
2. Spontanitas

Arti spontan dalam bahasan ini adalah bergerak secara reflek. Untuk dapat mencapai gerak reflek seorang aktor harus betul-betul merasa bahwa segala apa yang ada dalam cerita adalah miliknya sendiri dan ia seolah-olah pernah mengalaminya secara pribadi. Gerak reflek ini dapat dihasilkan – biasanya – dengan cara melakukan berulang-ulang sebuah bentuk ekspresi selama proses latihan. Teknik seperti ini memiliki kelemahan karena hasilnya sering tampak mekanis dan kaku serta monoton.

Untuk mencapai hasil yang optimal, latihan spontanitas dapat dilakukan dengan cara mengeksplorasi gerak ekspresi sehari-hari. Misalnya; seorang aktor dalam kehidupan sehari-hari selalu menutup muka dengan tangan jika takut. Bentuk ekspresi menutup muka dengan tangan ini dapat dikembangkan dalam berbagai macam variasi. Kemudian hasil dari pengembangan bentuk ekspresi tadi disejajarkan dengan intensitas rasa takut tadi. Apakah sedikit takut, setengah takut atau takut sekali. Setelah bentuk ekspresi hasil eksplorasi dirasa cocok bagi si aktor maka bentuk inilah yang akan dilakukan.

Sekilas teknik latihan ini tampak sama dengan yang pertama tetapi jika dicermati memiliki perbedaan mendasar. Dalam teknik latihan yang pertama, aktor hanya mengulang-ulang satu bentuk ekspresi yang ditetapkan sedangkan dalam teknik yang kedua sebelum menetapkan sebuah bentuk ekspresi aktor harus melakukan eksplorasi berdasarkan bentuk ekspresi yang ia lakukan sehari-hari. Karena bentuk ekspresi berakar dari bentuk ekspresi sehari-hari maka aktor akan lebih memiliki keyakinan dan kepercayaan diri dalam melakukan ekspresi tersebut.

Jika latihan bentuk ekspresi ini dilakukan berulang-ulang maka hasilnya akan nampak luwes (fleksibel). Seandainya mengalami perubahan bentuk, aktor tidak akan merasa kesulitan karena dasar bentuk diambil dari bentuk keseharian aktor yang bersangkutan. Bentuk dalam hal ini tidak mempengaruhi intensitas emosi atau motivasi. Pengulangan bentuk dalam latihan bertujuan hanya untuk melatih aktor melakukan aksi secara reflek (spontan). 

3. Bermain-main Dengan Serius

Teater pada dasarnya adalah sebuah permainan, artinya, segala apa yang ada dan terjadi di atas panggung tidaklah sungguh-sungguh. Dengan menggunakan pemahaman ini seorang aktor dapat mengembangkan kreatifitas dengan bermain-main. Aktor dapat bermain-main dengan suara, gerak, ekspresi dan segala apa yang dimilikinya berdasar pada imajinasi. Hal yang perlu diperhatikan pada sesi ini adalah bahwa bentuk bermain-main itu harus dilakukan dengan serius sehingga seperti tidak sedang bermain-main.

Sebagai misal; biasanya dalam latihan si aktor melakukan gerak tangan untuk menyatakan sebuah ekspresi. Dalam waktu yang lain ia menambah gerak ekspresi tersebut dengan menghentakkan kaki. Pada kali lain ia tidak melakukan gerak ekspresi melalui tangan dan kaki tetapi dengan gerak bahu dan kepala. Semua ia coba mainkan hanya untuk menyatakan satu macam ekspresi dan inilah yang disebut dengan bermain-main.

Jika bermain-main ini dilakukan dengan serius maka yang tampak adalah; si aktor tersebut memang  serius menyatakan sebuah ekspresi melalui tubuhnya. Hal ini tentunya juga mempengaruhi aktor yang lain. Setiap perubahan gerak yang dilakukan untuk menyatakan ekspresi akan lebih baik jika diikuti perubahan gerak ekspresi oleh aktor lain sebagai reaksi atau respon spontan. Kalau kedua aktor ini bisa saling bermain-main dan dalam melakukannya mereka serius maka akting yang dihasilkan akan lebih hidup, alami, dan menarik.

4. Aksi – Reaksi

Akting adalah aksi dan reaksi.  Para aktor sering mendekati naskah dengan anggapan seolah-olah hanya mereka sendiri yang akan memainkannya di atas panggung. Hasil dari pekerjaan itu tentu saja berdimensi tunggal. Dimensi diri pribadi aktor yang bersangkutan. Kualitas kerja seperti itu dapat dikatakan dengan “melakukan separoh (kewajiban) akting”. Kerja lain  yang tidak kalah penting setelah aktor melakukan aksi (akting) adalah melakukan reaksi terhadap apa yang dikatakan oleh lawan main. Mendengarkan dengan sungguh, melakukan reaksi secara wajar adalah “separoh kerja” yang lain dari akting.

Penghapalan naskah secara cepat dan tepat akan sangat membantu dalam langkah ini. Hapalan akan membuat aktor semakin yakin dimana letak baris dialog yang harus diucapkan. Keyakinan aktor dalam mengucapkan dialog akan memberikan ruang kebebasan berekpsresi. Aktor yang tidak hapal teks dengan baik akan menemukan hambatan dan ekspresi yang dihasilkannya tidak optimal. Dengan hapal teks maka aktor akan lebih rileks dan menikmati setiap kalimat yang diucapkan oleh lawan main dan melakukan reaksi yang wajar tanpa harus merasa takut dan berpikir, “Setelah ini saya harus berkata apa?” Hapal teks bukan berarti hanya menghapal baris-baris dialog yang menjadi bagiannya saja tetapi juga dianjurkan memahami keseluruhan teks dalam lakon termasuk keterangan, narasi atau petunjuk laku lain yang termuat dalam naskah. Selain sangat membantu untuk mendapat gambaran ekspresi, dengan memahami keseluruhan naskah maka aktor akan merasa tenang dan yakin melakukan aksi – reaksi.

SUTRADARA
1. Sutradara Adalah Kawan Diskusi

Proses kesepakatan yang baik dan adil bagi pihak yang bersepakat adalah dengan berbicara terbuka dan saling menerima pendapat serta kritik. Pendapat yang paling logis adalah yang menjadi sebuah keputusan. Jika keputusan yang terjadi adalah sepihak (meskipun itu sah dilakukan dalam teknik penyutradaraan) tentu akan terasa berat dan mengganjal bagi pelaku kesepakatan (aktor). Berdasarkan pemikiran tersebut maka diskusi secara terbuka (mulai dari pengenalan naskah) dapat dilakukan oleh seorang sutradara agar segala keputusan yang dihasilkan tidak saling memberatkan tugas satu sama lain.

Dengan diskusi terbuka, aktor dan sutradara diharapkan saling mengemukakan ide dan gagasan dalam setiap laku cerita yang hendak dimainkan. Sebelum melakukan diskusi ini sang sutradara sudah menentukan lebih dulu garis besar interpretasi lakon sehingga kesepakatan yang dihasilkan dalam diskusi ini hanya detil (bagian) interpretasi. Sebagai contoh; dalam naskah lakon disebutkan bahwa aktor (A dan B) mendengar sebuah suara. Garis besar interpretasi telah ditentukan bahwa aktor (A) mencoba mempengaruhi (B) melalui sebuah cerita sebelum suara itu terdengar. Selanjutnya, sutradara berpendapat bahwa suara itu hanyalah alat atau sarana untuk mengubah arah pembicaraan. Aktor (A) berpendapat suara itu memang terdengar karena ia merupakan bagian imajinasi cerita sebelumnya. Aktor (B) berpendapat bahwa suara itu adalah simbol ketakutan.

Ketiga pendapat ini kemudian dibicarakan dan dicari pendapat siapa yang paling tepat dalam hubungannya dengan garis besar interpretasi lakon. Pendapat yang paling tepat (logis) ini selanjutnya disepakati untuk dimainkan. Tidak menutup kemungkinan bahwa pendapat yang ini dapat berubah pada waktu lain jika terdapat alasan yang lebih logis dan alasan tersebut tidak melanggar garis besar interpretasi. Pelaksanaan diskusi seperti ini diadakan terutama pada bagian-bagian yang memang membutuhkan kesepakatan antara sutradara dan aktor. Dapat juga dilakukan ketika seorang aktor mengalami kesulitan mendasar atau merasakan beban dalam proses latihan sehingga mengganjal laku peran yang harus ia kerjakan. Jika proses dapat berjalan lancar dan menemukan kesepakatan sejak awal maka diskusi dapat berupa reviewing atau evaluasi terhadap latihan yang telah dikerjakan.

BACA JUGA:  Joko adalah (bukan) saya : Catatan sebelum pertunjukan Ngono ya Ngono
2. Sutradara adalah Pengamat dan Kritikus

Sebagai seorang pengamat sutradara mengamati proses latihan berdasar kepada keputusan-keputusan yang telah ditentukan dalam diskusi sebelumnya. Sutradara dapat mengamati segala aspek yang dimiliki oleh aktor dan bagaimana aktor menggunakan seluruh aspek tersebut dalam melakukan peran. Hasil dari pengamatan (sesuai dengan point of view yang dimiliki sutradara) ini selanjutnya digunakan sebagai bahan kritik terhadap aktor.

Kritik sutradara kemudian menjadi input dalam diskusi selanjutnya. Dalam sesi ini aktor boleh (diharapkan) mengungkapkan segala macam persoalan atau kendala yang dihadapi dalam laku peran yang ia mainkan. Kendala, hambatan atau masalah aktor ini harus dapat ditemukan solusinya secara bersama. Sutradara dapat melakukan pendekatan persuasif kepada aktor yang bersangkutan dan atau meninjau ulang interpretasi yang telah ditentukan. Dengan langkah meninjau ulang ini kemungkinan akan ditemui tiga macam dasar persoalan. Pertama, aktor memang belum paham terhadap interpretasi lakon. Kedua, aktor paham interpretasi lakon tapi mengalami kesulitan personal (psikologis – filosofis) dalam melakukannya. Ketiga, interpretasi dirasa kurang sesuai sehingga membutuhkan sedikit perubahan dan disesuaikan dengan imajinasi aktor.

Dalam menyelesaikan persoalan pertama, sutradara perlu menjelaskan lagi interpretasi lakon yang telah ditentukan. Aktor boleh menanyakan semua ketidakjelasannya pada sutradara. Untuk mencapai hasil yang baik maka sutradara menjawab semua pertanyaan aktor tersebut hingga sampai aktor betul-betul memahami interpretasi lakon. Kepahaman terhadap interpretasi merupakan hal yang tidak boleh diabaikan karena ia mempengaruhi keseluruhan laku lakon.

Untuk memecahkan masalah kedua, sutradara perlu melakukan pendekatan pribadi terhadap aktor. Membicarakan persoalan dari hati ke hati akan membuat aktor merasa diperhatikan dan bersedia mengungkapkan kendala atau beban yang dihadapi. Latar belakang terjadinya masalah yang dihadapi sangat dibutuhkan untuk menemukan jalan keluar. Aktor dalam hal ini diharapkan berkata jujur sehingga sutradara akan dapat memahami persoalan dasarnya yang selanjutnya bersama-sama dengan aktor mencari jalan keluar termudah dan terbaik. Situasi seperti ini sering dihadapi dalam sebuah poduksi. Dengan saling berbicara terbuka maka kesulitan yang ditemui akan mendapatkan pemecahannya.

Penyelesaian persoalan ketiga yang menyangkut interpretasi lakon memerlukan diskusi kusus antara aktor dan sutradara. Sudut pandang aktor perlu mendapat perhatian. Sutradara dapat mendengarkan alasan atau rasional yang diuraikan aktor terhadap interpretasi. Selanjutnya latihan dicoba lagi seperti apa yang dikehendaki oleh aktor. Selesai latihan sutradara mengungkapkan pandangan-pandangannya (kritik) terhadap interpretasi yang divisualisasikan aktor. Jika seandainya dirasa pantas maka interpretasi tersebut yang selanjutnya dipakai, jika tidak maka perlu dibicarakan lagi dan dicari kemungkinan lain hingga terdapat kecocokan antara aktor dan sutradara. Semua dilakukan untuk menemukan satu kesatuan bentuk yang disepakati dan dapat dikerjakan secara enak oleh aktor serta dipandang sesuai menurut kacamata sutradara.

3. Sutradara Menjaga Nada Dasar

Meskipun konsep dasar pementasan lebih menitikberatkan pada bidang keaktoran, tetapi sutradara tetap harus menjaga nada dasar yang telah ditentukan. Sebebas apapun aktor bermain di atas pentas, mereka tetap bermain atas arahan dan bimbingan sutradara. Dalam hal ini, gaya realisme  menjadi patokan atau pijakan dasar pengembangan kreatifitas aktor di atas pentas.  Segala bentuk business acting dapat dan boleh saja diterapkan tetapi tetap dalam kerangka realisme. Untuk itu sutradara harus jeli mengamati perkembangan proses permainan aktor.

Menjaga nada dasar bukanlah hal yang mudah karena (biasanya) aktor yang dibebaskan (diberi kebebasan) dapat dengan mudah terjebak secara emosional sehingga mengembangkan permainan menuruti kemauan pribadinya. Keadaan ini tidak menguntungkan karena sang aktor tidak bermain sendirian. Jika satu aktor terseret secara emosional maka aktor yang lain akan mengikuti atau mengimbangi kondisi tersebut. Akibat lebih jauh dari peristiwa ini adalah, aktor lepas karakter atau aktor memberi penekanan pada bagian-bagian yang tidak perlu sehingga makna teks akan bergeser atau berubah. Jika demikian maka dipastikan bahwa dinamika lakon menjadi terpengaruh dan konsep dasar pementasan berubah.

Untuk menghindari terjadinya inkonsistensi karakter, konsep serta tujuan dasar pementasan maka sutradara harus tetap mengawal permainan aktor mengikuti garis yang telah ditentukan.  Selain beberapa konsep pemeranan yang telah disebutkan di atas, penggunaan imajinasi peristiwa hidup sesungguhnya merupakan salah satu cara untuk membangkitkan kesadaran aktor bahwa ia tidak sedang bermain teater melainkan menyajikan satu lakon hidup manusia. Analogi peristiwa dapat dijadikan gambaran atau arahan laku aktor dalam bermain peran. Sutradara bertugas untuk selalu mengingatkan serta memberi pemahaman kepada aktor dalam hal ini. Dalam setiap kesempatan (waktu latihan) ketika aktor mulai melenceng dari tujuan awal, sutradara bisa memberikan arahan secara langsung dan memberikan gambaran-gambaran peristiwa serta karakter yang ada dalam diri aktor.  Jika proses ini dipahami dan dilaksanakan dengan baik oleh aktor maka nada dasar yang telah ditentukan oleh sutradara akan terjaga dan aktor dapat berperan secara konsisten.

—–

Proses transformasi di atas yang dipandang dari tiga aspek; teks, aktor, dan sutradara hanyalah merupakan salah satu model. Banyak terdapat model, teori atau metode untuk melakukan proses transformasi teks ke dalam pementasan panggung. Setiap seniman (pelaku teater) memiliki tahapan dan cara pandang tersendiri dalam proses perwujudan lakon. Uraian ini disampaikan sebagai catatan sederhana yang dapat digunakan untuk  bahan “bagi pengalaman”. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi sekalian pembaca.

(*)

artikel di atas pernah diunggah di laman whanidproject.com, direpost oleh gelaran.id atas seijin penulis.


Donasi untuk gelaran.id

Eko Santosa

Eko Santosa

Alumni Jurusan Teater (mayor Pemeranan) ISI Yogyakarta. Bekerja sebagai Instruktur Teater di Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan (P4TK) Seni Budaya Yogyakarta. Aktif berkesenian bersama Studio Teater P4TK, Theatre By Request dan Whanidproject.

2 komentar pada “Teks, Aktor dan Sutradara : Catatan Mengenai Proses Transformasi Teks

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *