fbpx
Rabu, April 17, 2024
Panggung TariULASAN

TubuhDang TubuhDut: Ada Siapakah di Sana?

Oleh : Renee Sariwulan.

Malam itu, 30 Oktober 2018, kami diundang hadir pada presentasi Ayu Permata Dance Company yang mementaskan TubuhDang TubuhDut, koreografer Ayu Permatasari. Presentasi yang seharusnya dimulai pukul 19.00 wib, entah kenapa tidak dimulai pada waktunya. Sembari menunggu aku berbincang dengan beberapa teman yang juga telah hadir. Kami berbincang di teras, menghadap halaman yang banyak ditanami pepohonan dan tanaman. Perbincangan itu cukup intens dan panjang, sampai akhirnya kami dipersilahkan masuk ke ruang pertunjukan, yaitu sebuah ruang luas di dalam rumah.

46379395 10156651269048260 6591314647918313472 n | TubuhDang TubuhDut: Ada Siapakah di Sana?
Tubuh Dang Tubuh Dut oleh Ayu Permatasari. Foto: Renee Sariwulan

Kami diarahkan untuk duduk di lantai dalam posisi membuat lingkaran besar, hampir memenuhi  seluruh ruangan. Di sisi utara menempel pada tembok terdapat level yang ditutup kain hitam. Tak lama kemudian lampu dipadamkan, dan terdengar musik lagu Terajana. Dari sudut tenggara muncul sosok perempuan bergerak mengikuti musik, sambil berjalan ke tengah lingkaran penonton yang merupakan arena pertunjukan. Rambutnya diikat membentuk ekor kuda yang panjangnya sampai ke pantat. Ia mengenakan celana panjang warna gelap dan kaos biru lengan pendek. Di tangan kanannya terpasang dua akik, di jari tengah dan telunjuk. Kakinya beralaskan sandal jepit. Ia bergerak-bergoyang, memejamkan mata, mulutnya terbuka, tampak ‘khusyuk’ menikmati Terajana. Sekali waktu penari melontarkan seruan ketika musik koplo hadir (Kimcil Kepolen oleh NDX).  Irama geraknya pun berubah. Kali lain penari naik ke level, bergoyang koplo di sana, dan seolah-olah sedang bersama-sama seseorang, kemudian ia menunjukkan gestur memberi sesuatu pada orang tersebut, lalu ia turun.  Ada masanya musik diam dan penari menyanyi sendiri: “Kemana … kemana … kemanaaaa ……. ku haruuuuusss mencari kemanaaaa …. “.

Aku paham bahwa yang coba dihadirkan di pentas itu adalah tubuh laki-laki di badan perempuan. Pilihan ini menarik, koregrafer membidik “manusia kebanyakan” yang jarang mendapat perhatian, terutama di pentas dangdut. Yang kita kenal pentas dangdut didominasi perempuan di panggung, dengan suara dan goyang badannya. Kita pun tahu bahwa penonton (pendengar) musik dangdut akan serta-merta menggerakkan badannya ketika mendengar musik ini, terlihat sangat menikmati. Perasaan nikmat ini pula yang dibawa koreografer TubuhDang TubuhDut ke pentas melalui badan perempuan. Namun keasyikan gerak yang ditunjukkannya tidak menggerakkanku untuk menikmatinya. Padahal Terajana adalah musik dangdut favoritku.

Sampai pertunjukan selesai, aku tidak merasa dangdut hadir di sana. Aku merasa tubuhku berpindah ruang saja, dari teras tempatku berbincang dengan beberapa teman, ke ruang pertunjukan. Namun ruang pertunjukan apakah ini ? Ia tak membawaku ke “ruang lain”, sebuah ruang imajinasi yang mampu menggoyangku jika itu bernama dangdut, yang mampu membuatku merasa asyik dan seru. Atau jika ini adalah ruang koreografi kontemporer, maka aku tak menangkap adanya ruang yang diciptakan yang memberiku “aroma” dangdut dalam sebuah “ruang hidup” tertentu, atau eksplorasi energi – irama-ruang dangdut yang menghasilkan temuan-temuan dalam skala kinetik-kinestetik.

BACA JUGA:  Membongkar Kubur Pentas Sagaloka : Keluarga Yang Dikuburkan

Di sesi diskusi usai pertunjukan, kukatakan pada Ayu bahwa bagiku tak ada suasana yang terbangun dari koreografi itu. Aku hanya melihat perempuan berjoget menyerupai laki-laki, diiringi musik dangdut. Itu saja. Dari “kegetiran” itu aku justru menemukan bahwa dangdut tak bisa dipisahkan dari “ruang hidup”nya. Apakah itu ? Manusia dan hidupnya. Bagiku dangdut melekat dengan persoalan-persoalan kemanusiaan, disadari maupun tidak oleh pelaku/penikmatnya. Ketika kujumpai dangdut di terminal, di warung tepi kuburan, di kolong jembatan, gang-gang sempit, ruang-ruang kumuh, pos satpam, di bedeng-bedeng / rumah seng / rumah kardus tepi rel kereta api, di panggung pasar malam, di tempat pembuangan sampah, di dalam angkot, di sudut pasar, di bangsal rumah sakit jiwa, di sudut penjara, di salah satu dinding rumah bordil, di sebuah pabrik, dll, dangdut menjadi hadir dan “bersuara” karena ada alasan di baliknya. Jika malam itu Ayu menghadirkan dangdut sebagai sebuah wujud yang tak bersinggungan dengan konteks apapun, maka aku tak melihat dangdut sebagai sesuatu yang berarti. Kosong tanpa kesan. Dan untukku, itu bukan dangdut.

Koreografi ini berbasis riset. Ayu memiliki lima narasumber, para lelaki penggemar dangdut. Mereka adalah Rianto (42 tahun, satpam, menikah), Reki (31 tahun, pegawai kantor DPRD), Heri (29 tahun, kuli bangunan), Bowo (28 tahun, penjaja sate – bukan pemilik), Andi (30 tahun, cleaning service, menikah). Dalam pandanganku, mereka adalah tubuh-tubuh yang menyimpan sejuta alasan untuk berdangdut. Jika Ayu menggalinya, kuyakin penubuhan yang terjadi akan luar biasa.

Di sisi lain jika Ayu ingin menghadirkan dangdut di luar konteks yang melingkupinya, maka berarti ia ingin menciptakan konteks baru. Aku membayangkannya ini bisa berkaitan dengan pergeseran-pergeseran dalam persoalan individu maupun sosial ; atau ia berbicara dalam konteks irama-energi-ruang gerak laki-laki berdangdut. Di sini Ayu bisa mengulik antara lain seperti apa energi itu, akan ada kemungkinan gerak energi ke arah mana, ada temuan transformasi apa saja di sana, kemungkinan apa saja yang bisa dilakukan untuk mengeksplorasi dan mengolahnya. Demikian pula dengan irama, apa yang bisa digali-dipelajari-ditelusuri, apa itu “dang” dan apa itu “dut” dalam konteks irama musik maupun irama gerak. Ada transisi macam apakah di sana ? Dan seterusnya. Lalu seperti apakah “tubuh lelaki” itu ? Adakah hal-hal khusus yang ditemukan berkaitan dengan maskulinitas, misalnya. Bagaimanakah pertemuan maskulinitas laki-laki dengan maskulinitas dalam tubuh perempuan ?

BACA JUGA:  Pernikahan Darah: Lorca yang di Sini dan Kini dalam Simbolisme Alam-Kematian

Pada 8 November 2018 TubuhDang TubuhDut tampil dalam platform KAMPANA yang merupakan bagian dari gelaran Indonesian Dance Festival (IDF), di Galeri Salihara, Jakarta Selatan. Aku mendapatkan pilihan Ayu di sana, yang menjawab sebagian pertanyaanku.

46398025 10156651269158260 6834626645475721216 n | TubuhDang TubuhDut: Ada Siapakah di Sana?
Ayu Permatasari di ajang Kampana – Indonesia Dance Festival 2018

Di Galeri Salihara penonton duduk lesehan mengelilingi arena pentas yang membentuk posisi U. Lampu menyoroti arena pentas, terlihat di bagian tengah belakang sebuah level yang ditutup kain hitam. Dari tengah penonton di bagian kiri arena pentas (jika dilihat dari arah pentas menghadap penonton), berdiri seorang perempuan berjilbab dan berjaket hitam. Ia menatap tajam ke arena pentas, kemudian pelan-pelan ia buka jilbabnya, jaket, gulungan rambut (sehingga yang tergerai adalah rambut ekor kuda). Hal itu disambung dengan gerak perlahan memasang cincin akik di jari tengah dan telunjuk tangan kanan. Penari mengenakan kostum yang sama dengan ketika presentasi di Yogya. Pandangannya tetap fokus ke pentas. Terdengar suara lagu Terajana, penari pelan-pelan mulai bergerak, joget dangdut sambil berjalan menuju arena pentas. Tak perlu waktu lama, aku segera melihat pilihan Ayu. Kulihat di arena pentas itu tubuh laki-laki sedang bergerak, mengikuti irama. Dari awal bergerak kurasakan tubuh  itu telah “terisi”, otomatis ruang di sekitarnya pun “terisi”. Apa yang kumaksud dengan “terisi”? Aku melihat tubuh dengan cerita yang menjadi sejarahnya. Di sana kutemui sosok yang menghubungkanku dengan “ruang-ruang dangdut” ; kutemui segala kompeksitas dan dinamika. Ini adalah cerita tubuh penonton dangdut. Posisi dominannya adalah di depan panggung (level hitam di karya ini). Tubuh itu menjadi kanvas lima laki-laki yang menjadi narasumber koreografer. Penari tak pernah ke level, ia konsisten di ruangnya. Bagiku, dangdut hadir kuat kali ini.

Kurasakan tubuh laki-laki hadir pada penari perempuan itu. Tubuh yang tak lepas dari pengalamannya, walau dangdut yang kupahami kebanyakan disikapi sebagai ruang pilihan untuk pelepasan-pelarian-penangguhan sejenak (dari) realita, semacam ruang ekstasi. Tubuh yang sesungguhnya tengah berproses dengan pengalamannya : entah berupa kenikmatan, negosiasi, stagnasi, maupun keberjarakan, atau bahkan konvrontasi.

BACA JUGA:  Tumbuh dan Mekar dari Ceruk tak Berdasar : Catatan atas “Ra Hina” — Kinanti Sekar di ISI Yogyakarta

Batu akik, mata terpejam, mulut menganga, suara sandal, tangan yang tampak beberapa kali memegang (menggaruk?) alat kelamin — di sela-sela gerak/joget yang asyik – semuanya adalah pencerita tentang SIAPAKAH tubuh dangdut itu.

Namun, ini baru pembuka. Masih banyak yang bisa digali dari lima narasumber tersebut. Penggalian yang akan mengantar pada temuan-temuan. Yang akan semakin memperjelas lukisan tubuh dangdut di koreografi ini, yang menunjukkan lintasan-lintasan rekaman kompleksitas dan dinamika manusianya. Kuharap koreografer menyadari bahwa ini menuju pada bangunan istimewa. Dangdut tak lepas dari konteks natural yang jadi ruang utamanya selama ia hidup. Kutunggu tahun depan ya Yu, selamat bekerja !

Renee Sari Wulan

Renee Sari Wulan

Renee Sari Wulan lahir di Malang, Jawa Timur, tahun 1973. Menari sejak usia 6 tahun. Lulus dari Institut Kesenian Jakarta program studi Antropologi Tari. Menjadi anggota Dewan Kesenian Jakarta (2006-2012) di Komite Tari. Memiliki ketertarikan pada riset dan penulisan tari, terutama kajian tubuh tari Indonesia. Tahun 2017-2018 terlibat sebagai editor buku tari Ikat Kait Impulsif Sarira yang ditulis oleh Eko Supriyanto. Kemudian ia diminta terlibat sebagai dramaturg dalam proses kerja koreografi dari tiga koreografer Indonesia, yaitu Hartati ("Wajah #2" 2017), Tulus ("Pasir" 2018 - sekarang masih berproses), dan Eko Supriyanto ("Ibu Ibu Belu Body of Border" 2019 sedang berproses).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *