fbpx
Jumat, April 19, 2024
ARTIKEL & ESAITeater

Mak, belikan baju baru, nanti malam aku pentas Teater!

Catatan menjelang pementasan oleh : Mathori Brilyan

Tanggal 4 September lalu, Kalanari Theatre Movement tampil dalam Parade Teater Yogyakarta 2018 di Taman Budaya Yogyakarta. Mathori Brilyan, salah satu aktor menulis catatan sebelum pementasan berlangsung. Catatan ini menarik bahkan setelah pertunjukan berlangsung. berikut adalah tulisan Mathori Brilyan tersebut.**


Sebagai catatan penting disampaikan jika apa yang akan terjadi dalam tulisan ini tentu akan sangat bersifat personal. Pengalaman tersebut juga menjadi pengalaman kembali ketika harus menuliskan catatan ini. Kerja kepenulisan ini menjadi upaya untuk menghargai pengalaman yang sudah dilalui. Pengalaman dalam menapaki, meletakkkan tubuh di panggung terutama dalam produksi karya ini memantik sebuah pertanyaan. Apa sih sebenarnya yang dikerjakan orang teater di panggung pertunjukan.

Baju kami masih sama, sobek, berlubang, compang-camping, lusuh tak beraturan. Ketika kami mencoba baju baru, ternyata tidak pas, baju baru kurang wangun dikenakan tubuh kami yang masih lawas.

Kita (saya) tidak tahu akan membuat barang-barang ‘bekas’ ini menjadi apa. Apa yang saya kerjakan hampir tidak mempunyai tujuan yang berorientasi bahwa ‘saya sedang menyiapkan diri untuk sebuah pertunjukan’. Saya memang benar-benar tidak tau apa yang akan disampaikan mengingat teater tentu saja memiliki narasi untuk disampaikan kepada penonton. Yang menjadi bekal keyakian saya kenapa dengan ketidakjelasan ini saya masih mau untuk melakukan dan masih tertatih-tatih ‘berusaha’, merupakan tindak laku ‘belajar’ yang tidak boleh dihilangkan. Karena setiap dari kita, yang termasuk di dalamnya adalah aktor memiliki sebuah laku perjalanan belajar yang tidak pernah usai. Walaupun dengan ide, cara, metode yang sudah usang namun nyatanya ‘belajarmu tak pernah usai Bung!’. Iya benar tak pernah selesai karena dalam setiap penghayatan tindak laku belajar akan menemukan suatu informasi kedalalam diri, bahwa diri masih banyak kekurangan, diri masih linglung, diri masih gragapen, segalanya tentang keterpurukan diri menghadapi panggung teater.

BACA JUGA:  Demokrasi Tubuh Tari: Dari Veil sampai IDF 2018

Bukan untuk mendewakan panggung teater, atau menganggapnya sebagai ruang suci layaknya tempat ibadah untuk menemui Tuhan di dalam diri. Panggung teater hanyalah ruang kosong, ruang yang sebenarnya sangat toleran, dan rela ditapaki oleh kepentingan apapun. Ya, di situlah letak dasar toleransi yang dimiliki panggung teater, namun tidak pada orang yang menempatinya. Kepentingan kami adalah mewartakan keterpurukan kami dalam menghadapi kenyataan hidup yang akan memasuki panggung teater. Ketika tindak laku belajar untuk menuju sebuah panggung teater merupakan sebuah proses yang mengantarkan pada keterpurukan diri, lalu apa yang akan terjadi di panggung teater.

Baju kami masih sama, sobek, berlubang, compang-camping, lusuh tak beraturan. Ketika kami mencoba baju baru, ternyata tidak pas, baju baru kurang wangun dikenakan tubuh kami yang masih lawas.

Pada sebuah pelaksanaan aktivitas latihan yang selalu dipegang hanyalah meyakininya bahwa apa dikerjakan merupakan sebuah tindak laku kebaikan. Ya boleh saja pernyataan ini ditampik oleh siapapun yang nantinya menonton pertunjukan ini, jika dalam hal ini menganggap pertunjukan sebagai hasil dari aktivitas latihan. Pertunjukan semacam apa ini, mungkin itu yang akan terbesit dalam benak penonton. Satu hal yang membuat kami (saya) meyakini diri untuk hadir di atas panggung serupa para pelakon teater adalah keberanian kami dalam mengujikan sebuah metode penciptaan dalam sebuah produksi karya teater. Keberanian yang bukan bersifat coba-coba, namun lebih pada sebuah strategi untuk selalu menemukan pengetahuan sebagai kebutuhan diri yang terpuruk tadi dalam aktivitas produksi karya. Pada satu sisi mungkin bentuk kerja seperti ini dianggap egois karena hanya mengurusi kebutuhan diri yang terpuruk, tidak pada wilayah memenuhi kebutuhan penonton, menjawab selera pasar, menampilkan segala bentuk kekinian yang akan membuat penonton teater bahagia, sungguh kami belum mampu menjadikan penonton teater terutama yang menonton pertunjukan kami akan bahagia. Maaf ya penonton.

Pada akhirnya saya mecoba memahami teater menjadi bagian dari letupan-letupan peristiwa sosial. Sebuah pementasan teater menjadi salah satu cara untuk bertemu dengan penonton, dengan teman-teman, dengan senior kami, dengan guru-guru kami. Ibarat sebuah sekolah, kami adalah murid yang sedang melakukan ujian dan akan dinilai oleh guru kami. Guru kami yang tidak tunggal; penonton, masyarakat, dan teater itu sendiri. Pertemuan dengan penonton merupakan sebuah cara untuk mengabarkan keadaan kami. Kami yang masih terpuruk dengan teater yang kami cita-citakan sendiri. Kabar kami masih sama, serupa dengan teater yang kami kerjakan, terpuruk, tak berdaya, layaknya anak kecil masih merengek minta dibelikan baju baru, karena baju kami masih sama, sobek, berlubang. Baju kami adalah kenyataan keadaan kami. Kami mencoba memakai baju baru, namun tidak layak di tubuh kami. Terlihat kedodoran, terlalu ngejreng ketika dikenakan di tubuh kami yang ndesit. Saya jadi bertanya, apakah keadaan terpuruk tubuh kami memang tidak layak mengenakan baju baru ; mengenakan kebaruan demi kebaruan dalam situasi kontemporer kita?. Dalam arus deras ‘kemajuan’ seni kontemporer kita, kok ya masih konsisten dengan ketidakberdayaan ini. Apakah kami memang tidak layak disebut sebagai masyarakat berkemajuan? Masyarakat yang selalu dapat mengambil sikap solutif dalam permasalahan ekonomi dengan kreativitasnya.

BACA JUGA:  Sekedar Tragedi atau Refleksi Diri? | Catatan atas La Leçon — Teater Sagaloka

Barangkali kami memang hanya sebagai kurir teater yang selalu mengantarkan barang-barang lawasan dan kami mengerjakannya dengan jerit payah mental kemanusiaan kami.

Baju kami masih sama, sobek, berlubang, compang-camping, lusuh tak beraturan. Ketika kami mencoba baju baru, ternyata tidak pas, baju baru kurang wangun dikenakan tubuh kami yang masih lawas.

Kaliopak, 4 September 2018

Mathori Brilyan, salah satu pelakon Kalanari Theatre Movement dalam produksi “(un)fitting : Sebuah Percobaan Menyandang Sejarah Teater yang Mendekam dalam Gudang dan Lemari”

Mathori Brilyan

Mathori Brilyan

Alumnus Jurusan Teater ISI Yogyakarta. Aktor dan penulis, aktif di Kalanari Theatre Movement dan Teater Kali Opak Yogyakarta.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *